Filantrokapitalisme: Tidak Ada Makan Siang Gratis
September 17, 2020Cara Memulai Investasi Hanya 5 Menit
September 17, 2020Makna
Cerita Kelam dibalik Gemerlapnya Konsep Global Supply Chain
oleh Herry Pradana
Saya ingat pada akhir tahun 2016, tahun pertama saya kuliah di Amerika, saya membeli dua pasang sneakers untuk kegiatan harian dan berolahraga. Setelah satu minggu memakai saya baru sadar, sneakers yang saya beli tersebut memiliki label “made in Indonesia.” Terbesit dipikiran saya, “jauh-jauh kuliah di luar negeri, eh sneakers yang dibeli ternyata dibuat di negara tempat saya lahir juga.”
Haruskah saya senang karena telah membantu nasib pekerja di negara asal saya? Atau kondisi ini malah membuat saya prihatin karena ternyata pekerja di negara saya hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari seluruh rangkaian proses produksi sneakers tersebut?
Pertanyaan di atas akan terjawab di akhir tulisan ini, namun sebelumnya saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk menelusuri proses panjang dan lika-liku perjalanan sepasang sneakers, sampai akhirnya dibeli oleh konsumen seperti saya.
Pasar sepatu jenis sneakers secara global bernilai hampir $58 miliar pada tahun 2018 dan diprediksi akan mencapai $88 milyar pada tahun 2024. Angka ini dirasa masih kecil jika dibandingkan dengan pasar sepatu global yang bernilai $365,5 miliar. Namun jika kita melihat perkembangan pemakai sneakers di dunia, pasar ini diperkirakan akan terus tumbuh seiring dengan maraknya penggunaan sneakers sebagai sepatu harian bagi semua kalangan, baik pria, wanita, dewasa dan anak-anak. Namun tahukah kalian jika sneakers yang kalian pakai tersebut menyimpan banyak cerita dibalik proses pembuatannya?
Proses panjang produksi sneakers dimulai dengan proses awal seperti mendesain, menyusun pola, menentukan komposisi warna, pemilihan material, pengujian prototipe sampai dengan tahapan produksi. Proses awal ini melahirkan spesifikasi teknis tertentu berikut dengan bahan baku yang diperlukan untuk keperluan produksi. Setelah prototipe siap dan diuji, berikutnya adalah dua proses yang paling banyak memakan waktu: produksi dan pengiriman.
Namun jika dilihat lebih detail, proses diatas tidaklah sesederhana yang kita kira. Ambil contoh outsole sepatu. Bagian ini berbahan baku utama karet yang diambil dan diproduksi di Indonesia (sebutlah lokasi A), kemudian diproses di salah satu pabrik pengolahan di Viet Nam (B). Penjahitan dan perekatan dengan midsole dilakukan di China (C). Proses produksi yang melibatkan jaringan (A, B dan C) inilah yang disebut dengan supply chain (rantai pasok).
Supply chain dapat diartikan sebagai jaringan antara perusahaan dan pemasoknya untuk memproduksi dan mendistribusikan produk tertentu kepada konsumen. Jaringan ini mencakup berbagai proses kegiatan, pekerja, entitas, informasi, dan sumber daya lainnya. Kata “chain” dalam supply chain merujuk pada proses yang diperlukan untuk memproduksi sebuah produk dalam hal ini sneakers, yang dihubungkan bersama seperti layaknya sebuah rantai. Sehingga, jika ada bagian dari rantai tersebut terganggu, misalnya tersendatnya pasokan karet untuk outsole, maka efeknya akan terasa pada seluruh bagian dari rantai pasok produksi sneakers tersebut.
Proses diatas hanyalah sekelumit dari aktivitas di dalam rangkaian rantai pasok, yang sesungguhnya sangatlah kompleks. Sehingga memahami konsep supply chain secara utuh kerap kali memerlukan pemahaman konteks yang yang lebih mendalam terkait variabel yang mempengaruhinya seperti globalisasi, outsourcing dan perdagangan internasional. Variabel-variabel tersebut memiliki keterkaitan yang erat, sehingga membuat supply chain menjadi isu yang sangat menarik untuk dibahas.
Perdagangan internasional membuka banyak peluang bagi industri lokal untuk berbenah agar dapat lebih kompetitif dalam menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga bersaing. ~Herry Pradana Share on XGlobalisasi adalah istilah yang sudah sering kita dengar, dimana konsep ini mengacu pada pertumbuhan interkoneksi ekonomi dunia. Tren ini meningkat pesat setelah ada langkah bersama dari komunitas internasional untuk menurunkan tarif. Pada level industri, bentuk manifestasi dari globalisasi adalah praktik outsourcing, yaitu memindahkan operasi manufaktur ke negara-negara berbiaya rendah. Perusahaan-perusahaan fashion dan sepatu adalah yang pertama mengambil keuntungan dari manfaat outsourcing ini.
Memahami konsep supply chain juga tidak dapat dilepaskan dengan konteks perdagangan internasional yang telah menjadi kebutuhan dari setiap negara. Hal ini berimbas pada upaya spesialisasi dari masing-masing negara untuk memanfaatkan keunggulan komparatifnya secara lebih optimal agar menarik bagi investor dan brand global untuk berinvestasi. Perdagangan Internasional juga membuka banyak peluang bagi industri lokal untuk berbenah agar dapat lebih kompetitif dalam menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga bersaing. Hal ini mendorong terjadinya kerjasama dan sinergi antar negara dan pelaku usaha yang terangkai bersama dalam global supply chain.
Proses produksi dan manufaktur pada era sekarang ini sangat dimudahkan dengan otomatisasi dan bantuan teknologi, namun disaat yang sama juga menjadi proses yang jauh lebih kompleks, dibandingkan beberapa dekade yang lalu. Hal ini dikarenakan banyaknya subkomponen yang diperlukan untuk merakit produk akhir tunggal yang bersumber dari beberapa negara di seluruh dunia. Keterkaitan dan ketergantungan dalam rantai pasok ini mengakibatkan tingginya kompleksitas proses produksi, karena jika satu saja komponennya terganggu maka berakibat akan mengganggu keseluruhan proses produksi dan pengiriman.
Namun ada realita yang menyedihkan dibalik megahnya konsep global supply chain, yaitu adanya praktik sweatshop di negara-negara yang menjadi partner perusahaan global tersebut. Istilah sweatshop mengacu pada pelanggaran ketenagakerjaan oleh perusahaan terhadap pekerjanya. Perusahaan dianggap bertanggung jawab atas beberapa jenis pelanggaran seperti adanya pekerja dibawah umur (child labor), ketentuan wajib lembur, pembayaran gaji dibawah upah minimum, tidak adanya cuti sakit, akses yang tidak memadai untuk perawatan medis bagi pekerjanya dan kondisi lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar keamanan dan kelayakan. Kondisi tersebut kadang diperparah dengan ditemukannya beberapa kasus tindak pelecehan kepada pekerja baik secara verbal maupun seksual. Sweatshop adalah potret realita suram yang masih terjadi, sebagai outlier dari praktik global supply chain.
Sepanjang pengusaha hanya fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan hak-hak pekerjanya, sepanjang itulah isu ini akan terus menjadi catatan kelam dibalik gemerlapnya kemajuan jaman. ~Herry Pradana Share on XPraktik sweatshop juga sering ditemukan terjadi tanpa sepengetahuan pihak-pihak yang terlibat langsung. Hal ini terjadi karena supplier lokal banyak melibatkan perusahaan-perusahaan kecil dalam rantai pasoknya sebagai sub-kontraktor. Pendelegasian kepada sub-kontraktor ini dilatarbelakangi oleh pendeknya tenggat waktu yang diberikan dan tentunya motivasi finansial, karena pada setiap level rantai pasok, perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan margin keuntungan dari sub-kontraktornya dari harga yang telah disepakati dengan klien utama.
Mirisnya, meskipun hampir semua brand global telah menyetujui untuk mengikuti peraturan ketenagakerjaan di negara dimana pabriknya atau supplier-nya beroperasi, namun pada kenyataannya, mereka kadang menutup mata akan praktik sweatshop pada level sub-kontraktor supplier mereka.
Meskipun praktik dari sweatshop ini ilegal dan melanggar aturan ketenagakerjaan secara umum, namun pada sudut pandang yang berbeda, praktik ini juga berkontribusi pada pembukaan lapangan dan kesempatan kerja yang besar. Pendapatan yang dapatkan sebagai pekerja di pabrik tersebut sedikit lebih tinggi daripada pendapatan dari sektor informal lainnya. Meskipun perbedaan pendapatan relatif kecil, sektor ini menyediakan sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sektor informal, yaitu ‘stabilitas’. Penghasilan di sektor informal seringkali tidak menentu, sedangkan pekerjaan di pabrik memberikan jaminan dalam bentuk besaran upah tetap bagi pekerjanya setiap bulan di tengah himpitan ekonomi yang sulit dan kondisi tingkat pendidikan mereka yang rendah.
Jika kita memposisikan diri kita sebagai pekerja dengan keterbatasan finansial dan berpendidikan rendah, maka opsi bekerja di pabrik dengan stabilitas pendapatan merupakan salah satu opsi terbaik yang ada. Sehingga, menghentikan atau menutup praktik sweatshop bukanlah jawabannya, karena jutaan orang di seluruh dunia akan dibiarkan tanpa penghasilan dan akan berdampak pada meningkatnya permasalahan sosial dan kemiskinan di masyarakat.Sehingga apakah perdagangan internasional dan global supply chain ini memberikan keuntungan yang adil pada semua titik rantai pasok? Jawabannya jelas tidak. Sepanjang pengusaha hanya fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan hak-hak pekerjanya dan sepanjang konsumen tidak peduli dari mana produk yang mereka beli berasal, yang penting branded dan murah, sepanjang itulah isu ini akan terus menjadi catatan kelam dibalik gemerlapnya kemajuan jaman.
Herry Pradana adalah seorang peneliti di Badan Penelitian dan Pembangunan Daerah Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Ia meraih gelar MBA (Master of Business Administration) di Colorado State University pada tahun 2017 dengan beasiswa Fulbright.
Artikel Terkait
Cara Memulai Investasi Hanya 5 Menit
Untuk memulai investasi diperlukan perencanaan yang baik dan jelas. Sebagai salah satu pendiri Investhink Indonesia, Helmi memastikan apa saja yang harus kita pahami dan persiapkan untuk menentukan rencana investasi. Yuk, simak tulisan informatif berikut!Cerita Kelam dibalik Gemerlapnya Konsep Global Supply Chain
Supply chain pada level dunia (global supply chain) telah menghasilkan praktik sweatshop, dimana banyak terjadi pelanggaran ketenagakerjaan. Banyak brand besar dunia terlibat dalam praktik ini.Filantrokapitalisme: Tidak Ada Makan Siang Gratis
Filantrokapitalisme menjadi istilah yang menggambarkan tren filantropi masa kini, dimana pengusaha sebagai para ‘pemenang’ sistem ekonomi kapitalisme neoliberal bukan lagi penyumbang pasif yang ikhlas, tapi sebagai investor yang menginginkan sumbangannya kembali membawa keuntungan.