Buku dan Prasangka
April 23, 2020Didi Kempot adalah Jawa dan Jawa adalah Kita
May 20, 2020OPINI
Mungkinkah Menghadirkan Negara untuk Pencegahan Kekerasan Seksual?
oleh Meike Lusye Karolus
Kita sudah lama berhadapan dengan dinding yang kokoh dan tebal ini. Tak sekali atau dua kali kita berjuang melawan dan menabrakkan tubuh ini di sana. Namun, yang tersisa hanyalah rasa kecewa dan sakit. Tembok itu tak bergeming sedikitpun. Lihatlah! Betapa mengakar kuatnya sistem dan budaya patriarki di dalam masyarakat kita (dan di dunia) sehingga untuk mengubah tatanannya seperti sebuah upaya menjaring angin.
Tantangan sistemik yang menciutkan nyali
Tidak perlu bertanya-tanya mengapa sistem ini bisa begitu adaptif mengikuti zaman. Selain karena produksi dan reproduksi nilai terus terjadi, bahkan sejak dalam lingkup terkecil yaitu keluarga, sebagai individu pun kita turut andil dengan menjadi agennya. Sistem patriarki tidak hanya membuat posisi manusia menjadi subjek-objek, ordinat-subordinat, atau superior-inferior, tetapi juga membuat kita merasa istimewa dengan kuasa yang diberikan dan tidak mau kehilangan kuasa itu. Sistem ini membentuk orang menjadi pelaku kekerasan dan bangga melakukannya. Sistem ini membuat orang tidak bisa saling mengasihi.
Salah satu jenis kuasa yang membahayakan orang lain adalah kuasa atas tubuh. Dalam studi yang dilakukan oleh Abby Gina dan Gadis Arivia mengenai kekerasan seksual dan simbolis di Jakarta, tubuh (umumnya tubuh perempuan) diatur, dinilai, dijadikan objek, dan diartikulasikan oleh pelaku sebagai subjek yang memiliki kuasa. Dengan cara pandang itulah, kekerasan seksual masih terus terjadi. Di sisi lain, munculnya kesadaran terhadap kekerasan seksual, baik yang terjadi di ranah publik maupun di ranah privat juga terus meningkat. Upaya mencegah kekerasan seksual melalui metode kampanye sosial dan online serta penguatan di akar rumput terus digalakkan. Hasilnya, laporan terhadap kasus kekerasan seksual meningkat karena korban maupun pihak lain yang mengetahui hal itu berani untuk melaporkan.
Banyaknya laporan yang masuk dapat dijadikan acuan untuk mendorong pembuatan kebijakan dan payung hukum sehingga penghapusan kekerasan seksual bukan sekedar mimpi semu. Tentu saja perjalanan tersebut harus menghadapi dinding patriarki. Tantangan sistemik untuk mewujudkan kebijakan yang memberantas kekerasan seksual terjadi ketika ada ketegangan antara pengusul kebijakan dengan pembuat kebijakan yang tidak merasa dan melihat masalah ini penting.
Disinilah kita perlu mewaspadai sikap tidak acuh (ignorant) terhadap penderitaan orang lain. Sikap tidak acuh ini dijiwai cara pandang misoginis dan seksis yang dilahirkan sistem patriarki. Akibatnya, bukannya membela korban, kebanyakan orang malah cenderung membungkam suara korban dan melindungi pelaku. Menurut Laura Bates dalam bukunya Misogynation, sikap misoginis dan seksisme tersebut telah melembaga sehingga telah melemahkan kepercayaan diri, membentuk korban untuk melihat kekerasan sebagai hal yang normal, dan pada akhirnya mengecewakan korban berulang-ulang dalam sistem hukum yang tidak adil.
Pada tahap ini, gerakan kesetaraan gender menemui level frustasinya. Akhirnya, mau tidak mau untuk bisa mewujudkan perubahan sosial, kita tidak bisa sendirian. Salah satunya adalah menerima bahwa sistem patriarki telah memikat banyak orang. Di sisi lain, ada juga harapan bahwa kini gerakan kesetaraan gender juga banyak diikuti kaum laki-laki dan kelompok minoritas gender lainnya.
Kontekstualisasi gerakan perempuan untuk pencegahan kekerasan seksual
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Meskipun hati ini penuh lebam, kita jangan berputus asa. Perlu ada suatu upaya pencegahan alternatif yang tampaknya dapat diterima semua kalangan. Untuk bisa meyakinkan segenap lapisan masyarakat, gerakan perempuan perlu dikontekstualisasikan. Pertama-tama, kita harus rendah hati dan realistis bahwa mengubah cara pandang yang patriarkal bukanlah perkara mudah, apalagi jika bangsa ini pernah punya trauma kolektif dan kehilangan satu generasi kritis. Teresa de Lauretis dalam bukunya Technologies of Gender mengkritik gerakan feminis masa itu yang masih terjebak pada dikotomi jenis kelamin. Akibatnya, mereka tanpa sadar menggunakan cara berpikir oposisi biner dan oleh karena itu ternyata masih bergantung pada “narasi sang Tuan”. Dengan menggunakan kerangka oposisi biner, gerakan perempuan justru mengeksklusikan kelompok laki-laki yang mulai sadar dengan beban patriarki dan ingin mengubahnya. Banyak laki-laki yang juga menjadi korban kekerasan seksual, terutama mereka yang dianggap tidak cukup maskulin. Cara berpikir feminisme yang ditawarkan de Lauretis adalah mendobrak cara pandang oposisi biner tersebut. Secara praktis, gerakan perempuan hari ini periu merangkul semua pihak untuk menjadikannya kawan seperjuangan.
Di Indonesia, gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan sering mandek karena berbenturan dengan dinding patriarki dan jebakan dekonstruksi yang memecah perjuangan karena cara berpikir dikotomis tersebut. Alih-alih merangkul masyarakat agar peduli dengan kasus kekerasan seksual, gerakan perempuan justru menjadi arogan dan menggeneralisasi secara berlebihan sehingga menimbulkan sikap tidak simpatik dari kalangan masyarakat. Akibatnya, feminisme sebagai ideologi dianggap seram dan mendapat label negatif lainnya dari kalangan awam yang justru memperlemah perjuangan.
Tantangan lain adalah kalangan awam yang belum memiliki kesadaran gender dan masih misoginis merasa bahwa gerakan perempuan tersebut adalah gerakan yang “membahas masalah perempuan”. Ketika cara pandang ini digunakan, maka cara berpikir yang patriarkal juga masuk ke dalamnya sehingga para pembuat kebijakan melihat masalah perempuan sebagai masalah tidak penting. Dengan melihat realitas ini, maka perlu strategi untuk membawa masalah perempuan sebagai masalah bersama. Lebih jauh, sebagai masalah penting yang mengundang keterlibatan aktif para pemangku kebijakan. Jebakan pada bahasa kadang membuat kebanyakan orang terpaku pada kata sehingga pesan perjuangan tak bisa diterima secara menyeluruh. Namun di sisi lain, kita juga perlu menggunakan strategi bahasa untuk menggalang simpati masyarakat, misalnya dengan cara menggunakan konsep-konsep yang bisa mewakili keseluruhan atau banyak orang. Strategi ini pernah digunakan oleh gerakan Suara Ibu Peduli di masa menjelang Reformasi.
Selain kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah domestik dan ruang publik, kasus kekerasan seksual yang tak kalah problematis juga terjadi di institusi formal. Ekspos media terhadap kasus kekerasan seksual di kampus atau institusi formal telah memicu kontradiksi. Di satu sisi, ini merupakan sebuah angin segar bahwa kasus kekerasan seksual yang dulunya tabu dibicarakan kini sudah berani disuarakan. Simpati dan kesadaran juga mulai muncul di tengah masyarakat sehingga ada harapan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai merasa bahwa kekerasan seksual adalah masalah bersama. Namun, di sisi lain, kita perlu memahami kegagapan institusi formal merespon kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Selain belum ada payung hukum yang menjadi dasar kebijakan, sistem dan budaya patriarki masih kuat di kampus-kampus. Paling tidak, beberapa kampus sudah mulai sadar dan merintis kebijakan pencegahan kekerasan seksual yang dapat diimplementasikan untuk menjamin hak segenap civitas akademika merasa aman di kampus. Selebihnya, perlu ada argumentasi kuat yang berani membawa masalah kekerasan seksual sama daruratnya dengan menyelamatkan generasi penerus bangsa.
Perilaku Bela Negara: Sebuah tawaran mencegah kekerasan seksual
Terkait strategi pencegahan kekerasan seksual, salah satu yang bisa dicoba adalah mendorong partisipasi publik untuk memperkuat ketahanan diri. Penguatan diri ini adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan sembari perjuangan untuk mendorong kebijakan publik juga tetap dilakukan. Hal ini merupakan model perjuangan yang kolaboratif antara mereka yang berjuang di dalam sistem dan mereka yang berjuang di luar sistem. Dalam konteks ini, model perjuangan kolaboratif dapat mencoba menggunakan sikap dan perilaku yang tampaknya cukup universal dan kemungkinan bisa diterima banyak kalangan, terutama yang belum memiliki kesadaran gender. Disinilah kita perlu kreativitas untuk membaca gagasan yang dapat diterima umum itu dengan cara memperluas makna konsep sehingga memberi warna baru terhadap cara pandang yang sudah ada. Salah satu gagasan yang memiliki potensi itu adalah gagasan tentang Bela Negara.
Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, termaktub dalam Bab 3 pasal 9 ayat 1, “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya Bela Negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut, Bela Negara didefinisikan sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Selanjutnya, Bela Negara diturunkan ke dalam nilai-nilai dasar, antara lain: 1) cinta tanah air; 2) kesadaran berbangsa dan bernegara; 3) setia kepada Pancasila sebagai ideologi negara; 4) rela berkorban; dan 5) memiliki kemampuan awal bela negara. Lima nilai dasar ini yang akan dipakai untuk membumikan sikap Bela Negara dalam kehidupan sehari-hari.
