Membuat Perbedaan agar Kita Mampu Merdeka Finansial
September 16, 2020Cerita Kelam dibalik Gemerlapnya Konsep Global Supply Chain
September 17, 2020Makna
Filantrokapitalisme: Tidak Ada Makan Siang Gratis
oleh Margianta Surahman Juhanda Dinata
Siapa yang tidak suka Batman? Di siang hari dia menyumbang bagi yang membutuhkan, dan di malam hari dia menghajar kriminal tanpa pandang bulu. Sama seperti Batman, kita diajarkan filantropi sejak kecil: menyumbang harta yang berlebih bagi yang ‘miskin’ dan berkekurangan.
Sekilas kegiatan filantropi adalah hal positif tanpa cela. Dari keluarga, tetangga, sampai petinggi perusahaan dan politisi pun berlomba untuk berfilantropi. Khusus sumbangan yang besar dari yayasan filantropi ternama, umumnya berakhir di sesi foto dengan senyum dari yang diberi dan memberi.
Mari kita lihat filantropi lebih dekat. Kita tidak bicara tentang sumbangan hari raya di komplek rumahmu, tapi secara historis dan secara global. Secara historis, perkembangan jumlah yayasan filantropi di dunia berbanding lurus dengan tren percepatan akumulasi kekayaan di segelintir individu selama beberapa dekade terakhir. Menurut UNDP di tahun 2012 saja lebih dari 86.000 yayasan filantropi terdaftar di AS; 85.000 berpusat di Eropa Barat, dan 35.000 di Eropa Utara. Secara global, menurut OECD di tahun 2013 – 2015 dana filantropi yang beredar berkisar pada total USD$23,4 milyar.
Sejak awal kemunculannya di awal abad ke-20 hingga kini, berbagai yayasan filantropi internasional telah berusaha menangani permasalahan, melakukan penelitian, serta mempromosikan sains sebagai upaya menangani kemiskinan, kelaparan, dan berbagai penyakit yang dialami masyarakat. Sepanjang kemunculannya, yayasan filantropi memiliki berbagai jenis dari segi pendanaan maupun tipe operasionalnya.
Menurut Martens dan Seitz, berdasarkan pendanaannya yayasan filantropi dibagi ke dua jenis. Yayasan filantropi swasta didanai donor individu atau keluarga tertentu, dan yayasan filantropi publik didanai banyak sumber, termasuk publik. Sementara The Foundation Center membagi yayasan filantropi ke dalam empat tipe: Yayasan Independen yang didirikan donor individu atau keluarga dengan mitra untuk menjalankan programnya; Yayasan Operasi yang seperti independen tapi menjalankan programnya sendiri; Yayasan Korporat yang didirikan korporasi dan terpisah entitasnya; dan Yayasan Komunitas yang menggalang dana dari publik maupun individu dan lingkup operasinya terbatas.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Di tahun 2019 saja, Indonesia masuk ke dalam daftar 10 negara paling dermawan di dunia dari 144 negara yang didata Charities Aid Foundation. Hal ini disorot sebagai ‘berita baik dari Indonesia.’ Kita pun tidak asing dengan yayasan filantropi milik keluarga pebisnis ternama di Indonesia. Mulai dari perusahaan rokok, sawit, dan perusahaan besar lainnya.
Tetapi, apakah filantropi sesederhana hubungan pemberi dan yang diberi saja? Lalu, bagaimana cara filantropi bekerja belakangan ini hingga akhirnya muncul istilah ‘filantrokapitalisme’? Untuk memahami filantrokapitalisme, kita harus memahami terlebih dahulu neoliberalisme sebagai model ekonomi yang memberi filantropi ruang untuk semakin berkembang selama beberapa dekade terakhir.
Neoliberalisme: Pelumas Filantrokapitalisme
Neoliberalisme muncul sebagai model ekonomi pembangunan dominan sejak tahun 1980–an hingga kini. Model ekonomi ini juga dikenal sebagai ‘Reaganomics’ karena diasosiasikan kepada presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, dan semboyannya yang terkenal: “pemerintah bukan solusi masalah kita, pemerintah lah masalah kita” (“…government is not the solution to our problem, government is the problem”). Sesuai dengan semboyan Ronald Reagan dan kebijakan Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris tahun 1980-an, neoliberalisme mempopulerkan dirinya sebagai model ekonomi yang mengutamakan aktor pasar sebagai aktor utama dalam perekonomian suatu negara.
