Buku dan Penulis
October 22, 2020Jika Membaca Adalah Bentuk Aksi, Lalu Bagaimana Dengan Menulis?
October 28, 2020
OPINI
Kuasa Bahasa Di Balik Kebijakan Penanganan COVID-19
oleh Abdullah Faqih
Sejak pandemi COVID-19 muncul, negara menghadapkan kita pada berbagai kebijakan yang dikemas dalam beragam bentuk bahasa. Istilah-istilah seperti ‘protokol kesehatan,’ ‘PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar),’ dan ‘new normal’ akhir-akhir ini begitu sering kita dengar.
Lembaga pemerintahan, institusi pendidikan, hingga individu-individu, semua ramai menggunakan dan mempromosikan bahasa-bahasa itu. Berdasarkan pandangan Pierre Bourdieu mengenai kuasa simbolik atau symbolic power, saya berangkat dari keyakinan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan dalam kebijakan penanganan COVID-19 bukanlah sesuatu yang netral, vakum, dan tanpa makna. Bahasa-bahasa itu mungkin tampak alamiah dan tidak berdosa. Tetapi, bila kita telisik lebih dalam, bahasa sebenarnya menyembunyikan suatu makna, pengaruh, gagasan, dan ideologi yang ingin ditanamkan oleh penguasa. Artinya, bahasa bukan hanya menjadi alat berkomunikasi atau transmisi pesan, melainkan juga menjadi instrumen simbolik untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan dominasi. Tulisan ini akan mendiskusikan makna tersembunyi di balik bahasa dalam formulasi kebijakan penanganan COVID-19 dan signifikansinya bagi kehidupan kita.
Bahasa dan Kekuasaan
Sepanjang sejarahnya, bahasa terbukti efektif digunakan penguasa untuk mendulang dan merawat kekuasaan. Dalam Politik Bahasa Penguasa, Rokhman menjelaskan bagaimana bahasa digunakan oleh penjajah Belanda untuk mendominasi masyarakat negeri jajahan. Munculnya istilah ‘inlander’ yang dibentuk Belanda untuk mendefinisikan penduduk ‘asli’ tidaklah bermakna netral, melainkan mengandung muatan untuk memperkuat rezim yang memisahkan dan mendiskriminasi (segregasi) dengan menggolongkan masyarakat negeri jajahan ke dalam tiga kelompok: bangsa Eropa, golongan Timur asing, dan masyarakat ‘asli’ (inlander). Di masa penjajahan Jepang, istilah ‘saudara tua’ juga menjadi alat propaganda untuk mendominasi masyarakat pribumi. Bagi masyarakat pribumi, ‘saudara tua’ yang berarti kakak laki-laki memiliki makna sebagai pengayom dan pelindung. Berkat propaganda bahasa semacam itu, Jepang berhasil diterima di Indonesia.
Di masa Orde Baru, pemerintah di bawah Soeharto juga secara produktif menciptakan bahasanya sendiri. Orde Baru menguatkan gagasan bahwa pembangunan nasional era Orde Lama yang berwawasan politik harus digantikan dengan wawasan ekonomi. Istilah ‘pembangunan’ dan ‘pengurangan ketimpangan’ kemudian menggema dimana-mana. Orde Baru juga mewajibkan calon pegawainya menandatangani ‘Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI.’ Surat itu bukan hanya selembar dokumen tanpa makna. Di baliknya, terdapat ideologi yang ingin disisipkan oleh negara, yaitu ideologi anti-komunisme dan hasrat menyingkirkan siapa saja yang pernah bersentuhan dengan komunisme.
Di era yang lebih kontemporer, bahasa juga sukses digunakan Joko Widodo untuk mendulang suara dalam Pemilihan Presiden tahun 2014. Dalam kampanyenya, Jokowi menggunakan jargon ‘Jokowi adalah kita’ yang kemudian direproduksi ke dalam berbagai media, seperti spanduk, baliho, dan pidato-pidato. Penggunaan ‘kita’ yang terkandung dalam jargon itu memunculkan makna bahwa Jokowi dekat, setara (egaliter), dan menyatu dengan rakyatnya. Terbukti, Jokowi tidak hanya berhasil memenangkan pemilihan Presiden, beliau juga sukses membangun citra sebagai pemimpin yang merakyat, meskipun hanyalah citra semata. Bahasa, dengan demikian, memiliki andil untuk memoles citra, membangun reputasi, dan menjaring kepercayaan publik dalam rangka meraih kekuasaan. Sebagaimana yang dikatakan Bourdieu, lewat bahasa, kuasa simbolik dipraktikan secara halus, samar-samar, dan seolah-olah absah. Kita pun tidak menyadari bahwa kita sedang dijadikan sasaran kekuasaan.
Mitos Menyelamatkan Rakyat
Melihat beroperasinya bahasa dalam dinamika perebutan kekuasaan di Indonesia, kita dapat menggunakan nalar serupa untuk membaca bagaimana badai pandemi yang kini menghantam juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh bahasa dan dimensi kekuasaan yang melekat padanya.
Untuk merespon pandemi, negara telah merumuskan seperangkat kebijakan yang di dalamnya memuat bahasa dan istilah-istilah seperti ‘protokol kesehatan,’ ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar,’ dan ‘new normal.’ Lewat istilah ‘protokol kesehatan,’ warga negara didorong untuk rajin mencuci tangan, mengenakan masker, dan menjaga jarak. Hal itu memang tidak dapat kita hindarkan. Ilmu pengetahuan di bidang kesehatan pun mengamini bahwa penerapan ‘protokol kesehatan’ terbukti efektif menjadi salah satu upaya untuk meminimalisasi potensi terpapar korona.
Namun, dalam konteks Indonesia, saya justru mencium ‘sesuatu yang lain’. Di kepala saya, terngiang-ngiang pertanyaan mengenai apakah di balik kebijakan ‘protokol kesehatan’ benar-benar tercermin keseriusan negara untuk menyelamatkan nyawa rakyat? Apa makna dan pengaruh yang sebenarnya ingin diraih negara di balik penggunaan bahasa ‘protokol kesehatan’? Menurut saya, kebijakan ‘protokol kesehatan’ itu sebenarnya digunakan negara untuk melindungi kepentingan pemilik modal, pelaku bisnis-ekonomi-industri, dan aktor-aktor politik yang haus kekuasaan—alih-alih untuk menyelamatkan nyawa rakyat.
Ketika pandemi COVID-19 muncul, para epidemolog secara tegas menyarankan negara untuk melakukan karantina wilayah dan membatasi aktivitas warga secara total. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi untuk sementara waktu akan terganggu. Tidak ingin membiarkan hal itu terjadi, negara memilih mengabaikan masukan para ahli dan bersikukuh membuat sektor ekonomi berjalan sebagaimana kondisi normal meskipun menghadapi berbagai restriksi. Pusat-pusat perbelanjaan pun dibuka, tempat-tempat hiburan dioperasikan, roda industri diputar, masyarakat juga didorong untuk tetap melakukan aktivitas ekonomi produktif. Untuk membuat hal itu absah, ‘protokol kesehatan’ dijadikan negara sebagai senjata. Dalam artian, segala bentuk aktivitas produktif yang sedianya perlu ditekan semaksimal mungkin justru memiliki legitimasi karena dianggap sudah menerapkan ‘protokol kesehatan’.
Contohnya, pada bulan Agustus 2020 lalu, salah satu tempat hiburan di Yogyakarta menggelar sebuah konser musik yang dihadiri ratusan massa. Mereka menganggap hal itu sah-sah saja dilakukan karena sudah menerapkan ‘protokol kesehatan’. Baru-baru ini, pemerintah juga bersikeras menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekalipun kelompok masyarakat sipil mengutuk dengan keras. Dalihnya, Pilkada dapat berlangsung aman karena menerapkan ‘protokol kesehatan.’ Bahasa ‘protokol kesehatan’ dengan demikian menjadi sihir yang membuat siapa saja menganggap hal-hal yang dilakukan di masa-masa krisis menjadi absah. Harus kita akui pula, penggunaan bahasa ‘protokol kesehatan’ juga mampu memberikan efek psikologis tertentu.
Sesuai perspektif linguistik kritis, makna bahasa dibentuk melalui relasi kuasa yang melibatkan banyak sekali tangan. Bahasa ‘protokol kesehatan’ misalnya, dibentuk dan dipopulerkan oleh bermacam-macam aktor: lembaga pemerintahan, institusi pendidikan, iklan media sosial berbayar, hingga public figure. Bahasa itu kemudian diterima begitu luas oleh masyarakat. Kesan normal yang terdapat pada bahasa ‘protokol kesehatan’ juga memberikan makna ‘rasa aman’: asal sudah menerapkan ‘protokol kesehatan,’ sudah pasti aman dari virus korona. Kita luput mempertimbangkan bahwa sekalipun telah menerapkan ‘protokol kesehatan,’ ada banyak kasus kecolongan yang disebabkan oleh penyebaran virus melalui Orang Tanpa Gejala (OTG).
Lalu, siapa yang paling diuntungkan dari kebijakan-kebijakan yang berlindung di balik bahasa ‘protokol kesehatan’? Jawabannya tentu saja adalah pemilik modal, pelaku bisnis-ekonomi-industri, dan politisi. Adanya ‘protokol kesehatan’ membuat mereka bisa melakukan apa saja untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Pemilik modal bebas mendorong para buruh tetap bekerja sebagaimana sedia kala. Risiko yang mungkin dihadapi buruh ditiadakan karena berdalih telah menerapkan ‘protokol kesehatan.’ Dengan ‘protokol kesehatan’ pula, penyelenggaraan Pilkada membuat segelintir kelompok elit dapat tetap meraih kekuasaan yang sudah mereka idam-idamkan. Lantas, bagaimana dengan nasib rakyat? Itu persoalan kesekian. Di mata negara, nyawa dan keselamatan kita tidak jauh lebih berharga ketimbang pertumbuhan ekonomi. Juga, tidak lebih penting dibandingkan hasrat segelintir elit yang sudah kadung keranjingan kekuasaan.
Lewat kebijakan ‘protokol kesehatan,’ negara seolah menaruh keberpihakan pada keselamatan rakyat. Padahal, itu hanyalah tameng untuk melindungi kepentingan bisnis-industri-kapitalisme dan segelintir kelompok elit. ~A. Faqih Share on XArgumen saya terbukti oleh beberapa hal. Sejak wabah korona pertama kali merebak, negara sudah mengarahkan perhatiannya untuk mengamankan kepentingan ekonomi, bukan aspek kesehatan masyarakat. Hal itu terlihat dari besarnya promosi pariwisata yang gencar dilakukan di awal masa-masa pandemi. Terlihat pula dari besarnya stimulus yang digelontorkan kepada pengusaha dan pelaku industri berskala besar. Berkebalikan dari itu, kebijakan sektor kesehatan yang meliputi testing, tracing, dan treatment justru sangat kurang. Hingga bulan Agustus 2020 saja, Indonesia hanya mampu mencapai 35,6% dari standar Badan Kesehatan Dunia yang idealnya adalah sebesar 1:1000 penduduk per-minggu.
Sesuatu yang juga tidak boleh kita lupakan adalah kelakuan anggota dewan yang beberapa waktu lalu mencuri kesempatan untuk menetapkan Rancangan Perubahan Undang-Undang (RUU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru yang jelas menaruh keberpihakan pada kepentingan oligarki-kapitalisme. Hal serupa juga terjadi pada pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tetap dilakukan DPR di tengah situasi pandemi yang penuh isak duka ini. Hal-hal itu memperjelas letak keberpihakan negara.
Tidak berlebihan untuk saya katakan bahwa upaya menyelamatkan nyawa rakyat dari ancaman virus korona hanyalah mitos belaka. Lewat kebijakan ‘protokol kesehatan,’ negara seolah menaruh keberpihakan pada keselamatan rakyat. Padahal, bahasa ‘protokol kesehatan’ itu hanyalah tameng untuk melindungi kepentingan bisnis-industri-kapitalisme dan segelintir kelompok elit. Sebagaimana diskursus soal bahasa dan kekuasaan yang banyak beredar, bahasa ‘protokol kesehatan’ telah berhasil mendisiplinkan dan memengaruhi kesadaran kita. Juga, secara efektif membuat negara melenggang mulus mencapai pengaruhnya.
Posisi Kita
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengajak kalian menolak ‘protokol kesehatan.’ Hal itu tentu saja mutlak kita perlukan untuk meminimalisasi potensi terpapar COVID-19. Tulisan ini lebih ingin mengajak masyarakat (termasuk juga saya) untuk selalu kritis dan tidak terlalu mudah percaya pada negara. Selama masa pandemi, ada banyak sekali permainan bahasa yang digulirkan negara. Sebut saja ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’ yang dianggap Jokowi tidak lebih baik dibandingkan ‘Pembatasan Sosial Berskala Mikro.’ Kita tentu juga mengingat bagaimana Jokowi memberikan pemaknaan berbeda terhadap konsep ‘mudik’ dan ‘pulang kampung.’
Permainan bahasa semacam itu dijadikan negara sebagai topeng untuk menyembunyikan ketidakbecusannya menyelesaikan persoalan wabah COVID-19. Kita pun terbuai pada permainan bahasa yang sebenarnya tidak memberikan signifikansi apa-apa bagi kehidupan kita. Jangan sampai kita dikuasai oleh bahasa dan terjebak pada apa yang Žižek sebut sebagai counter-intuitive observations: kita seolah melakukan hal yang membuat kita mencapai sesuatu, padahal hal itu sebenarnya percuma.
Terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa di masa remuk redam seperti sekarang ini, tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawa kita selain diri kita sendiri (dan sesama rakyat sipil). Tak usah lagi kita percaya apalagi berharap pada negara.
Abdullah Faqih, sedang bersekolah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini