Membentuk Klub Buku, Membangun Ruang Diskusi Inklusif
June 3, 2021Membangun Netizen Kritis dan Tangguh, Tugas Siapa?
June 27, 2021OPINI
Desainer Masa Depan: Apa Itu Speculative Design?
oleh Mohammad Fachry
Sebelumnya, tidak pernah terpikir bahwa saya akan bekerja di bidang desain. Sejak SMA, saya merasa bahwa desain adalah hal yang sulit untuk dipelajari. Bagaimana mau menciptakan visual yang menarik, menggambar garis lurus atau memadukan warna saja saya kesulitan.
Pada saat itu, pengertian saya terhadap desain terbatas pada bagaimana membuat visual yang ciamik. Sampai akhirnya, saya berkenalan dengan user experience design. Melalui desain UX, saya memahami bahwa seorang desainer tidak hanya berurusan dengan perkara estetika, melainkan juga penyelesaian masalah menggunakan design thinking.
Metode berpikir ala desainer ini (design thinking) nyatanya membantu individu maupun organisasi atau perusahaan dalam menyelesaikan masalah sehari-hari. Khususnya di era teknologi seperti sekarang, framework design thinking (kerangka pola pikir desainer) mendukung perusahaan dalam menciptakan pelayanan digital terbaik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi banyak orang. Misalnya, masalah dalam berbelanja, berkendara, menyimpan uang, dan masih banyak lagi. Lalu, bagaimana cara desainer menjawab tantangan-tantangan terbesar abad ini?
Desainer Hari Ini
Berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Tembok Berlin menandakan kemenangan model ekonomi kapitalisme pasar bebas. Kapitalisme pasar bebas adalah suatu sistem ekonomi di mana harga barang maupun jasa ditentukan oleh kekuatan supply (pasokan) dan demand (permintaan). Sederhananya: di mana ada permintaan, di situ akan ada produk/jasanya. Menurut Anthony Dunne & Fiona Raby, hal ini berdampak pada peran desain yang dianggap hanya sebatas memenuhi kebutuhan pasar. Selebihnya, di luar fungsi tersebut, desain dianggap tidak relevan karena tidak memiliki nilai ekonomis.
Melalui bukunya This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate, Naomi Klein menjelaskan bahwa kemunculan kapitalisme pasar bebas yang didukung logika ekonomi untuk terus mengejar keuntungan dan pertumbuhan (profit & growth) memantik kebijakan-kebijakan pro-bisnis (privatisasi ruang publik, deregulasi sektor korporat, dan pajak perusahaan yang rendah). Kebijakan-kebijakan ini menyebabkan ketergantungan pada bahan bakar fosil meningkat dan melahirkan gaya hidup konsumsi berlebih.
Ketergantungan dan gaya hidup inilah yang membawa kita pada tantangan-tantangan terbesar abad ini. Krisis iklim, kesenjangan sosial, hingga kerawanan pangan adalah beberapa di antaranya. Kerap disebut wicked problems (permasalahan kompleks), tantangan besar ini memiliki karakteristik yang unik. Semuanya saling berkaitan dan sulit dinilai keberhasilan solusinya.
Klein juga menjelaskan, bahwa tantangan terbesar kita (krisis iklim) sebenarnya sudah mulai menarik perhatian sejak tahun 70–80an. Namun, dominasi kapitalisme pasar bebas sebagai sistem ekonomi yang terus dilanggengkan seakan tidak memperbolehkan kita untuk cari gaya hidup alternatif. Layaknya yang pernah dikatakan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher terkait perdebatan alternatif gaya hidup ini, “There is no alternative (Tidak ada pilihan alternatif).” Padahal, menurut Dunne dan Ruby, masa depan tidak terikat hanya pada satu alternatif. Ada juga kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa terjadi. Jika kita menggunakan pola pikir ini dalam memandang masa depan, mungkin kita akan bisa temukan gaya hidup lain. Selain itu, kita juga bisa memperbaiki sistem ekonomi maupun politik agar mengurangi kemungkinan munculnya wicked problems lain di kemudian hari.
Di sinilah desainer dapat berperan sebagai perancang masa depan. Sebagai seseorang yang kesehariannya mendefinisikan masalah, mencari solusi untuk mengatasinya, hingga menguji keberhasilan dari solusi tersebut, desainer bisa menjadi seorang fasilitator bagi masyarakat untuk membayangkan masa depan yang diinginkan.
Salah satu caranya adalah dengan menciptakan prototype atau gambaran awal masa depan. Tujuannya bukan untuk memenuhi kebutuhan pasar, ataupun memprediksi masa depan, melainkan untuk menghadirkan diskusi kritis tentang cara kita hidup hari ini. Cara inilah yang saya kenal sebagai Speculative Design (desain spekulatif).
Speculative design dapat membantu kita membayangkan masa depan yang diinginkan serta menghindari masa depan yang tidak diinginkan. ~Mohammad Fachry Share on XApa itu Speculative Design?
Menurut Dunne & Raby, speculative design adalah bentuk desain yang mempertanyakan implikasi suatu teknologi dalam aspek kultural, sosial, dan etis. Bentuk desain ini dapat membantu kita membayangkan masa depan yang diinginkan serta menghindari masa depan yang tidak diinginkan.
Pada mulanya, pengertian ini lebih dikenal dengan istilah critical design atau desain kritis. Seiring berjalannya waktu, istilah-istilah lain ikut bermunculan bersamaan dengan speculative design seperti design fiction (desain fiksi), adversarial design (desain yang berkaitan dengan isu politik), dan discursive design (desain diskursif).
