Ketika Kanye West Menggunakan Kaomoji
December 14, 2021Bagaikan Lagu “Rocker Juga Manusia”, Narapidana Juga Manusia
December 21, 2021KATALIS
Tanah Air Mesra yang Dikutuk Amnesia
oleh Septyawan Akbar
Analogi dari gerakan demokrasi tanpa pemimpin (leaderless movement) di tiga negara Asia Tenggara—Indonesia, Thailand, Myanmar—sepanjang tahun 2019 – 2021 memunculkan sebuah siklus sejarah serupa antara satu dengan yang lain: daya juang demonstran, memori kolektif dan personal dari peradaban masing-masing, serta tragedi dan kekalahan. Tanah air mesra yang dikutuk amnesia.
Saga panjang gerakan demokrasi Myanmar memasuki fase baru pasca serangkaian serangan gerilya oleh massa pro demokrasi. Serangkaian ledakan yang ditujukan terhadap konvoi militer membuat anak-anak muda mengangkat senjata sebagai respon terakhir dari represi berdarah junta militer. Ratusan nyawa telah menjadi korban dari represi junta militer sejak Februari, pasca kudeta militer yang kembali melanda Myanmar, memunculkan kembali gerakan demokrasi di Myanmar. Gerakan berkecamuk di jalan-jalan Mandalay, kota-kota di distrik Shan (Myingyan, Hlaing Tharyay, Aunglan, Bagi, Gyobingauk, Monywa, Aungban), dan kota terbesar Myanmar; Yangoon yang disambut peluru besi rezim junta militer. Maka kematian para demonstran pun makin akrab.
Terdapat sesuatu yang intim dan melankolis dari masa lalu Myanmar. Masa lalu yang penuh dengan kekalahan dan pengulangan sejarah berdarah. Tercatat sejak kemerdekaan negara ini pada 1948, telah terjadi tiga kali gerakan demokrasi. Pertama, 8888 Uprising pada 1988, di bawah kepemimpinan Aung Sang Suu Kyii. Kedua, Revolusi Saffron, yang melambangkan warna jubah dari biarawan Buddha pada 2007. Semuanya pupus dan dihadapkan kepada skenario yang sama di Maret 2021: kekerasan yang hilang-batas. Andrew Nachemson dalam Foreign Policy menuliskan gerakan demokrasi di Myanmar seumpama medan perang, tetapi dengan hanya satu sisi yang memegang senjata.
Penggambaran yang akurat dan nyata, ketika para demonstran yang awalnya dihadapkan kepada kekerasan yang tidak membahayakan; peluru karet, gas air mata berubah menjadi amunisi tajam di akhir Februari. Dua demonstran yang gugur di Yangon 28 Februari menandai fase baru dari demonstrasi Myanmar: deklarasi perang oleh militer terhadap para demonstran. Kutipan Eduard Galaeno di Open Vein of Latin America terbayang dalam benak saya; “Tanah air mesra yang dikutuk untuk amnesia” menjadikan kutipan yang tepat untuk mewakili pengulangan sejarah negara ini. Dalam sebuah kebetulan, satu purnama sebelum Tatmadaw (militer Myanmar) mendeklarasikan perang terhadap warga negaranya, saya berhasil menyelesaikan tugas akhir yang membahas mengenai tanah air mesra ini.
Serangkaian realitas yang saya temukan dalam penyusunan tugas akhir menunjukkan memori kolektif dari turbulensi sejarah negara ini: Sejarah kemerdekaan yang dimulai dengan dentuman, terbunuhnya Aung San pada 1947 (Bapak bangsa Myanmar sekaliber Soekarno-Hatta di Indonesia), konflik sipil antar etnis mayoritas (Bamar) dengan etnis-etnis minoritas (Shan, Rakhine, Karen, dsb) yang mengarah pada keberlangsungan perang sipil sejak 1949, kudeta militer yang telah terjadi selama tiga kali (1962, 1988, 2021), cengkraman kuat dari junta militer yang telah berkuasa selama 48 tahun (1962-2010), dan reformasi setengah hati pada 2011 dikarenakan pundi-pundi kekayaan Jenderal yang terkikis dan tak kuat melawan beban isolasi.
Dalam sebuah ironi, di tugas akhir saya juga mencatat serangkaian amunisi, pesawat tempur, tank-tank, dan kendaraan lapis baja Tatmadaw dari dua negara pemasok senjata terbesar (Tiongkok dan Rusia), yang sebulan berselang digunakan untuk menembaki demonstran. Mencatat transaksi dan jenis-jenis senjata yang dipesan militer Myanmar, yang mendakwahkan diri sebagai ‘Guardian of the Country’. Kilas-balik dari peristiwa yang terjadi di Myanmar juga membawa saya terhadap rekoleksi: liputan terakhir saya sebagai pers mahasiswa.