Jika dilacak dalam sejarah, awal berkembangnya model ekonomi neoliberal bisa dilacak ke beberapa hal.
Beberapa akan bilang populernya model ekonomi neoliberal berawal dari Powell Memorandum tahun 1971, catatan kecil yang menuliskan pentingnya bisnis memiliki pengaruh dalam melawan doktrin Marxisme dan peran besar pemerintah dalam ekonomi. Beberapa merujuk kepada serial televisi Free to Choose Milton Friedman dan bukunya di tahun 1960-1980-an yang ingin membebaskan umat manusia melalui pasar bebas. Sementara yang lain akan merujuk jauh pada buku The Road to Serfdom karya ekonom libertarian Friedrich Hayek tahun 1944 yang berpikir negara dengan model ekonomi sosialis hanya akan ‘memperbudak’ kita semua.
Pada intinya, penganut model ekonomi neoliberal memandang segala bentuk campur tangan pemerintah terhadap perekonomian negaranya sendiri sebagai penghambat kebebasan individu dalam memenuhi kepentingan pribadinya, yang kemudian menjadi hambatan bagi mekanisme pasar untuk adil bagi para pemodalnya.
Beberapa asumsi dasar neoliberalisme di antaranya: peletakkan pasar sebagai aktor utama ekonomi; liberalisasi pasar lewat kebebasan pergerakan barang, jasa, investasi, dan modal tanpa intervensi pemerintah; menghilangkan pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan publik; deregulasi kebijakan yang membatasi mekanisme pasar; dan privatisasi aset negara kepada pasar.
Semua aspek neoliberal ini mungkin terkesan familiar, karena belakangan ini kita sering mendengarnya di berita dalam bentuk Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja yang mengundang investasi lewat deregulasi ekonomi dan konsep easy hire-easy fire (mudah kerja, mudah pecat) pasar tenaga kerja yang makin fleksibel.
Lantas, apa hubungannya model ekonomi neoliberalisme dengan filantropi? Umumnya filantrokapitalis terkenal seperti Jeff Bezos, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg adalah sosok ‘pemenang’ yang berhasil memupuk kekayaan lewat modal dan asetnya yang merajai pasar.
Alih-alih meredistribusikan kekayaan para ‘pemenang’ atau mempertanyakan etika bisnis para filantrokapitalis yang seringkali bertindak tidak adil terhadap pekerja, lingkungan, atau bahkan berpihak pada rezim otoriter, model ekonomi neoliberal justru memandang semua upaya meregulasi para filantrokapitalis baik secara hukum maupun pajak kekayaan sebagai hambatan mekanisme pasar. Sebaliknya, yang didukung adalah deregulasi kebijakan pelindung pekerja dan lingkungan, serta insentif pajak kepada mereka yang kaya, berharap kekayaannya ‘menetes’ ke masyarakat miskin lewat lapangan pekerjaan baru yang belum tentu layak, maupun lewat kegiatan kedermawanan mereka sebagai para filantrokapitalis.
Lantas, apa bedanya para filantrokapitalis dengan kegiatan filantropi yang diajarkan kepada kita sejak kecil?
Filantrokapitalisme: Menyumbang yang Pamrih
Pertama kali diutarakan oleh Matthew Bishop di artikel The Economist tahun 2006, lalu dikembangkan dalam sebuah buku bersama Michael Green, filantrokapitalisme awalnya adalah istilah positif. Filantrokapitalisme menjadi istilah yang menggambarkan tren filantropi masa kini, dimana pengusaha tidak mau sekedar jadi penyumbang. Sebagai para ‘pemenang’ sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, para pengusaha juga ingin menginvestasikan waktu dan energinya untuk mengawal program filantropi mereka.
Singkatnya, dalam filantrokapitalisme pengusaha bukan lagi penyumbang pasif yang ikhlas, melainkan filantrokapitalis yang ‘menginvestasikan’ sumbangan mereka sebagai kapital/modal dan secara aktif memastikan agar sumbangannya sesuai dengan kepentingannya. Ajaran bahwa kita harus menyumbang dengan ikhlas pun dilepeh mentah-mentah. Menjadi pamrih adalah norma yang baru, karena semua sumbangan pun adalah ‘investasi’ yang harus dikawal dan bisa membawa keuntungan bagi sang penyumbang.