Pertahanan negara dimaknai sebagai batas-batas wilayah dan ancaman dengan menggunakan serangan fisik. Dalam konteks ini, pertahanan negara diawali dengan mempertahankan diri dari ancaman kekerasan seksual. ~ Meike Lusye Karolus Share on XDalam konteks ini, kita perlu mendekonstruksi terjemahan konsep bela negara dan memperluas maknanya agar dapat dipakai dalam konteks pencegahan kekerasan seksual. Bila sebelumnya, pertahanan negara dimaknai sangat luas sebagai batas-batas wilayah dan ancaman dengan menggunakan serangan fisik, maka dalam konteks ini pertahanan negara diawali dengan mempertahankan diri (tubuh) dari ancaman kekerasan seksual. Kekerasan seksual dipandang sebagai sebuah ancaman yang bisa datang kapan saja dan tidak diinginkan. Korbannya bisa siapa saja: laki-laki, perempuan, minoritas seksual, orang tua, atau anak-anak. Pada akhirnya, pencegahan kekerasan seksual adalah masalah bersama yang memerlukan keterlibatan segenap warga negara.
Penurunan nilai-nilai Bela Negara dapat dimaknai secara mendalam:
- Pertama, sikap cinta tanah air dimulai dengan memaknai bahwa “ tanah air” adalah tubuh yang harus dilindungi dan dipertahankan dari serangan dan ancaman pihak luar. Dengan demikian, setiap orang hendaknya memiliki kepekaan untuk waspada terhadap berbagai ancaman serangan seksual yang merendahkan martabat manusia.
- Kedua, nilai kesadaran berbangsa dan bernegara diimplementasikan dengan mengutamakan jiwa korsa sebagai satu kesatuan sebagai warga negara Indonesia. Jiwa korsa tersebut didasari semangat saling menjaga satu sama lain dengan cara berani bertindak untuk mengingatkan, menegur, dan melaporkan tindakan kekerasan seksual di mana pun kita berada.
- Ketiga, nilai setia kepada Pancasila sebagai ideologi negara berarti mengamalkan sikap memanusiakan manusia sebagai insan Tuhan sehingga kita tidak boleh melukai orang lain. Dalam praktek penyelesaian masalah, setiap orang berhak mendapatkan keadilan dan proses musyawarah yang terbuka dan demokratis.
- Keempat, nilai rela berkorban meliputi segala bentuk tindakan yang mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, perasaan, dan materi untuk berani tanpa pamrih mengadvokasi kasus kekerasan seksual di lingkungan kita. Rela berkorban juga dapat berwujud upaya untuk memulai menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan kesadaran kolektif bahawa masalah kekerasan seksual adalah masalah kita bersama.
- Kelima, nilai memiliki kemampuan awal Bela Negara terwujud dengan mempersiapkan kemampuan fisik dan psikis/mental/rohani yang baik bagi setiap individu di berbagai ranah. Kemampuan fisik, meliputi pembuatan atau pengaturan ruang yang aman dan terbuka sehingga potensi kekerasan seksual minim terjadi atau kemampuan bela diri yang baik. Sementara itu, kemampuan psikis/mental/rohani dapat diimplementasikan dengan penguatan kesadaran dan perubahan mindset terhadap kekerasan seksual, seperti pengetahuan tentang pencegahan kekerasan seksual, pembuatan kebijakan/regulasi terhadap kekerasan seksual, kampanye sosial dan online tentang kekerasan seksual, pembuatan support group dan trauma healing bagi korban, dan pembuatan layanan aduan dan konseling.
Pemaknaan yang mendalam terhadap nilai-nilai Bela Negara tertuang dalam sikap saling jaga. Warga negara yang baik meminimalkan potensi kekerasan seksual terjadi di sekitarnya. Seseorang bisa memulainya dengan tidak melakukan tindakan kekerasan seksual pada orang lain. Ia melindungi orang lain dan berani bertindak ketika ada kekerasan seksual yang terjadi di sekitarnya. Sikap saling jaga dilakukan karena merasa kekerasan seksual adalah masalah bersama. Dengan saling jaga, kita bersama-sama mengangkat harkat dan martabat manusia serta ikut memastikan setiap orang mendapatkan haknya untuk merasa aman. Kita sebagai warga negara yang peka untuk hadir satu sama lain dalam mencegah kekerasan seksual menimpa diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Mungkin dengan ini negara bisa tersentil dan mulai bertindak.
Meike Lusye Karolus adalah dosen program studi Ilmu Komunikasi, FISIP dan peneliti di Pusat Studi Wanita, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Fokus risetnya adalah kajian media feminis, terutama representasi minoritas dan konsumsi media. Bersama teman-temannya, ia ikut mendirikan komunitas Pemetik Buah Khuldi, komunitas yang memberikan pendidikan publik kritis terkait isu keberagaman dan demokrasi di Yogyakarta. Kontak via instagram @lusjemeike atau e-mail: [email protected]
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini