Membaca adalah Bentuk Aksi
October 7, 2020Buku dan Penulis
October 22, 2020
OPINI
Bukan Warisan Untuk Generasi Selanjutnya
oleh Zefanya Todoan
Kulit putih, hidung mancung, rambut lurus dan terurai panjang, wajah dengan kombinasi ras tertentu menjadi standar kecantikan bagi sebagian orang. Banyak wajah dengan ciri–ciri tersebut sering terlihat di jagat industri hiburan tanah air. Mulai dari sinetron, film, hingga iklan banyak didominasi oleh mereka yang berperawakan ras indo campuran.
Penggelut industri ini, khususnya para ‘pencari talenta’ memilih mereka yang katanya berkarakter. Meski tanpa dilengkapi dengan kualitas akting dan kemampuan berbahasa yang baik, tetapi mereka jualah yang menjadi bintangnya. Pintu dunia industri hiburan seakan memberikan pernyataan yang kuat kepada para penikmatnya bahwa hanya individu dengan standar ciri fisik tertentulah yang mampu memasuki gerbang untuk berkarya di industri hiburan dengan mudah.
Menurut Hukum Polaritas oleh Diane Wing, semua hal memiliki pasangan yang berlawanan; suka dan tidak suka, baik dan buruk, putih dan hitam, benar dan salah. Tidak dipungkiri bahwa banyak para pelaku industri hiburan yang terlahir dengan paras rupawan dan talenta luar biasa serta etos kerja yang baik. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengagumi keindahan, kecantikan dan ketampanan seseorang. Tapi, hal ini terasa mengusik nurani. Apabila kecantikan dan ketampanan dijadikan sebagai suatu standar tertentu atau definisi yang seakan dipatenkan dalam ruang lingkup sosial, ini bisa berujung pada dua hal yaitu obsesi dan keyakinan yang salah.
Obsesi yang dimaksud disini adalah obsesi dari diri individu untuk bisa tampil serupa dengan idolanya secara berlebihan dengan mengenyampingkan identitas diri. Oleh karena itu, berbagai macam perawatan dan produk kecantikan kini berseliweran dimana-mana. Mereka juga mengklaim dapat memberikan hasil yang instan dengan efek samping yang ditanggung sendiri. Selain menghasilkan dampak berupa obsesi, ada hal lain yang menurut saya terlahir dengan membentuk cara pandang terhadap standar keindahan akan ciri fisik dan ras manusia tertentu, yaitu kepercayaan yang salah atau keyakinan yang salah. Oleh karena itu saya menarik kesimpulan bahwa keyakinan yang salah merupakan produk dari kesalahpahaman yang dihasilkan dari alasan yang salah. Obsesi berlebihan yang dilakukan sebagian masyarakat awam terhadap orang yang berasal dari negara lain atau individu dengan ras campuran menghasilkan ketimpangan sosial.
Masih banyak dari kita yang memandang bahwa warga dunia yang memiliki kulit putih adalah manusia kelas satu. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana sebagian besar masyarakat di tanah air tercinta memperlakukan orang asing di kehidupan sosial dengan pelayanan kelas raja. Bagaimana mereka melihat orang asing adalah “objek bagus” untuk diajak berfoto, “Mister, mister can I take a picture with you mister?” (Apa boleh foto, pak?) Selain itu juga masih banyak dari kita yang berpikiran bahwa warga dunia dengan kulit putih ini memiliki uang yang tidak berseri atau ATM berjalan, sehingga banyak orang yang berlomba – lomba untuk dapat menjalin hubungan dan menikah dengan kaum kulit putih dengan misi atau modus tertentu atau biasa yang disebut dengan pemburu bule. Mereka beranggapan bahwa menikah dengan kaum kulit putih adalah jawaban dari permasalahan finansial mereka.
Belum lama ini saya juga menemukan iklan ‘inspiratif’ khusus tentang pendidikan dan jodoh, di salah satu akun sosial media yang biasa menyebarkan informasi terkait beasiswa luar negeri.
Di dalam iklan tersebut, dituliskan beberapa materi yang akan mereka bagikan antara lain, mengenal karakteristik orang bule, langkah – langkah untuk mendekati orang bule, cara pintas memikat hati mereka, tantangan mendapatkan bule, susah senang mendapatkan jodoh bule. Lalu beberapa hari setelahnya iklan tersebut pun dihapus oleh pemilik akun, dengan membuat pernyataan maaf karena telah mempublikasikan iklan yang tidak sesuai dengan nilai pendidikan.
Bahkan lebih jauh lagi, banyak dari kita yang masih berpikir bahwa orang asing itu memiliki kapabilitas, kompetensi dan intelektualitas yang lebih tinggi dari masyarakat kita sendiri. Seakan–akan kita akan merasa aman apabila ada warga negara asing yang terlibat dalam suatu proyek, memegang kendali dalam perusahaan atau apapun jenis kegiatannya, karena kita terbuai dengan embel–embel internasional dan luar negeri. Memang dapat kita akui bahwa kaum kulit putih dari negara maju tersebut memegang kendali besar akan banyak industri di dunia.
Namun, sejatinya kita semua adalah setara. Warga negara asing juga memiliki masyarakat dengan beragam tingkah laku, sama seperti masyarakat di negara kita. Ada yang membangkang, pintar, rajin, taat peraturan, pembohong, suka menolong, dan sebagainya.
Sebagai warga dunia kita semua sama–sama mempunyai kesempatan untuk memiliki kapabilitas, kompetensi dan intelektualitas yang tinggi. Karena sudah terbukti sejak zaman dahulu Indonesia juga memiliki para jenius–jeniusnya, salah satunya Raden Ajeng Kartini. Ia lahir pada tahun 1879 dan meninggal pada tahun 1904. Beliau hidup di zaman kolonial namun tetap memiliki cara pikir yang progresif. Ia membuahkan sebuah pikiran originalnya mengenai perempuan. Beliau memiliki pandangan bahwa, siapa lagi yang bisa merubah derajat manusia kalau bukan kaum perempuannya, karena seorang ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya.
Pada hakikatnya, keindahan fisik manusia itu relatif bukan absolut. Tak ada ras superior ataupun inferior, tidak ada ras nomor satu. ~Zefanya Todoan Share on XSelain itu, menurut saya bahwa keyakinan yang salah ini eksis di tengah masyarakat, mungkin erat kaitannya dengan mentalitas poskolonial. Seperti yang dikemukakan Nuenning, mentalitas poskolonial ini adalah sikap inferioritas etnis atau budaya yang dirasakan oleh orang-orang sebagai akibat dari penjajahan oleh kelompok atau bangsa lain. Sehingga cara pikir kita terhadap bangsa lain menjadi inferior. Tiga ratus lima puluh tahun tahun lamanya bangsa kita dijajah, dan mungkin tanpa kita sadari mentalitas poskolonial ini ada di dalam ‘DNA’ dari setiap kita. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita memutus mata rantai dari mentalitas poskolonial ini guna mengubah paradigma kita dalam memandang bangsa lain, menghadirkan nilai persamaan dan kesetaraan antara kita sebagai warga dunia.
Pada hakikatnya, keindahan fisik manusia itu relatif bukan absolut. Tak ada ras superior ataupun inferior, tidak ada ras nomor satu. Kita semua diciptakan sama dan setara oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan keindahan, ciri dan keunikannya masing–masing. Oleh karena itu, kita tidak bisa memandang keindahan berdasarkan standar yang ditentukan oleh manusia itu sendiri. Ciri fisik manusia itu berbeda–beda, mulai dari bentuk tubuh, warna kulit, struktur tulang muka, jenis rambut dll. Perbedaan ini bukanlah menjadi pembanding antara satu sama lain melainkan pemersatu. Perbedaan bukan menjadi ajang untuk merendahkan dan meninggikan antara kita sesama warga dunia. Mari kita melihat jauh kedalam bahwa posisi kita equal, kita semua sama–sama memiliki kesempatan untuk tampil indah dengan keunikan yang kita miliki. Oleh karena itu, wariskanlah kepada generasi selanjutnya akan pewahyuan bahwa setiap penduduk bumi ini berbeda namun setara dan sama–sama indah dengan keunikannya masing–masing.
Zefanya Norman Todoan adalah seorang asisten di Information Social Cultural Affairs KBRI Dar es Salaam. Suka menulis & fotografi. Berpartisipasi dalam pekerjaan sukarela di Youth Development Organisation Tanzania yang berkaitan dengan keberlanjutan & pemberdayaan komunitas berkembang. Instagram: @zefannn
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini