Pseudohistory: Masa Lalu yang Keliru
September 27, 2021Sejarah, Politik, Masa Lalu, dan Kini
September 27, 2021Makna
Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
oleh Nila Ayu Utami
Pernahkah kamu mendengar tentang pascakolonialisme? Konsep ini memang cukup jarang dibahas dalam kehidupan sehari-hari, jadi mungkin terdengar asing di telinga kita. Bahkan mungkin, ketika mendengar istilah ini, kamu akan berpikir: Kan kita sudah merdeka, lantas apa pentingnya konsep pascakolonialisme dalam tatanan dunia baru ini?
Secara formal, penjajahan atau kolonialisme memang sudah berakhir. Namun, warisan sistem kolonial masih bisa kita rasakan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Karena inilah konsep pascakolonialisme masih memiliki peran penting.
Pada masa menuju Perang Dunia II, negara-negara yang berada di bawah belenggu kolonial bangsa barat terlibat aktif dalam gerakan anti-kolonial. Di samping itu, mereka juga membangun aksi solidaritas antarbangsa terjajah, misalnya melalui organisasi Liga Menentang Anti-Imperialisme yang dibentuk tahun 1927 dan yang menjadi bibit Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955. Mereka percaya bahwa kedaulatan adalah hak semua bangsa. Hingga akhirnya, pada tahun 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, dan Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill, mengeluarkan pernyataan bahwa setiap bangsa memiliki hak untuk berdaulat atas wilayahnya sendiri. Pernyataan tersebut tercatat sebagai salah satu poin dalam Piagam Atlantik.
Pernyataan yang menjunjung tinggi hak kedaulatan bangsa tersebut tentu menjadi sebuah ironi. Pada saat itu, Inggris Raya masih menjajah dan berkuasa atas berbagai wilayah termasuk India dan Malaysia. Pada kenyataannya, pertemuan antara dua pemimpin dunia ini bukan didasari oleh kekhawatiran dan kepedulian akan negara-negara jajahan, melainkan dimotivasi oleh kondisi geopolitik Eropa yang saat itu sedang dalam kemelut Nazi Jerman. Di samping itu, bangkitnya bangsa Jepang juga dianggap sebagai kekuatan tandingan yang mengancam.
Menariknya, meskipun dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi Amerika Serikat dan Inggris Raya, pernyataan tersebut justru memberikan kesempatan bagi bangsa-bangsa terjajah untuk menuntut hak berdaulat yang sama dengan negara-negara Eropa. Hak ini kemudian diakui dalam Piagam PBB tahun 1945. Mereka menyebutnya dengan istilah right to self-determination atau hak suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Singkat cerita, prinsip self-determination ini akhirnya semakin bergaung dan membawa akhir bagi masa kolonial formal. Karena itu, bangsa-bangsa yang tadinya terjajah pun satu-persatu mulai menjadi bangsa yang merdeka. Momen ini sering pula dikaitkan dengan konsep dekolonisasi yang oleh KBBI didefinisikan sebagai ‘penghapusan daerah jajahan.’
Itulah pengertian umum pascakolonialisme yang secara historis dipahami sebagai waktu berakhirnya masa kolonial dan dimulainya era kemerdekaan bagi bangsa-bangsa terjajah.
Sayangnya, kemerdekaan dan kedaulatan tersebut tidak menjamin terbebasnya suatu kelompok dari segala bentuk belenggu kolonialisme. Berangkat dari kenyataan ini, sebagai konsep dan bidang studi, pascakolonialisme merupakan seperangkat teori dan upaya untuk memahami kondisi era pascakolonial dan membongkar warisan kolonialisme yang masih membekas sampai sekarang.
Dekolonisasi dan Makna “Pasca” dalam Pascakolonialisme
Meskipun dekolonisasi dan pascakolonialisme terkesan cukup sederhana, kedua konsep ini sebetulnya cukup kompleks dan berkaitan erat dengan berbagai proses sejarah. Teori dekolonisasi sendiri tidak hanya membahas tentang berakhirnya penjajahan dan terwujudnya kedaulatan untuk berpolitik, mengadakan kegiatan ekonomi dan membangun sistem pemerintahan.
Munculnya pemikiran tentang dekolonisasi bisa dilacak di awal abad 19 pada konteks penjajahan Perancis di Algeria. Tapi, menurut sejarawan Stuart Ward, dekolonisasi sebagai pemikiran intelektual yang berkelanjutan dipopulerkan oleh pemikir Jerman, Moritz J. Bonn, di awal abad ke 20. Waktu itu, terjadi perubahan pada dinamika politik di Eropa setelah Perang Dunia I. Kekuatan Sekutu berhasil mengalahkan Kekuatan Sentral yang terdiri dari Kekaisaran Jerman, Ottoman dan Austria-Hungaria. Perang Dunia I juga menyebabkan perubahan peta teritorial: misalnya munculnya negara-negara baru di Eropa seperti Estonia dan Finlandia yang berhasil merdeka dari Kekaisaran Rusia, dan didirikannya Republik Jerman dan Turki akibat jatuhnya kekaisaran Jerman dan Ottoman.
Setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia I, Bonn percaya bahwa Jerman dipermalukan oleh sekutu. Kekalahan ini seakan diperjelas dengan adanya Perjanjian Versailles yang dibuat di Konferensi Perdamaian Paris pada tahun 1919 yang menurut Bonn menempatkan Jerman sebagai semacam koloni budaya Barat (terutamanya Amerika Serikat). Konteks historis inilah yang menjadi motif Bonn untuk mencetuskan konsep gegenkolonisation atau dekolonisasi yang utamanya merujuk pada konteks perubahan geopolitik di Eropa akibat Perang Dunia 1 dan dominasi Amerika Serikat di peta perpolitikan tersebut.
Tulisan dan pemikiran Bonn mengenai dekolonisasi sama sekali tidak mengacu pada koloni negara-negara Eropa di Asia dan Afrika. Pemikiran tentang dekolonisasi ini tentu berbeda dengan pemahaman yang menyebar. Di zaman sekarang, banyak dari kita yang memahami dekolonisasi sebagai pembebasan negara-negara jajahan dari kolonialisme Eropa.
Meskipun berkaitan erat dengan situasi politik, dekolonisasi juga bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan yang merupakan warisan sistem kolonial. Misalnya saja ranah pendidikan. Mungkin, kamu pernah dengar frasa ‘dekolonisasi pendidikan tinggi.’ Frasa ini mengacu pada upaya penghapusan praktik-praktik kolonial di perguruan tinggi.
Menurut data dari National Center for Education Statistics, di Amerika Serikat, hampir 70% dosen di perguruan tinggi adalah mereka yang berkulit putih (50% di antaranya adalah laki-laki). Sedangkan, hanya 22% dosen berlatar belakang ras kulit hitam dan latin, dan 10% sisanya adalah keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik. Kenapa ini menjadi masalah? Bukankah Amerika Serikat memang didominasi oleh orang berkulit putih, jadi wajar dong kalau mayoritas dosen di perguruan tingginya juga orang berkulit putih?
Mungkin sekilas, hal ini terlihat wajar. Sayangnya, statistik ini tidak hanya berdampak pada struktur kepengurusan perguruan tinggi, tetapi juga pada kurikulum, metode pembelajaran, produksi ilmu pengetahuan, hingga kebijakan kampus yang diterapkan.
Untuk memahami persoalan ini, mungkin kamu bisa menonton serial terbaru dari Netflix yang berjudul The Chair. Serial ini menceritakan persoalan ras dalam struktur kepengurusan kampus dengan bumbu komedi sehingga bisa dijadikan referensi yang menarik.
Lalu, bagaimana dengan pascakolonialisme? Kalau dekolonisasi pertama kali populer pada awal abad ke-20 di Eropa, maka teori pascakolonialisme dapat bisa dibilang lebih baru.
Pascakolonialisme tidak memandang penjajahan sebagai suatu peristiwa sejarah yang sudah berakhir. Justru, pascakolonialisme melihatnya sebagai proses yang terus bermutasi. ~ Nila Ayu Utami Share on XKetika membahas tentang pascakolonialisme, orang sering merujuk pada buku Orientalism karangan Edward Said yang terbit di tahun 1978. Buku tersebut memaparkan warisan kultural dari sistem kolonialisme Barat dalam berbagai literatur. Salah satunya adalah anggapan dan penggambaran dunia “Timur” sebagai eksotis (aneh dan tidak biasa), tidak maskulin, kekanak-kanakan, atau bahkan licik dan jahat. Sedangkan, dunia “Barat” digambarkan sebagai kebalikannya. Oleh ilmuwan politik Mahmood Mamdani, strategi ini disebut define and rule atau upaya mendefinisikan koloni jajahan untuk dikuasai. Dengan kata lain, membenarkan relasi kuasa dunia barat atas jajahannya.
Penggambaran diskriminatif ini menjadi fondasi paham kolonialisme yang membenarkan aksi penjajahan dan dominasi yang dilakukan oleh dunia barat. Pemikiran yang meninggikan orang kulit putih ini juga dipopulerkan oleh Rudyard Kipling melalui puisinya yang berjudul The White Man’s Burden (Beban Pria Kulit Putih) yang menggambarkan tentang tanggung jawab dunia “Barat” untuk menyelamatkan dunia “Timur” dari keterbelakangan melalui kolonialisme.
Menariknya, meski paham dekolonisasi sudah lama ada, ide seperti ini masih sering kita jumpai dalam produk budaya populer, seperti film, novel, buku komik, dan sebagainya. Misalnya saja serial TV Homeland yang banyak menggambarkan stereotip Islamophobia atau dominasi representasi masyarakat kulit hitam sebagai pengedar narkoba dan kriminal di begitu banyak film dan serial TV Hollywood. Ditambah lagi, representasi biner dan diskriminatif seperti ini tidak hanya terjadi atau tersekat antara dunia “Barat” dan “Timur” saja, tapi banyak juga ditemukan di negara-negara bekas jajahan. Penggambaran pola pikir diskriminatif ini dapat kita lihat dalam film Denias, Senandung di Atas Awan (2006).