Secara garis besar, istilah-istilah ini mempunyai pendekatan yang sama. Semuanya menggunakan desain bukan untuk menuruti kemauan pasar, tapi sebagai bahan refleksi dari cara kita hidup. Refleksi ini dilakukan dengan cara menghadirkan produk, layanan, maupun skenario masa depan. Sebagai contoh, saya akan menceritakan tentang proyek speculative design berjudul Plasticful Food.Plasticful Food adalah proyek yang diinisiasi oleh pelajar di University of Amsterdam dan Hogeschool van Amsterdam melalui organisasi mereka, Waste2Worth. Organisasi ini bertujuan untuk mendorong pelajar dan warga kampus untuk melakukan manajemen sampah yang berkelanjutan. Pada proyek Plasticful Food, mereka membayangkan masa depan di mana sampah bisa menjadi bahan utama makanan manusia.
Kumpulan foto produk Plasticful Food juga diiringi dengan caption yang mengajak pembacanya untuk membeli makanan-makanan berbahan dasar sampah ini. Tentu saja produk ini tidak benar-benar ada untuk dibeli dan dikonsumsi. Produk ini juga bukan prototype yang dibuat sebagai dorongan bagi para food scientist untuk mulai mengembangkan produk makanan berbahan dasar sampah.
Melalui pendekatan speculative design, Plasticful Food mengajak kita untuk berpikir kritis dalam berkonsumsi dan memperhatikan sampah. Mengutip dari laman resmi website mereka, para inisiator proyek ini berargumen:
“As we are already consuming large amounts of micro-plastic incidentally in the current day, and waste management procedures are not changing rapidly enough to contain the problem of global plastic pollution, eating our plastic waste may be our only option for plastic containment in the near future. Is this a future you would like? Or would you act to avoid this future?
(Berhubung saat ini kita sudah mengonsumsi mikroplastik dalam jumlah besar dan manajemen limbah juga tidak mampu menangani masalah sampah plastik global, mengonsumsi sampah plastik mungkin akan jadi satu-satunya pilihan untuk pengelolaan plastik di masa mendatang. Inikah masa depan yang Anda inginkan? Atau akankah Anda bertindak untuk mencegah masa depan ini?)”
Speculative design memang tidak selalu bisa memberikan solusi layaknya praktik desain UX. Namun, speculative design mendorong munculnya perdebatan-perdebatan dari hasil desain yang disampaikan. Dengan kata lain, speculative design ada untuk mengajukan pertanyaan: apakah cara hidup kita hari ini bisa membawa kita ke masa depan yang lebih baik?
Perdebatan-perdebatan inilah yang jadi tujuan utama dari speculative design. Alih-alih mempertahankan status quo, mereka justru mempertanyakan atau bahkan menantangnya. Dengan menyediakan ruang perdebatan terkait teknologi (atau cara hidup), kita diajak untuk membayangkan masa depan seperti apa kita inginkan.
Speculative Design ada untuk mengajukan pertanyaan: apakah cara hidup kita hari ini bisa membawa kita ke masa depan yang lebih baik? ~Mohammad Fachry Share on XSpeculative Design Hari Ini
Pengaplikasian speculative design hari ini sudah lebih banyak terlihat di Eropa. Biasanya, speculative design diaplikasikan oleh akademisi dan figur-figur think-tank. Meski demikian, informasi terkait speculative design juga bisa kita dapat dari berbagai sumber. Mulai dari artikel ilmiah hingga tulisan populer di Medium pun sudah banyak yang membahas praktik desain ini.
Selain sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa organisasi di dunia pun mulai sering mengadakan workshop atau presentasi singkat tentang speculative design. SpeculativeEdu adalah salah satunya. Organisasi ini sudah aktif memperbaharui pengetahuan tentang speculative design sejak tahun 2018. Mereka bahkan membuat online repository yang menampung informasi, metode, serta tools praktikal dalam mengaplikasikan speculative design.
Selain SpeculativeEdu, ada juga The Design Futures Initiative yang mempromosikan speculative design. Organisasi ini pun memiliki komunitas global yang tersebar di beberapa negara, seperti Nigeria, Canada, Thailand, Singapura, Jepang, India, Australia dan banyak lagi. The Design Futures Initiative bertujuan untuk menghubungkan desainer, ahli strategi, ilmuwan, seniman, dan futuris dalam memfasilitasi program dan diskusi seputar implikasi suatu teknologi pada aspek etis, lingkungan, politik, maupun ekonomi.
Sayangnya, saya jarang mendengar diskusi seputar speculative design di Indonesia. Tulisan populer terkait speculative design pun jarang, bahkan hampir tidak pernah, saya temukan. Tulisan ini dibuat untuk menjawab kegelisahan tersebut; kegelisahan saya akan minimnya literasi speculative design berbahasa Indonesia. Melalui perkenalan singkat ini, saya harap topik speculative design bisa masuk ke perbincangan desainer di Indonesia dan membawa kita ke masa depan yang lebih baik.
Mohammad Fachry atau yang biasa disapa Fachry adalah seorang Product Designer yang tertarik pada isu lingkungan, demokrasi ekonomi dan ketahanan pangan. Fachry percaya bahwa pendekatan desain yang berkelanjutan, partisipatoris dan spekulatif bisa membawa ke masa depan yang lebih disukai.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini