Ikhaputri Widiantini
July 6, 2022James Farlow Mendrofa
July 6, 2022Makna
Subjek dan Keyakinan
oleh James Farlow Mendrofa
Setiap orang memiliki keyakinan dan cara meyakininya masing-masing. Akan tetapi, bagaimana keyakinan itu dapat muncul dalam diri seseorang? Artikel ini menjelaskan subjektivitas keyakinan dan bagaimana keyakinan memengaruhi tindakan seseorang.
Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu. Beberapa orang meyakini sesuatu karena faktor keturunan, beberapa lagi meyakini sesuatu karena faktor kebiasaan, atau seseorang bisa meyakini sesuatu akibat pengalaman. Anda bisa meyakini apapun dengan cara apapun. Akan tetapi, persoalannya seringkali terletak pada apa yang anda yakini seolah memiliki kebenaran paling absolut di antara kebenaran yang lain. Absolutisasi keyakinan tersebut nyaris selalu berujung pada pemaksaan keyakinan terhadap orang lain, dan ini berbahaya. Bahaya dari praktik keyakinan yang demikian adalah kita melupakan bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu.
Ibadah merupakan salah satu caranya. Ada yang beribadah pada waktu-waktu tertentu di setiap harinya, ada yang beribadah dengan mengikuti jadwal tertentu di setiap minggunya, ada yang beribadah dengan mengunjungi tanah suci setiap tahunnya. Seorang teman pernah berkata, “Buat gue, Old Trafford adalah tanah suci!” Percakapan tersebut membuat cakupan ibadah dan keyakinan semakin luas. Ada yang meyakini bahwa Inter Milan adalah klub sepakbola terhebat di Italia. Keyakinan tersebut diiringi asumsi bahwa sebagai klub terhebat, maka setiap tahunnya Inter Milan pasti menjuarai Liga Seri A Italia. Namun, tentu sebagian besar kita mengetahui bahwa seyakin apapun si fans Inter Milan itu, kenyataannya tidak demikian, apalagi di tahun 2022 ini. Kenyataan dan keyakinannya sangatlah bertolak belakang. Apakah dengan demikian keyakinannya salah? Atau ia harus mengubah apa yang ia yakini sebagai klub sepakbola Italia terbaik? Tentu tidak, karena: setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu.
Namun, terdapat satu hal yang tidak bisa disangkal, yaitu bahwa keyakinan seseorang berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan dalam kehidupannya. Keputusan tersebut termanifestasi dalam cara ia bekerja, belajar, memilih calon suami atau istri, hingga mencoblos surat suara pada saat pemilu. Setiap keputusan memiliki tingkat urgensi yang berbeda pada masing-masing orang. Bagi beberapa orang, keputusan untuk memiliki anak tidaklah urgen. Namun bagi beberapa orang, hal tersebut sangatlah penting sampai-sampai ia rela mengadopsi Idol K-Pop untuk menjadi anaknya. “Semua keputusan penting berakar dari subjektivitas (All essentials decisiveness, is rooted in subjectivity)”, sebuah pernyataan yang pernah diajukan oleh seorang pemikir di penghujung abad 19 bernama Soren Kierkegaard. Kierkegaard meyakini bahwa setiap keputusan-keputusan penting dalam kehidupan seseorang selalu berakar pada subjektivitasnya. Dengan demikian, setiap keyakinan pun berakar pada subjektivitas. Pernyataan tersebut membawa kita ke dalam sebuah perenungan yang mendasar dalam narasi kali ini, yaitu apakah memang setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu?
“Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu” merupakan awal perjalanan kita dalam menelusuri jejak keyakinan dalam diri seseorang kali ini. Apabila kita sepakat dengan posisi awal tersebut, maka pertanyaan perenungan di atas merupakan pemicu yang sangat signifikan untuk mendiskusikan keyakinan. Mari kita mulai dengan sebuah thought experiment kecil-kecilan. Asumsikan bahwa segala sesuatu yang perlu dibuktikan dalam kitab suci berhasil dibuktikan oleh para apologetis. Apakah pembuktian tersebut pasti menjadikan keyakinan seseorang mengalami progress yang signifikan? Kita yakin bahwa Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di pulau Jawa dan para ahli berhasil membuktikannya. Setelah itu, apakah keyakinan kita akan Bengawan Solo bertambah besar? Pada akhirnya keyakinan kita hanya disudahi dengan sebuah anggukan kecil dan “tuh kan, gue bilang juga apa”. Kita tidak lagi menemukan gairah yang sama untuk mencari pembuktiannya, kita tidak lagi memiliki semangat yang sama untuk tekun mencari kebenaran bahwa Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di pulau Jawa, kita hanya bersandar pada kepastian objektif dari Bengawan Solo. Posisi kita menjadi terfiksasi dan tidak lagi dilingkupi dengan tremendum bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu.
Keyakinan merupakan renjana yang menggerakkan kehidupan seseorang. Sebuah antusiasme yang kuat dan dibarengi dengan kerinduan akan sesuatu yang kuat pula. Pembuktian (objektif) menghilangkan elemen terpenting dalam keyakinan, yakni renjana. Keyakinan dapat kita lihat sebagai sebuah perjalanan. Dalam perjalanan tersebut setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu. Cara yang mereka gunakan merupakan manifestasi dari renjana yang mereka miliki. Pada saat renjana itu lenyap, maka peristiwa seseorang masuk ke dalam perut ikan besar tidak lagi memiliki makna.Ia sama seperti “Eureka” Archimedes dan kita akan membiarkannya berdebu pada rak buku di ruang keluarga.
Keyakinan dapat kita lihat sebagai sebuah perjalanan. Dalam perjalanan tersebut setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu. ~ James Farlow Mendrofa Share on XInfinite passion adalah istilah yang dipakai Kierkegaard untuk menerangkan keyakinan. Renjana yang kekal ini yang menggerakkan kehidupan seseorang. Keyakinan bersumber pada kegigihan seseorang untuk mencari, alih-alih menerima begitu saja. Keyakinan berdasar pada keintiman relasi antara seseorang dengan apa yang ia yakini. Keyakinan mampu membuat seseorang melompati pagar pembatas rasional dalam kehidupannya sebagai subjek. Ia meyakini apa yang ada pada dirinya sebagai hasil dari kontestasi kecemasan atau kegalauan yang melingkupinya. Selama subjek hidup, keyakinannya melakukan lompatan-lompatan untuk mencari dengan penuh gairah, alih-alih terdiam menerima dalam kepasrahan. Renjana yang kekal dalam kehidupan subjek membuatnya memahami benar bahwa memang setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu dan inilah cara-Ku meyakininya.
Richard Dawkins pernah berkelakar bahwa semua orang di muka bumi ini memiliki keyakinan dan mereka pun merasa bahwa keyakinan merekalah yang paling benar. Di satu sisi, argumentasi tersebut mengafirmasi bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu. Di sisi lain, kelakar itu merupakan sebuah kritik terhadap asumsi paripurna yang seringkali mendampingi sebuah keyakinan. Seperti yang sudah kita diskusikan sebelumnya bahwa yang paripurna merupakan hasil dari pendekatan objektif dan dengan demikian ia bertolak belakang dengan keyakinan. Keyakinan memang tidak meminimalisir fakta objektif. Namun, keyakinan bekerja dalam tataran subjek yang mengambil keputusan untuk melompat dalam renjananya. Fakta bahwa subjek tidak pernah hidup sendiri di muka bumi ini tidak seharusnya dinegasi dengan yang lain harus berkeyakinan sama dengan saya. Fakta tersebut justru memberikan alasan yang “provokatif”, yaitu bahwa di tengah keragaman keyakinan, subjek tetap dapat menghidupi renjananya tanpa perlu mencederai yang lain. Keyakinan bukanlah tentang orang lain, keyakinan adalah mengenai subjek dan renjananya.
Fakta bahwa subjek tidak pernah hidup sendiri di muka bumi ini tidak seharusnya dinegasi dengan yang lain harus berkeyakinan sama dengan saya. ~ James Farlow Mendrofa Share on XInter Milan gagal scudetto di tahun 2022 ini, Maudy Ayunda memilih pria lain dan bukan aku, serta NCT Dream tidaklah disukai semua orang, merupakan bentuk tantangan terhadap “setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu”. Setiap tantangan yang hadir di hadapan keyakinan subjek merupakan pemicu terhadap renjananya. Apakah ia akan terus melompat untuk mencari atau berpasrah pada keadaan dan menerimanya begitu saja. Tantangan terbesar bukanlah pada keyakinan subjek, tetapi pada kemampuan subjek untuk berani melakukan lompatan keyakinan dan renjananya untuk dapat tetap hidup berdampingan dalam dunia yang dipenuhi keragaman keyakinan. Lompatan keyakinan adalah sebuah lompatan yang diarahkan kepada nilai-nilai makna kehidupan kemanusiaan. Dalam lompatan tersebut tersirat sebuah pesan kecil, yaitu bahwa ia berorientasi pada kehidupan kemanusiaan, bukan kehancuran dan kebinasaannya. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk meyakini sesuatu dalam kehidupan; sebuah keyakinan yang membuatnya dapat memandang kehidupan lebih luas bagi subjek lain dalam kemanusiaan.
Bacaan Lebih Lanjut
Soren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postcript (1941), Princeton: Princeton University Press. ————————, Fear and Trembling: The Book on Adler (1994), New York: Everyman’s Library William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular Philosophy (1897), New York: Longmans Green. Richard Dawkins, Outgrowing God (2019), London: Bantam Press. Thomas Nagel, What Does It All Mean? (1987), New York: Oxford University Press. |
James Farlow Mendrofa, M.Hum merupakan staf pengajar Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pendidikan terakhir yang ia raih adalah Magister Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada tahun 2011. Saat ini, ia sedang menjalani pendidikan Doktoral Filsafat di STF Driyarkara.
Artikel Terkait
Berfilsafat: Apa Gunanya?
Filsafat terkenal abstrak, sulit, dan tidak menjangkau keseharian manusia. Jika benar begitu, lalu sebenarnya apa itu filsafat? Apakah filsafat adalah suatu jenis “ilmu” sama seperti sains dan ilmu sosial? Lalu, apa produk dari filsafat dan adakah manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari kita?Bagaimana menjadi Manusia yang Baik?
Kita semua diharapkan menjadi orang yang baik oleh orang tua maupun diri sendiri. Namun, bagaimana cara menjadi manusia yang baik? Bukankah ada beragam kriteria “baik”? Jadi, apakah label “manusia yang baik” itu tidak universal dan bersifat subjektif saja?Tidak Pernah Ada yang Biasa Saja dalam Estetika
Di kehidupan sehari-hari, estetika umum diartikan sebagai sesuatu yang indah. Apa benar estetika hanya tentang keindahan visual saja?