Dengan memandang sumbangan sebagai kapital yang penggunaannya wajib dikawal sesuai permintaan penyumbangnya, maka filantrokapitalisme telah mengaburkan garis antara bisnis dan kedermawanan. ~ Margianta Share on XMenurut McGoey, kunci filantrokapitalisme adalah bagaimana pengusaha melihat kegiatan menyumbang sebagai strategi bisnis bermanfaat. Lalu, bagaimana jika penerima sumbangan, alih-alih memenuhi kebutuhannya, terpaksa menyesuaikan kebutuhannya sesuai target dan hasil yang jadi kepentingan sang penyumbang?
Fenomena ini sering berakhir dalam proyek filantropi yang tidak efektif, seperti bagaimana GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunisation), kemitraan pemerintah-swasta yang diinisiasi Gates Foundation dikritik pegiat kesehatan global karena pola “Gates-approach” karena cenderung berfokus pada solusi vertikal berjangka pendek dan berorientasi pasar seperti vaksin dan insentif industri farmasi, daripada upaya jangka panjang dan horizontal seperti penguatan sistem kesehatan (health system strengthening).
Dengan memandang sumbangan sebagai kapital yang penggunaannya wajib dikawal sesuai permintaan penyumbangnya, maka filantrokapitalisme telah mengaburkan garis antara bisnis dan kedermawanan. Seolah-olah proyek filantropi seperti ajang mencari bakat maupun beasiswa berhak menjadikan para penerima sumbangannya sebagai iklan berjalan.
Dengan model kedermawanan yang kapitalistik seperti ini, maka yang sering dijumpai pun hanya filantropi berjangka pendek yang seremonial, karena hasilnya bisa cepat dilaporkan guna mencuci dan meningkatkan reputasi pengusaha dan perusahaannya di hadapan investor. Walaupun proyek-proyek filantropi berjangka panjang dan berkelanjutan masih ada, sang penyumbang tetap akan mengukur untung-rugi dari sumbangan yang diberikannya. Proyek filantropi dengan logika bisnis seperti ini telah dikritik banyak akademisi dan peneliti sebagai logika yang mengatur masyarakat miskin, daripada memberdayakan mereka dalam konteks jangka panjang.
Apakah Kita Butuh Batman?
Tidak ada makan siang gratis, mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan filantrokapitalisme. Sebelum silau melihat para filantrokapitalis dan ‘komitmen’ sumbangannya yang terkesan banyak bagi kita dan sedikit bagi mereka, kita patut mewaspadai motif mereka, serta mengawal proyek-proyek filantropi mereka. Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dibantu? Sejauh apa kuasa mereka sebagai penyumbang dalam proyek-proyek yang mereka lakukan untuk membantu masyarakat?
Terlebih di dalam model ekonomi neoliberal yang kini mendominasi perekonomian global, pemerintah hanyalah ‘satpam’ yang menjaga keamanan seperlunya. Tugas pemerintah hanya memastikan sirkulasi barang dan jasa dapat mengalir sebebas-bebasnya. Sehingga kompetisi pasar terjaga, dengan pajak dan regulasi seminim mungkin, termasuk minimnya regulasi perlindungan lingkungan hidup dan hak pekerja. Subsidi petani, jaminan sosial kelas pekerja, dan bantuan sosial orang miskin pun dipangkas, karena kesejahteraan bukan tanggung jawab pemerintah. Kesejahteraan dianggap tanggung jawab individu yang harus bersaing dan meningkatkan daya jual diri, sebagaimana layaknya sebuah pasar bekerja. Neoliberalisme memang mengutamakan persaingan pasar bebas dan berasumsi bahwa pasar bekerja secara sempurna, tapi mengabaikan kesenjangan ekonomi yang mempersulit seseorang untuk meningkatkan taraf hidupnya dan ‘bersaing’.
Saat segelintir pengusaha kaya memupuk kekayaannya dari menjual produk berbahaya, merusak lingkungan, menindas petani dan buruh, serta mendiskriminasi kalangan tertentu, tidak akan ada kedermawanan yang bisa menebusnya. ~ Margianta Share on XApa daya, masyarakat yang ‘kalah saing’ di pasar kerja pun hanya bisa berharap pada sumbangan heroik para filantrokapitalis ‘pemenang pasar’, mengais remah-remah harta lewat sumbangan dan Corporate Social Responsibility (CSR) jangka pendek, sementara mereka terus memupuk kekayaannya lewat praktik bisnis yang mengeksploitasi lingkungan dan pekerja kerah birunya yang berjarak satu slip gaji dari kemiskinan dan kriminalitas.
Para filantrokapitalis yang diharapkan menggantikan peran pemerintah untuk memastikan kesejahteraan masyarakat pun menjadi orang-orang terkaya di dunia yang hanya beramal sesuka mereka saja. Bagai Batman yang getol memukuli kriminal, padahal mungkin penjahat itu mungkin jatuh ke dunia kriminal karena tidak dapat penghidupan layak dan jaminan sosial dari pemerintah yang dikebiri fungsi kontrol dan tanggung jawabnya dalam ekonomi neoliberal.
Filantrokapitalisme yang menormalisasi sumbangan yang pamrih patut dipertanyakan. Begitu pula model ekonomi neoliberal yang mengebiri tanggung jawab dan fungsi kontrol pemerintah demi menghamba pada pasar bebas dan memaksa masyarakat bersaing daripada bersolidaritas. Terlebih, model ekonomi yang sama membuat pemerintah lepas tanggung jawab atas kejahatan korporasi dan kesenjangan ekonomi yang merenggut kesejahteraan rakyat.
Lantas, apakah kita perlu sosok milyuner filantrokapitalis penyelamat seperti Batman? Ataukah negara bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya lewat proses yang lebih demokratis seperti kebijakan, tanpa harus mengemis kepada para filantrokapitalis?
Para filantrokapitalis meyakinkan kita bahwa tidak ada makan siang gratis, tapi bukan berarti kita harus mengorbankan kebutuhan kita demi kepentingan mereka. Lebih dari terkesima kepada proyek-proyek filantropi, kita harus mewaspadai sumber uang dan relasi macam apa yang dibangun oleh para penyumbang itu. Saat segelintir pengusaha kaya memupuk kekayaannya dari menjual produk yang berbahaya, merusak lingkungan, menindas petani dan buruh, serta melanggar etika kemanusiaan dan mendiskriminasi kalangan tertentu, tidak akan ada kedermawanan yang bisa menebusnya.
Margianta Surahman J. D. adalah pekerja LSM yang aktif dalam jaringan pemuda lokal dan internasional sejak tahun 2010, khususnya di bidang ekonomi politik, partisipasi pemuda, kesehatan global, dan hak asasi manusia.Di tahun 2015, Margianta menjadi Juru Bicara Gerakan Muda FCTC, berfokus pada pengendalian tembakau dari perspektif kesehatan global. Di tahun 2017, Margianta mendirikan Emancipate Indonesia, organisasi yang berfokus pada isu perbudakan modern. Margianta juga sempat bekerja sebagai staf Advokasi dan Kampanye di Indonesia Global Justice yang berfokus pada keadilan ekonomi global di tengah rezim perdagangan bebas. Margianta telah berbicara mewakili organisasinya di berbagai forum, di antaranya One Young World 2018, World Health Assembly 2019, dan ASEAN Youth Conference 2019.
Artikel Terkait
Cara Memulai Investasi Hanya 5 Menit
Untuk memulai investasi diperlukan perencanaan yang baik dan jelas. Sebagai salah satu pendiri Investhink Indonesia, Helmi memastikan apa saja yang harus kita pahami dan persiapkan untuk menentukan rencana investasi. Yuk, simak tulisan informatif berikut!Cerita Kelam dibalik Gemerlapnya Konsep Global Supply Chain
Supply chain pada level dunia (global supply chain) telah menghasilkan praktik sweatshop, dimana banyak terjadi pelanggaran ketenagakerjaan. Banyak brand besar dunia terlibat dalam praktik ini.Filantrokapitalisme: Tidak Ada Makan Siang Gratis
Filantrokapitalisme menjadi istilah yang menggambarkan tren filantropi masa kini, dimana pengusaha sebagai para ‘pemenang’ sistem ekonomi kapitalisme neoliberal bukan lagi penyumbang pasif yang ikhlas, tapi sebagai investor yang menginginkan sumbangannya kembali membawa keuntungan.