Di tanggal 26 September 2019, seperdua tahun sebelum turbulensi politik kembali melanda Myanmar, di bawah terik mentari Surabaya, saya menyaksikan lautan manusia yang memenuhi Tugu Pahlawan. Muncul sesuatu yang luruh dan menggetarkan dari apa-apa yang saya saksikan: Warna-warni almamater—merah, kuning, biru, dan rona lainya di barisan demonstran, hiruk pikuk lagu darah juang berhadapan dengan toa sholawat yang dikeraskan aparat; barikade-barikade besi berduri, topi merah bata yang menuliskan dan menggenggam ‘harapan’, sajak perlawanan yang dikutip di plakat dan papan nama, bau keringat dan aspal yang terbakar di tengah hari penghujung September.
Negara-negara Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, dan Myanmar, sepanjang 2019-2021 memulai sebuah model perlawanan tirani baru—leaderless movement atau pergerakan tanpa pemimpin yang dinamis dan spontan. Tanpa menggantungkan diri kepada satu sosok kharismatik atau ‘alumni’ yang menjadi gagap ketika semakin dekat dengan rezim. Max Lane di ISEAS menulis bahwa “kemampuan dari spektrum serikat buruh, organisasi mahasiswa, dan LSM untuk melanjutkan kritik publik terhadap hukum, (UU KPK 2019 dan Omnibus Law 2020) yang sekaligus memobilisasi massa di jalan-jalan saat pandemi dan di bawah ancaman pembubaran paksa aparat, menunjukkan konsolidasi dari oposisi sosial sedang berlangsung. Akselerasi penggunaan media sosial, yang melaju cepat dikarenakan situasi pandemi, menambah karakter nasional dari mobilisasi”
Senada dengan Max Lane, juga di ISEAS, Supalak Ganjanakhundee menarasikan karakteristik gelombang protes yang terjadi di Thailand “sifat dasar protes Thailand adalah menyebar, disruptif, dan tidak beraturan, terbentuk dalam serangkaian flash mobs tanpa membutuhkan kepemimpinan yang kuat dari individu atau organisasi mengindikasikan realitas bahwa masyarakat Thailand menginginkan perubahan drastis dalam sistem politik monarki. Mereka ingin mengubah aturan main untuk masa depan mereka sendiri.”
Kesamaan dari gerakan demonstrasi di Indonesia dan Thailand, dalam menjunjung leaderless movement, juga menggantungkan diri kepada narasi sejarah: kenangan luhur dari Reformasi 1998 dan Revolusi 1932. Perengkuhan akan sejarah perjuangan dan secercah kemenangan dari turbulensi sejarah kedua negara. Upaya untuk lepas dari kutukan amnesia.
Lalu bagaimana dengan Myanmar? Daya juang adalah satu kata yang dapat saya deskripsikan untuk mewakili Myanmar selama satu tahun perjalanan saya menyusun tugas akhir. Upaya saya dalam memahami sejarah dari Myanmar yang kompleks. Dan ternyata tidak jauh berbeda dengan sejarah kompleks Indonesia. Kesamaan dalam memori kolektif negara-negara Asia tenggara yang terjalin antara satu dengan yang lain.
Daya juang dari peradaban Myanmar; Kekaisaran Pagan untuk terus bertahan dari dua ancaman kekaisaran mahabesar (India dan Mongol) selama dua setengah di lembah Irrawaddy; tenasitas ribuan stupa dan pagoda emas untuk terus menetap di kota-kota kuno Myanmar (Bagan, Yangon Arakan, dsb), tenasitas perjuangan kemerdekaan terhadap Inggris di bawah thirty comrades, tenasitas untuk terus bertahan di tengah kecamuk proxy war yang memporak-porandakan Indochina sepanjang abad keduapuluh masehi.
Pemahaman mengenai Myanmar adalah tentang tenasitas sebuah peradaban untuk terus bertahan. Potret-potret keseharian masyarakat yang memakai Longyi (sarung khas Myanmar) kala upacara negara, perempuan-perempuan jelita dengan Thanaka (bedak khas Myanmar) di muka, dan dupa-dupa di Biara yang dinyalakan Sangha (komunitas biarawan Buddha Myanmar) saban pagi. Myanmar dengan tenasitas sejarah dan potret masyarakatnya dialegorikan oleh Pagoda Shwedagon kala malam di pusat kota Yangon; lentera raksasa yang menyala emas di tengah gelap yang panjang.
Pengetahuan ini menetap. Kenangan akan daya juang masa lampau menjadi penopang dari para demonstran leaderless movement. Memori kolektif akan kemenangan gerakan demokrasi, melawan kelaliman dan rezim otoriter dari masing-masing negara. Kesadaran akan sejarah yang terjalin di Indonesia-Thailand-Myanmar menghadapi kontradiksi dari rekoleksi daya juang peradaban: Siklus kelaliman dan tragedi.
Indonesia sepanjang demonstrasi 2019 saja misalnya, telah memakan korban jiwa 50 demonstran. Thailand sepanjang tiga gelombang demonstrasi 2019 – 2020 telah menangkap lebih dari 1341 demonstran hingga September 2021. Penelusuran lebih dalam dari siklus kelaliman dari kedua negara tentu akan menghasilkan lebih banyak lagi tragedi, seperti kudeta militer (Thailand: 30 kali dengan 12 berhasil, Indonesia: 1 kali pada 1965, berdasarkan argumen Cornell Paper), pemberangusan dan pembunuhan massal (Pembantaian 1965 – 1966, Pembantaian 6 Oktober 1976, dst), dan kediktatoran dan memori traumatik terhadap institusi militer. Melepaskan impuls semua yang luhur di Tugu Pahlawan pada terik September 2019 adalah risiko dan kenyataan brutal yang dihadapi demonstran leaderless movement: kekalahan, darah, dan penderitaan tanpa ujung
Risiko dan kenyataan brutal yang dihadapi demonstran leaderless movement: kekalahan, darah, dan penderitaan tanpa ujung ~Septyawan Akbar Share on XKemudian, semua yang terjadi di Myanmar jauh lebih intens dan brutal. The Irrawaddy, situs media daring bentukan eksil 8888 uprising, memberitakan pembunuhan 102 orang, termasuk 4 anak berusia 5-15 tahun di 41 lokasi dalam 10 dari 14 negara bagian di Myanmar. Headline dari situs berita ini memuat “Di Hari Teror dan Aib, Lebih Dari 100 Orang Terbunuh oleh Rezim Junta Militer” sebagai ironi dari perayaan tahunan 28 Januari. Pemberitaan di bulan Agustus, semakin menunjukkan situasi untuk terus memburuk di Myanmar. “Rezim militer telah membunuh 800 masyarakat sipil selama represi, penggrebekan, dan penembakan acak. Milisi sipil menggunakan senapan angin, senjata api rakitan dan bom di seluruh negara bagian, kecuali di wilayah Rakhine.” Myanmar pada saat ini berada di ambang perang sipil.
Rekoleksi dari siklus kelaliman sejarah Myanmar dari apa yang telah saya tuliskan tentu akan tidak pernah habis dibahas: Dengan represi lalim gerakan demokrasi, keterbelakangan ekonomi di dekade-dekade tangan besi junta militer, pembunuhan massal dan luka sejarah. Menghadapi itu semua, apakah pengetahuan akan lentera dan tenasitas demonstran telah cukup? Myanmar saat ini berada dalam phantasmagoria—keadaan terjebak dalam mimpi buruk yang panjang. Seumpama Jen di film yang membuat saya terisak, Cemetery of Splendour (2015), yang menyadari keputusasaan mendalam dengan mata terbelalak bahwa keadaan berdasarkan memori personal dan kolektif dari negara-negara Asia Tenggara tidak akan pernah membaik.
Delapan puluh empat tahun sebelum gerakan leaderless movement dan Revolusi Musim Semi 2021 berkecamuk, Tan Malaka dalam Dari Penjara ke Penjara menulis “Pada masa itu [1937] buat saya sendiri sudah terasa angin topan revolusi yang akan bertiup di Birma, yang banyak mempunyai persamaan dengan Indonesia, dalam hal bumi iklim, kebangsaan, teknik perekonomian, sosial-politik, bahkan juga dalam hal kebudayaan kejiwaan bersama […] kini sudah kelihatan, bahwa jiwa itu sudah mulai meluap, bergelora, laksana sungai Irrawadi yang tenang dangkal di musim kemarau berubah menjadi banjir yang deras, meluap di musim hujan.” Di tengah kecamuk pergerakan sejarah, dan gerakan Revolusi Musim Semi. Kutipan Tan Malaka, akan Indonesia, Thailand, dan terutama Myanmar menjadi makin relevan.
Kenangan akan daya juang peradaban di Myanmar dan negara Asia Tenggara lainnya senantiasa luput dan di ambang keterlupaan. Apa yang kita bisa lakukan di hadapan kekalahan? Merawat ingatan sejarah tanah air yang kita cinta–di tengah kelaliman dan phantasmagoria–menjadi aksi yang paling radikal.
Apa yang kita bisa lakukan di hadapan kekalahan? Merawat ingatan sejarah tanah air yang kita cinta~Septyawan Akbar Share on X
Septyawan Akbar adalah alumni jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya. Pernah berkecimpung di dunia pers mahasiswa sebagai Editor Rubrik Sastra Seni LPM Retorika FISIP Unair 2018-2019, dan Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia, Distrik Surabaya 2018-2019
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Twitter dan Instagram: @septakbar_
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini