Bagaimana Gay Menubuhi Seksualitasnya?
September 20, 2020Bukan Warisan Untuk Generasi Selanjutnya
October 12, 2020
OPINI
Membaca adalah Bentuk Aksi
oleh Hestia Istiviani
Di saat kondisi negara kita sedang tidak stabil seperti ketika RUU Cipta Lapangan Kerja disahkan menjadi Undang-Undang, rasanya banyak pihak “mendorong” kita untuk beraksi.
Ada yang mengajak ambil bagian dengan turun ke jalan, ada juga yang mengambil langkah dengan membuat utas (thread) di Twitter untuk menjelaskan pasal mana yang masih ambigu. Hingga ada yang membuatkan infografis agar teman-teman yang masih belum memahami Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja/Omnibus Law bisa mengerti tanpa harus membaca draf 900 halaman lebih itu.
Tapi, ada pula yang masih bingung mau ambil bagian di sisi mana. Mau ikut turun ke jalanan, namun belum ada nyali. Mau ikut membuat utas, tapi tidak/belum punya kapasitasnya. Padahal, ingin sekali bisa ambil bagian aktif dalam diskusi seputar Omnibus Law ini.
Ya, itu yang ada di kepala saya ketika membaca berita perihal disahkannya Omnibus Law pada 5 Oktober 2020 sekitar pukul 17:56 WIB. Kaget? Tentu saja. Saya sempat terduduk lemas dan rasanya ingin menangis begitu tahu DPR RI meloloskan Omnibus Law menjadi Undang-Undang. Saya bertanya kepada diri sendiri, apa ya yang kira-kira bisa saya lakukan untuk ikut serta dalam gelombang demokrasi ini?
Sekitar semalaman saya mencoba memikirkan bentuk partisipasi yang bisa saya lakukan. Saya sadar, kapasitas saya adalah sebagai bookdragon atau pembaca buku. Saya begitu candu dengan membaca dan itulah yang bisa saya lakukan. Dari memutar otak itu, akhirnya saya pun mulai mengerti kalau membaca sebenarnya adalah bentuk dari aksi.
Membaca adalah sebuah bentuk kepedulian. Kepedulian karena bersedia mencoba untuk memahami apa yang terjadi di luar zona nyaman dan apa yang tidak kita alami secara langsung. Dengan membaca, kita berupaya untuk lebih peka dan peduli terhadap kondisi yang bahkan belum sempat ada di bayangan kita.
Membaca adalah bentuk kesadaran diri (self-awareness) akan kebutuhan untuk teredukasi. Minimal, menyadari bahwa dirinya butuh untuk meningkatkan kemampuan literasinya. Perlu diketahui, terminologi “literasi” tidak hanya terbatas kegiatan membaca dan menulis. Di dalamnya ada juga “menyortir dan mengolah informasi menjadi sebuah keputusan (wisdom).” Seseorang yang berada pada keadaan “membaca untuk mengedukasi diri” berarti dirinya sudah paham bahwa manusia—meski tidak lagi menyandang status pelajar/mahasiswa—sudah seharusnya re-learn (memelajari kembali suatu hal) hingga un-learn (“mengeluarkan” hal yang telah dipelajari dari memori). Toh, ilmu pengetahuan selalu berkembang. Apa yang pernah kita pelajari di bangku sekolah dulu belum tentu masih relevan di zaman sekarang. Memiliki pemikiran bahwa siapa saja bisa re-learn dan un-learn, maka ia pun terbuka dengan segala kemungkinan perubahan. Termasuk dalam memahami yang sedang terjadi di sekitarnya.
Membaca adalah bentuk perlawanan. Dengan membaca, kita menolak untuk dibungkam. Dengan membaca, kita menolak untuk dibuat bodoh, dibuat illiterate (tidak memiliki kemampuan berliterasi). Dengan membaca, kita menolak untuk dibiarkan tersesat dalam gelap. Membaca membuat kita menjadi terinformasi. Apalagi jika ada suatu hal yang tidak semestinya, maka membaca pun menjadi sebuah langkah awal untuk mendobrak itu. Membaca bisa membawa perubahan.
Dari pikiran-pikiran itu, saya pun mengerti bahwa membaca sebagai bentuk kepedulian, kesadaran diri, dan bentuk perlawanan adalah sebuah kesatuan. Mereka saling berhubungan seperti yang saya coba gambarkan pada skema berikut.
Skema di atas sudah cukup memberikan penggambaran secara awam kalau membaca adalah bagian dari aksi. Meski terlihat sebagai sebuah gerakan pasif bagi sebagian besar orang, tetapi membaca tidak bisa diremehkan begitu saja. Di balik kegiatan membaca yang diharapkan bisa menjadi sebuah budaya, ada sesuatu yang didapatkan oleh si pembaca. Pandangan baru dan pola pikir, misalnya. Mereka yang membaca kemudian berusaha untuk making sense dari apa yang ada di sekelilingnya. Mencoba mencari solusi yang setidaknya bisa ia lakukan.
Meyakinkan diri bahwa membaca itu adalah bentuk aksi rasanya mudah. Tapi kan kita tidak bisa bergerak sendirian? Tetap harus ada aktivitas kolektif agar bentuk aksi ini mendapatkan perhatian. Atau dalam bahasa gaulnya, bisa di-notis oleh mereka yang kita tuju.
Sebelum saya melangkah lebih jauh, sekiranya saya perlu menyampaikan kalau membentuk budaya membaca tidaklah mudah. Perlu ada usaha lebih kalau ingin mengajak orang-orang di sekitar kita memahami bahwa membaca juga berperan penting dalam situasi polemik. Dibutuhkan komitmen dan konsistensi. Jangan lupa, kesabaran. Dalam perjalanan membentuk kebiasaan membaca, pasti akan ada banyak halang rintang. Mulai yang datangnya dari dalam diri hingga dari orang lain.
Dengan membaca, kita berupaya untuk lebih peka dan peduli terhadap kondisi yang bahkan belum sempat ada di bayangan kita. ~Hestia Istiviani Share on XSelain itu, mengilhami kegiatan membaca tidak bisa sekadar dengan mengimbau. Kita perlu walk the talk (membuktikan apa yang diucapkan). Memberikan contoh dan melakukannya secara nyata—yang mana juga memerlukan konsistensi, komitmen, dan kesabaran. Belum lagi adanya komentar tidak menyenangkan yang akan sampai ke telinga ketika. Dari “paling cuma pencitraan!” hingga barangkali dilabeli sebagai Social Justice Warrior atau SJW dengan konotasi negatif.
Namun, sukar bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Membiasakan diri untuk membaca saja butuh disiplin tinggi, apalagi mengajak orang lain dan menciptakan aktivitas kolektif?
Saya pun sempat mencoba “mencuri perhatian” teman-teman sesama pembaca melalui aktivitas Baca 1984 Bareng di bulan Juni 2020. Saat itu, kita semua dibuat bingung dengan kondisi negara di tengah pandemi. Terasa sekali tulisan George Orwell seakan-akan bukanlah sebuah fiksi, melainkan panduan. Saya mulai mengajak sesama bookdragon untuk membaca novel tersebut. Setidaknya agar mereka tahu bahwa Orwell pernah memperingatkan kita betapa bahayanya akibat dari pemerintahan yang totalitarian seperti itu. Rupanya, ada sekitar 50 pembaca yang berpartisipasi. Mereka membagikan pengalaman membacanya melalui Twitter.
Baca 1984 Bareng hanyalah sebuah contoh. Saya rasa, kita semua bisa menciptakan kegiatan kolektif serupa. Memercayai kalau membaca memang sebuah bentuk aksi dan tidak perlu dipandang aneh dari bentuk perlawanan yang lainnya.
Hestia adalah seorang reading-buddy yang bercita-cita menjadi pustakawan suatu saat nanti. Saat ini, ia sedang sibuk menggaungkan kesetaraan dan kebebasan dalam membaca melalui inisiatifnya yang bernama Baca Bareng. Ia bisa dikontak melalui Twitter: @hzboy dan Instagram: @hzboy1906
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini