Pentingnya Identitas Hukum
November 30, 2021Tanah Air Mesra yang Dikutuk Amnesia
December 18, 2021OPINI
Ketika Kanye West Menggunakan Kaomoji
oleh Elyan Nadian Zahara
Kaomoji, walaupun saat ini sudah jarang digunakan, telah menjadi temuan penting dalam perkembangan representasi ekspresi wajah melalui pesan teks pada telepon genggam.
Kaomoji (¯\_(ツ)_/¯) menjadi populer sejak digunakan oleh Kanye West saat menginterupsi pidato kemenangan Taylor Swift pada ajang Video Music Awards (VMA) pada tahun 2009. Kanye menggunakannya untuk merepresentasikan bahasa tubuhnya saat mengangkat bahu. Okumura mendefinisikan Kaomoji sebagai urutan karakter Jepang yang khas yang membentuk ekspresi, tanda, emosi, dan seterusnya kepada pembaca dengan penggunaan yang serupa dengan emoticon, piktogram, smiley, dan stempel yang hanya menggunakan kata-kata tertulis. Sementara, masyarakat Amerika melihatnya sebagai hal yang baru, hal sebaliknya berlaku di Jepang.
Kaomoji menjadi bagian dari kebiasaan orang-orang Jepang saat bertukar pesan. Kaomoji merupakan bagian dari karakter emoji unicode yang dirancang pertama kali pada tahun 1999 oleh Shigetaka Kurita untuk Docomo, operator telepon seluler utama di Jepang. Cukup penting untuk membedakan antara kaomoji dan emoticon, walaupun keduanya diciptakan dalam waktu yang hampir bersamaan. Emoticon berasal dari kata emotion dan icon yang merujuk pada tampilan tipografi representasi wajah yang digunakan untuk menyampaikan emosi dalam media teks, contohnya adalah ;-), 🙁 dan masih banyak lagi. Di sisi lain, penekanan utama kaomoji adalah pemanfaatan karakter dan huruf Jepang sebagaimana yang dipergunakan Kanye West. Hal ini membuat kaomoji lebih ekspresif karena penggunaan set karakter dan huruf Jepang yang lebih banyak dan bervariasi.
Seiring dengan perkembangan teknologi telepon genggam menjadi telepon pintar, saat ini emoticon pun bertransformasi menjadi gambar yang lebih jelas dan representatif. Kaomoji, walaupun saat ini sudah jarang digunakan, telah menjadi temuan penting dalam perkembangan representasi ekspresi wajah melalui pesan teks pada telepon genggam. Meskipun pada prinsipnya penggunaan istilah kaomoji dan emoticon bersifat manasuka, tetapi selanjutnya penulis akan menggunakan istilah kaomoji karena akan membahas lebih lanjut dari perspektif negara asal kaomoji dan negara asal Kanye West sebagai pengguna kaomoji.
Bahasa merupakan aspek penting dari komunikasi antar budaya. Simbol-simbol khusus yang digunakan dalam bahasa apa pun bersifat arbitrer dan tidak memiliki makna yang berasal dari diri mereka sendiri. Simbol bahasa hanya mengomunikasikan makna ketika digunakan dalam konteks tertentu. Hipotesis akan adanya hubungan kuat di antara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur merupakan relativitas linguistik yang dikemukakan oleh pakar linguistik, Sapir dan Worf. Maksud dari hipotesis tersebut adalah kebudayaan seseorang sangat memengaruhi bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Basil Bernstein sebagai sosiolog mengaminkan dengan berpendapat bahwa kode-kode linguistik sangat berhubungan dengan struktur sosial budaya tertentu. Dalam hal ini, latar belakang budaya Amerika dan Jepang yang berbeda membuat cara mereka dalam menggunakan kaomoji berbeda.
Bahasa merupakan aspek penting dari komunikasi antar budaya. ~Elyan Nadian Zahara Share on XHal ini dapat dijelaskan menggunakan konsep low-context culture (LCC) dan high-context culture (HCC) dari Edward T. Hall . Masyarakat berlatar belakang high-context culture cenderung menggunakan kode-kode nonverbal dalam berkomunikasi, sedangkan orang-orang dalam low-context culture lebih cenderung ekspresif secara verbal. Hall mengurutkan negara-negara di dunia ke dalam klasifikasi konteks budaya. Negara-negara Eropa, Skandinavia dan Amerika menempati urutan bawah, sedangkan negara-negara Asia menempati urutan teratas dalam klasifikasi tersebut.
Berdasarkan klasifikasi dari Hall, Jepang menempati urutan pertama negara dengan latar belakang high-context culture, yang biasa membaca air muka untuk memuluskan percakapan dalam konteks lisan, sedangkan dalam konteks tulisan, mereka menuangkan ekspresi muka tersebut menjadi bentuk tertulis, kaomoji. Hal ini dilakukan untuk melengkapi unsur visual yang hilang pada saat bertukar pesan. Sebaliknya, orang Amerika menggunakan kaomoji sebagai pengganti dari ekspresi verbal.
Kerangka budaya yang diusulkan oleh Edward T. Hall menyatakan bahwa semua budaya dapat ditempatkan dalam kaitannya satu sama lain berdasarkan gaya komunikasi mereka. Amerika merupakan negara berkonteks budaya rendah dengan karakteristik pernyataan eksplisit dalam teks. Di sisi lain, budaya konteks tinggi seperti Jepang biasanya memiliki pola komunikasi yang tidak langsung, ambigu, harmonis, pendiam, dan agak bersahaja. Di sinilah kaomoji berperan besar dalam mengharmoniskan pertukaran pesan. Literatur mengenai emotikon mendapati bahwa penggunaannya menjadi indikator emosi pengguna dan meningkatkan kekayaan informasi dalam interaksi dan dianggap sebagai tambahan yang berharga untuk alat komunikasi online.
Singkatnya, penggunaan kaomoji dalam pertukaran pesan secara online oleh orang Amerika, mewakili ekspresi yang mereka gunakan dalam percakapan secara lisan. Sedangkan, orang Jepang menggunakan kaomoji dalam pertukaran pesan online sebagaimana mereka menggunakan ekspresi nonverbal dalam komunikasi sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan latar belakang HCC yang dimiliki orang Jepang dan orang Amerika yang berlatar belakang LCC.
Bagaimana dengan Indonesia? Jika dikaitkan dengan konteks masa kini di Indonesia yang juga berlatar belakang HCC, emoticon-lah yang banyak digunakan dan tidak terbatas pada media teks pada pesan singkat, melainkan juga merambah ke media sosial. Penelitian Arafah dan Hasyim, dalam konteks Indonesia, menunjukkan bahwa emoticon menjadi penanda, penghubung, dan penginterpretasi yang menghasilkan dimensi sintaksis, semantik, dan paradigmatik sebagai fungsi linguistik dalam komunikasi termediasi sekaligus mengaminkan pendapat Kavanagh akan emoticon sebagai pengharmonis pertukaran pesan.
Kaomoji lahir dari latar belakang HCC. Kehadirannya dalam pertukaran pesan yang diinisiasi sebagai pemberi harmoni dimaknai secara berbeda oleh sisi budaya lain (LCC) dan dipergunakan secara bulat-bulat sebagai manifestasi ekpresi secara tertulis. Tulisan ini menyuguhkan kontradiksi penggunaan kaomoji dari dua latar belakang konteks budaya yang berbeda, yang justru memperkaya khazanah penggunaannya.
Elyan Nadian Zahara, biasa dipanggil Nadia, merupakan lulusan S2 Ilmu Komunikasi UI (2021) dan Sastra Jepang UI (2009). Hobi membaca dan belakangan bermaksud aktif menulis karena ingin berbagi hal-hal baru dengan pembaca yang lebih luas di samping rutinitas sehari-harinya sebagai staf Humas Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Sebagai informasi, sepanjang tahun 2020 empat artikel ilmiahnya sudah terbit di jurnal nasional terakreditasi. Dua di antaranya terakreditasi Sinta 2.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @elyanadianz.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini