Budaya Populer: Pembodohan Massa atau Ruang Daya Laku Konsumen?
June 27, 2021Minoritas Seksual di Media: Sudahkah Tampil Akurat dan Terhormat?
June 27, 2021Makna
Slacktivism atau Clicktivism: Bisakah Perubahan Datang dari Protes Digital?
oleh Michaila Shahnez Natasha
Sebagai bagian dari generasi Z dan milenial, kita pasti sangat familiar dengan “Twitter, Please Do Your Magic! (Twitter, lakukan keajaibanmu!)”, petisi online, dan cara-cara menunjukkan dukungan seperti melakukan retweet atau menyukai unggahan di berbagai situs jejaring sosial. Sebetulnya, tanpa disadari aktivisme melalui media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.
Setiap hari, ketika membuka Twitter, Instagram, Facebook, atau situs jejaring sosial lainnya, kita hampir selalu menemukan suatu isu, kampanye, diskusi, atau drama yang sedang berlangsung. Penggunaan tagar, mengganti foto profil untuk mendukung suatu gerakan, dan me-retweet cuitan mengenai sebuah isu adalah kegiatan yang lazim dilakukan dalam bermedia sosial. Media sosial telah sukses menjadi wadah interaksi, partisipasi dan aktivisme daring bagi penggunanya.
Melalui sistem jaringan yang saling terkait, pembuatan konten atau unggahan mengenai isu tertentu menjadi bentuk partisipasi sosial yang dapat menjangkau skala yang besar. Akun media sosial tidak hanya menjadi medium untuk saling berinteraksi, namun juga menjadi wadah untuk bertukar informasi dan pengetahuan. Melalui akun media sosial, kita dapat berpartisipasi dalam diskusi daring mengenai suatu isu, mengambil peran aktif sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Dari mana saja dan kapan saja, satu “klik” yang kita lakukan dapat membawa pengaruh yang signifikan. ~ Michaila Shahnez Natasha Share on XMenurut Audrey Yue, pakar media, kebudayaan, dan teori kritis, kita sebagai warganet sudah tidak hanya berperan sebagai konsumen pasif yang hanya menerima informasi publik. Justru, kita kini dapat secara aktif menegosiasikan, mendistribusikan, dan mengevaluasi opini publik terhadap suatu isu di media sosial secara terbuka. Dari mana saja dan kapan saja, satu “klik” yang kita lakukan dapat membawa pengaruh yang signifikan. Hebatnya lagi, penyebaran informasi, narasi, dan kampanye ini dapat kita lakukan secara serentak.
Slacktivism atau Clicktivism: Jenis Aktivisme yang Tepat untuk “Generasi Pemalas”?
Aktivisme yang dilakukan melalui media sosial sering disebut dengan istilah slacktivism atau clicktivism. Kedua istilah ini berasal dari kata “slack” yang berarti malas dan “activism (aktivisme)” serta “click” dan “activism”. Max Halupka membagi definisi slacktivism atau clicktivism menjadi 7 poin utama. Menurutnya, slacktivism atau clicktivism adalah aksi yang dilakukan secara daring, sebuah respons spontan terhadap isu yang sudah ada, gerakan yang tidak memerlukan komitmen, tidak membutuhkan spesialisasi, mudah ditiru dan diproduksi kembali oleh publik, melibatkan sistem politik yang sudah ada, dan aksi individu yang independen terhadap suatu kampanye dan/atau ideologi politik yang lebih luas.
Karena dapat dilakukan dari manapun dan kapanpun, slacktivism atau clicktivism sering dinilai sebagai bentuk aktivisme yang malas dan tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Anggapan ini berasal perbandingan antara slacktivism dengan gerakan protes turun ke jalan yang cukup terbukti dapat membawa perubahan. Karena banyaknya isu yang lalu-lalang di media sosial, banyak pula isu yang setelah didiskusikan kemudian hilang begitu saja, seakan aktivis-aktivis online puas hanya dengan berdiskusi dan tidak peduli dengan dampak atau perkembangan isunya.
Namun, tentu saja ini tidak selalu terjadi. Ada gerakan berbasis online yang berhasil membawa dampak positif juga. Sebagai contoh, gerakan #MeToo, Black Lives Matter, pembela hak pengungsi, dan masih banyak gerakan lain yang dilakukan secara daring dan berhasil membawa dampak positif dalam bentuk perubahan sikap pihak yang berkuasa, terbentuknya kesadaran masyarakat, maupun bentuk-bentuk lainnya.
Melalui slacktivism atau clicktivism, kita juga dapat menyuarakan ide atau narasi yang mungkin tidak banyak diketahui masyarakat secara efektif. Narasi alternatif yang jarang diangkat oleh media utama ini dapat membantu kelompok minoritas atau kelompok terpinggirkan menyuarakan ketidakadilan yang mereka terima dan kebutuhan mereka. Dengan begitu, kita pun dapat meningkatkan kesadaran publik mengenai konflik sosial yang mereka alami. Kita bisa mengambil contoh konflik yang dialami masyarakat Papua. Dalam kasus ini, media sosial menjadi sarana untuk menyampaikan kejadian-kejadian yang seringkali tidak disampaikan oleh media utama. Selain itu, media sosial juga digunakan masyarakat Papua untuk menyuarakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Bisakah slacktivism atau clicktivism membuat perubahan?
Dalam Small Change, artikelnya yang diterbitkan The New Yorker, Malcolm Gladwell berpendapat bahwa aktivisme di media sosial hanyalah gerakan kecil yang kita lakukan dengan orang-orang di internet. Padahal, faktanya, banyak gerakan yang dimulai dari aktivisme di media sosial. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi gerakan turun ke jalan yang melibatkan banyak orang dan terorganisir dengan baik.
Sebagai contoh, gerakan #BantuanuntukWaria yang dimulai oleh Nurdiyansah Dalidjo di Twitter. Selain menggalang dana untuk membantu komunitas transgender di Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19, gerakan ini juga berhasil menyuarakan hak-hak kelompok transgender yang termarjinalisasikan. Gerakan yang dimulai dari tagar di Twitter ini juga berhasil menumbuhkan solidaritas dari dalam maupun luar komunitas transgender. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa aktivisme di media sosial dapat membawa pengaruh positif dalam waktu yang singkat.
Mohon dukungan lagi kawan. Bantu kami! #QLC membuka kembali #BantuanUntukWaria
Kami berencana ‘tuk memperluas jangkauan. Memang ambisius, tapi kami berharap dapat menjamin makan 3x sehari bagi 75 waria di Jkt hingga akhir bulan ini!
@club_queer pic.twitter.com/PFhYIEUPYm
— penjelajah_rempah (@nurdiyansah) April 7, 2020
Contoh lain adalah ketika baru-baru ini, masyarakat seluruh dunia kembali mengarahkan perhatiannya pada konflik yang dialami Palestina. Banyak masyarakat di berbagai kota di dunia yang turun ke jalan untuk mendukung pembebasan Palestina setelah banyaknya informasi dan seruan solidaritas yang disebarkan melalui media sosial. Aktivisme digital yang dilakukan banyak pihak untuk memboikot Israel ini kemudian menghasilkan pernyataan dari pihak Israel dan Hamas untuk menghentikan gencatan senjata.
Walaupun Malcolm Gladwell menyatakan bahwa, “The revolution will not be tweeted (Revolusi tidak akan di-tweet)”, tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial sudah menjadi medium yang mampu membawa perubahan. Slacktivism atau clicktivism mungkin dapat dibilang sebagai lazy activism (aktivisme yang malas). Bahkan, Urban Dictionary mendefinisikan slacktivism sebagai, “the self-deluded idea that by liking, sharing, or retweeting something you are helping out (gagasan menipu diri bahwa dengan menyukai, membagikan, atau meretweet sesuatu, berarti kamu membantu)”.
Namun, seperti slogan yang akhir-akhir ini ramai di media sosial, “Don’t Stop Talking About Palestine (Jangan berhenti berbicara tentang Palestina).” Kita tidak boleh berhenti berpartisipasi dalam aktivisme di media sosial. Dengan demikian, kita dapat menyampaikan isu yang selama ini teracuhkan, melantangkan suara kelompok yang termarjinalisasikan, dan menghindari pandangan keliru terhadap suatu isu.
Narasi alternatif yang jarang diangkat oleh media utama ini dapat membantu kelompok minoritas atau kelompok terpinggirkan menyuarakan ketidakadilan yang mereka terima dan kebutuhan mereka. ~ Michaila Shahnez Natasha Share on XAkan tetapi, memang ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum kita bergabung dalam kegiatan aktivisme daring. Salah satu hal utama yang harus dilakukan adalah mengecek ulang konten yang akan kita bagikan atau retweet. Bukan tidak mungkin konten yang akan kita sebarkan adalah hoax yang dirancang oleh suatu kelompok untuk mencapai keuntungannya sendiri. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan membuat tulisan dan konten, yang membuatnya rentan untuk dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu contoh aktivisme yang disalahgunakan untuk menyebarkan kebohongan adalah tagar #justiceforaudrey. Dalam kasus ini, emosi serta amarah warganet dimanfaatkan untuk menyebarkan berita palsu. Berita penganiayaan dan perundungan oleh 12 siswa SMA pada seorang siswa SMP, hingga menyebabkan trauma dan melukai organ intim korban, memancing simpati dan amarah warganet hingga hampir 3,8juta orang menandatangani petisi yang menuntut keadilan untuk Audrey. Namun, belakangan diketahui bahwa tidak semua informasi yang disebarkan melalui tagar tersebut adalah fakta, hingga Mendikbud pun turut berbicara.
Perlu diingat, dalam melakukan aktivisme di media sosial, kita harus bisa menyaring informasi yang kita terima dan akan bagikan. Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan dengan matang sebelum melibatkan diri dalam suatu gerakan. Kita harus ingat bahwa media sosial dapat menyatukan dan memecah belah dalam waktu yang sama. Maka, sebagai warganet, kita tetap harus bertanggung jawab dalam melakukan aktivisme di media sosial.
Bacaan Lebih Lanjut
Clark, R. (2016). “Hope in a hashtag”: the discursive activism of #WhyIStayed. Feminist Media Studies, 16(5), 788–804. DOI: 10.1080/14680777.2016.1138235 Dennis, J, (2019). Beyond Slacktivism: Political Participation on Social Media. Cham: Palgrave Macmillan. Gerbaudo, P. (2012). Tweets and the Streets: Social Media and Contemporary Activism. London: Pluto Press. |
Michaila Shahnez Natasha adalah mahasiswa pascasarjana di Departemen Ilmu Susastra FIB UI, dengan konsentrasi Cultural Studies. Ia aktif menggali isu mengenai aktivisme digital dan fokus penelitiannya kini adalah isu kelompok minoritas serta interseksionalitas gender, seksualitas dan agama.
Artikel Terkait
Media, Kita, dan Kebenaran
Kenyataan hidup (realitas) kita sekarang tidak cuma dibentuk oleh keluarga, teman, ataupun lingkungan sekitar. Media memainkan peran penting dalam menentukan apa yang kita anggap benar atau salah. Dengan kemasan ciamik, media membuat kita menuruti ideologi tertentu. Lalu gimana caranya kita bisa memahami media secara kritis? Yuk, baca artikel ini.Media, Ideologi, dan Memori Kolektif
Media bukan cuma sesuatu yang kita tonton, baca, atau bagikan ke teman-teman. Di artikel ini, Regina Widhiasti menjelaskan peran penting media dalam mengubah pola pikir, ideologi, dan memori kolektif.Minoritas Seksual di Media: Sudahkah Tampil Akurat dan Terhormat?
Kelompok minoritas seksual banyak mengalami representasi media yang tidak hanya salah, tapi juga tidak adil dan punya risiko menyakiti serta mendorong munculnya kekerasan. Lalu, bagaimana kita bisa merepresentasikan kelompok minoritas seksual secara adil?