Dalam film tersebut, masyarakat Papua masih dilekatkan dengan stereotip primitif. Hal tersebut seakan-akan menunjukan bahwa mereka adalah kelompok yang tertinggal dan hanya dapat ‘diselamatkan’ oleh sistem pendidikan yang Jawa-sentris (mengikuti nilai-nilai budaya dan perkembangan masyarakat Jawa). Padahal, setiap daerah memiliki nilai dan kebudayaannya masing-masing. Hal itu tentu juga mempengaruhi pola hidup masyarakatnya.
Selain itu, kita juga bisa mengambil contoh kasus penginjakan kepala warga Papua yang videonya sempat viral pada akhir Juli 2021 lalu. Kasus penginjakan kepala warga Papua di Merauke oleh dua oknum TNI ini tentu tidak terlepas dari pemikiran dan relasi kuasa sebagai warisan budaya kolonial.
Penulisan ‘pascakolonialisme’ tanpa tanda penghubung menekankan keberlanjutan sistem kolonial, bahkan pada masa setelah kolonialisme selesai secara formal sekalipun. ~ Nila Ayu Utami Share on XDengan melihat contoh-contoh penerapan konsep pascakolonialisme tersebut, kita pun dapat memahami kondisi dan fenomena pascakolonial sebagai dampak dari kolonialisme. Karena itu, penting bagi kita untuk mengkritisi warisan sistem kolonial yang telah banyak mempengaruhi cara pandang dan pola berpikir kita.
Walaupun secara formal kita sudah tidak lagi hidup di era kolonial, bentuk praktik dan pemikiran kolonial masih bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh praktik kolonial yang masih berlangsung hingga sekarang dialami oleh Puerto Rico, Guam, dan Virgin Islands. Ketiga teritori ini merupakan wilayah koloni Amerika Serikat yang belum menjadi negara berdaulat ataupun negara bagian resmi. Akibatnya, ketiga wilayah tersebut tidak memiliki hak politik yang sama. Selain itu, ketimpangan ekonomi global dan ketidaksetaraan distribusi vaksin COVID-19 juga merupakan contoh lain dari masih hidupnya sistem kolonial. Lalu, apa makna “pasca” dalam pascakolonialisme?
Pascakolonialisme tidak memandang penjajahan sebagai suatu peristiwa sejarah yang sudah berakhir. Justru, pascakolonialisme melihatnya sebagai proses yang terus bermutasi. Karena itu, pascakolonialisme mencoba memahami keberlanjutan penjajahan dalam berbagai aspek kehidupan, baik di negara-negara bekas jajahan maupun di negara-negara penjajah.
“Pasca” dalam pascakolonialisme tidak berarti terputus. Penulisan ‘pascakolonialisme’ tanpa tanda penghubung menekankan keberlanjutan sistem kolonial, bahkan pada masa setelah kolonialisme selesai secara formal sekalipun. Dekolonisasi pun harus dilihat sebagai proses, bukan hanya suatu peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau.
Dengan memahami pascakolonialisme dan dekolonisasi sebagai suatu proses yang terus berlangsung, kita diajak untuk selalu memandang sejarah bukan sebagai periodisasi waktu yang tersekat rapi dan menggunakan konsep ini sebagai cara berpikir kritis.
Bacaan Lebih Lanjut
Bailkin, Jordanna. “Where did the Empire Go? Archives and Decolonization in Britain.” The American Historical Review 120, no. 3 (2015): 884-899. Dabashi, Hamid. Europe and its Shadows: Coloniality After Empire. London: Pluto Press, 2019. Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: A Critical Introduction. New York: Columbia University Press, 1998. Hall, Catherine. Civilising Subjects: Metropole and Colony in the English Imagination, 1830-1867. Cambridge, UK: Polity, 2002. Said, Edward W. Orientalism. 1st Vintage Books ed. New York: Vintage Books, 1979. Ward, Stuart. “The European Provenance of Decolonization.” Past & Present 230, no. 1 (2016): 227-260. |
Nila Ayu Utami adalah mahasiswa S3 di Departemen Sejarah, University of British Columbia, Kanada. Ia adalah pengajar di Program Studi Sastra Inggris FIB UI, Depok. Nila tertarik mendalami narasi kepribumian dan hubungannya dengan ras, kelas dan agama di Indonesia di abad ke 20.
Artikel Terkait
Sentimen dalam Konsep Budaya Barat dan Timur
Kesan kalau kehidupan dunia barat dan timur jauh berbeda lahir dari sejarah panjang. Apa saja? Yuk, baca artikel ini.Sejarah, Politik, Masa Lalu, dan Kini
Sejarah kadang dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik kelompok tertentu. Kenapa sejarah punya peran penting dalam politik?Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
Meskipun secara formal penjajahan sudah berakhir, warisan sistem kolonial masih bisa kita rasakan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Apa saja efek dari penjajahan di kehidupan kita sekarang?