Bukan Warisan Untuk Generasi Selanjutnya
October 12, 2020Kuasa Bahasa Di Balik Kebijakan Penanganan COVID-19
October 28, 2020
OPINI
Buku dan Penulis
oleh Wahid Kurniawan
Ada satu pertanyaan yang membuat saya merenung lama, “Apakah seorang penulis harus punya buku sendiri?”
Pertanyaan itu datang dari seorang teman. Saat itu, saya menjawab dengan gampang. Otak saya tanpa pikir macam-macam membalas, “Tentu saja! Bagaimana mungkin penulis disebut penulis bila tidak punya buku sendiri?” Tapi, setelah saya renungkan sebentar, dan ketika si teman pun menambahi pertanyaannya dengan, “Lalu bagaimana dengan penulis-penulis artikel? Mereka kan tidak punya buku sendiri. Apa dengan begitu mereka tidak dapat disebut sebagai penulis?” Saya jadi terdiam cukup lama.
Dalam renungan itu pun saya menyadari satu kesalahan yang boleh dibilang terjadi di dalam diri saya: Perihal sempitnya definisi penulis yang selama ini saya percayai. Penulis, dari yang saya pahami selama ini, haruslah mempunyai sebuah buku supaya ia bisa layak menyandang label tersebut. Padahal, kalau kita mengacu pada definisi ‘penulis’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satunya adalah untuk merujuk kepada orang yang menulis. Tidak disebutkan bahwa keharusan memiliki karya dalam wujud buku mesti terpenuhi supaya seseorang bisa disebut sebagai penulis.
Apakah jawabannya cukup sampai di sini? Sayangnya, tidak. Sedemikian jelasnya penjabaran tersebut, tetapi otak saya tidak serta-merta menerimanya begitu saja. “Lalu apa yang dibanggakan seorang penulis yang tak punya buku sendiri?” tanya si otak. “Karyanya, tentu saja,” jawab separuh diri saya yang teringat perjuangan para penulis artikel, content creator, atau copywriter yang tiap hari pusing dikejar-kejar setoran tulisan.
Rupanya, dalam renungan yang dalam ini, pertarungan atas dua kubu di dalam diri saya cukup alot. Di satu sisi, saya masih memegang teguh kepercayaan yang cacat tersebut, sedangkan di sisi lainnya, saya membenarkan ucapan atas pertanyaan teman saya itu.
Baiklah, mulai dari sini, saya akan bersikap adil saja. Begini, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada satu sinonim—mungkin juga bukan—untuk merujuk kata ‘penulis’, yakni pengarang. Dari kata ini, saya kira, pembelaan atas kepercayaan cacat tadi bolehlah dibenarkan. Pengarang, sebagaimana yang kita ketahui, merujuk kepada seseorang yang mengarang sebuah karya, yang seringnya dalam bentuk karya fiksi. Pencapaian seorang pengarang, entah karya puisi, cerpen, ataupun novel, adalah menerbitkannya dalam sebuah buku. Buku ini, selain menjadi kegemilangan dalam perjalanan kariernya, juga sebagai peneguh bahwa ia seorang pengarang dan, tentu saja, penulis. Dari buku-buku yang berhasil ia terbitkan, ia diakui oleh masyarakat dan oleh khalayak pembaca. Kedudukannya naik dari orang yang tadinya tidak dikenal, jadi diidentifikasi sebagai seorang penulis. Kelak, orang-orang sibuk menyebut namanya sebagai penulis A, penulis B, atau penulis C.
Namun demikian, definisi penulis pun bisa sekali diperluas lagi. Sekarang, penulis tidak melulu diidentifikasikan bagi mereka yang mengarang cerita, menyebarkannya di media massa, dan kelak menerbitkannya dalam bentuk buku. Buku sendiri toh sekadar medium, kan? Dulu, orang-orang menuliskan pemikiran atau karyanya dalam bentuk buku supaya hasilnya tidak lekang oleh waktu dan, yang terpenting, bisa dibaca oleh banyak orang.
Sementara kini, medium untuk menampung keduanya telah berubah. Walaupun buku masih ditempatkan dalam capaian yang tinggi, tetapi kita tidak bisa menafikan kehadiran medium lain yang perlahan-lahan menggesernya. Sekarang ini, telah banyak medium atau platform yang bisa dijadikan tempat untuk menampung itu semua. Pergeseran ini pun juga mempengaruhi ranah serupa, seperti adanya media massa sebagai tempat bermunculannya para penulis.
Sampai sini, timbul pertanyaan satu lagi, “Apa mungkin buku dan penulis bisa dipisahkan?”
“Ya tidak, dong!” Kali ini, dua kubu dalam diri saya menjawab serempak.
Kenapa bisa begitu? Sederhana saja. Tidak akan terlahir seorang penulis tanpa kehadiran sebuah buku, mau si penulis ini kelak menulis buku juga atau hanya artikel-artikel yang tayang setiap hari. Karena buku, disadari atau tidak, memanglah berperan penting dalam proses terlahirnya seorang penulis di masa depan. Coba, tanyakan seorang yang gemar menulis atau yang berprofesi sebagai penulis, apa mungkin ia tidak suka membaca? Pasti, jawaban yang didapat adalah mereka gemar membaca. Dan, dari sekian bahan bacaan yang mereka konsumsi, bisa dipastikan juga bahwa yang paling banyak dan bernilai adalah buku.
Tidak akan terlahir seorang penulis tanpa kehadiran sebuah buku, mau si penulis ini kelak menulis buku juga atau hanya artikel-artikel yang tayang setiap hari. ~Wahid Kurniawan Share on XSelain itu, kedudukan buku saya kira masih dipandang tinggi dan masih menjadi acuan tinggi dalam karier kepenulisan seseorang. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang berlomba-lomba mengumpulkan tulisan yang sebelumnya terserak di mana-mana, untuk selanjutnya dikumpulkan jadi satu buku dan diterbitkan. Entah ini hanya ilusi semata atau bukan, tetapi bagi seseorang yang memiliki minat dalam hal kepenulisan, memiliki karya dalam buku adalah kebanggaan yang tak ternilai rasanya. Hal ini bolehlah dinilai ilusi dan tak begitu berperan penting dalam kemajuan kita, sebab toh kini, siapapun bisa menerbitkan bukunya sendiri dengan mudah, bukan? Teknologi sungguh memudahkan kita dalam berbagai hal.
“Gimana? Apa penulis harus punya buku sendiri?” Teman saya mengirimkan pesan lagi, dan itu menyadarkan saya dari renungan yang cukup lama. Saya pun tergerak untuk membalas pertanyaannya tadi. “Tergantung.” Saya mengirimkan pesan pendek itu. Lalu menelponnya untuk menjelaskan panjang-lebar persis seperti yang saya tuliskan ini.
Wahid Kurniawan, pembaca buku yang tak tahan godaan. Saat ini tengah menempuh pendidikan Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter dan Instagram: @karaage_wahid
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini