Menilik Krisis Iklim dari Ketinggian 35.000 kaki
January 26, 2022Reorientasi Pembangunan Negara-negara di Selatan
January 27, 2022Makna
“Pemuda Harapan Bangsa?”
Pembangunan dan Cara Pandang yang Usang tentang Kaum Muda
oleh Ryan Febrianto
Yang muda itu sering dianggap jaminan masa depan, ancaman, atau bahkan konsumen ideal. Memangnya cuma itu aja ya peran kaum muda?
Dalam perbincangan tentang kaum muda dan pembangunan, kita sering mendengar jargon-jargon seperti, “pemuda harapan bangsa,” “pemuda agen perubahan,” atau “pemuda generasi penerus.” Makna kaum muda seringkali dipenuhi beban nilai dan harapan yang disematkan kepada mereka. Tidak jarang, dalam berbagai program, pemerintah menempatkan kaum muda sebagai ‘investasi masa depan’. Khususnya, menanggapi porsi besar usia muda dalam struktur kependudukan Indonesia.
Banyak akademisi telah menyoroti cara pandang yang sering digunakan terkait kaum muda dalam pembangunan. Setidaknya ada beberapa cara pandang dominan tentang kaum muda yang penggunaannya perlu dikritisi karena memiliki implikasi besar terhadap posisi sosial dan kehidupan kaum muda.
Pertama, kaum muda sebagai defisit atau ancaman. Cara pandang ini biasanya menempatkan kaum muda sebatas bagian atau sumber dari masalah. Kehidupan kaum muda hanya dibayangkan dalam dimensi masalah yang melingkupinya saja, misalnya terkait penggunaan NAPZA, seks berisiko, kekerasan, perilaku ‘menyimpang’, hingga kriminalitas. Perannya di masyarakat dianggap mengganggu keamanan lingkungan sosial hingga stabilitas nasional. Alhasil, banyak program pembangunan difokuskan untuk ‘memperbaiki’ kaum muda yang seringkali menempatkan perubahan dan upaya pada dimensi yang bersifat personal, misalnya perilaku dan moral.
Kedua, kaum muda sebagai instrumen. Kaum muda sering dianggap sebagai ‘aset’ besar untuk pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah berinvestasi kepada kehidupan kaum muda, seperti pada program wajib belajar 12 tahun dan pelatihan kerja, maka pada masa depan pemerintah akan meraup keuntungan (ekonomi) yang besar. Kaum muda dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan, yang biasanya lekat dengan tujuan ekonomi. Siapapun kaum muda, apapun situasinya, perlu didorong untuk ‘berkontribusi’ pada ekonomi melalui intervensi yang sifatnya seragam.
Ketiga, kaum muda sebagai konsumen. Karena jumlahnya yang besar, kaum muda dipandang sebagai potensi pasar untuk meraup keuntungan pemegang modal. Budaya kaum muda dipelajari, produk dan layanan dibuat khusus untuk mereka, dan mereka didorong untuk terus berkonsumsi. Hal ini terjadi sejak tahun 1970-an, saat kaum muda menjadi sasaran empuk media massa sebagai target konsumen spesifik. Implikasinya, ide dan istilah baru diperkenalkan seperti penggunaan kata “remaja” yang konotasinya erat dengan “selera,” “mode,” dan “bahasa anak muda” sebagai bentuk depolitisasi kaum muda yang kritis dan aktif di ruang publik.
Kaum muda memang memiliki banyak masalah yang mengelilinginya, dan tidak dipungkiri, memiliki potensi yang besar untuk pembangunan. Tapi, cara pandang yang dominan seperti ini sering mengabaikan fakta lain tentang kaum muda secara lebih luas.
Fakta pertama, bahwa kaum muda adalah kelompok yang beragam (heterogen), yang situasi dan potensinya beragam. Situasi dan potensi ini tidak terbentuk dalam ruang vakum, melainkan hasil dari interaksi dengan individu lain serta pengaruh kondisi sosial, politik, budaya, dan ekonomi di mana orang muda berada. Dalam berbagai konteks, banyak kelompok kaum muda memiliki kerentanan khusus, sehingga membutuhkan intervensi pembangunan yang lebih dan berbeda dibanding kelompok lain. Dalam banyak situasi, kerentanan yang dialami kaum muda berasal dari faktor struktural yang solusinya tidak tunggal, apalagi berkutat pada perubahan dari tataran individu kaum muda sendiri.
Fakta kedua, bahwa masa muda juga merupakan periode saat identitas individu dibentuk secara kolektif. Selama ini, wacana tentang kaum muda erat mengaitkan kaum muda sebagai periode ‘transisi’, dari masa kanak-kanak menuju dewasa, dari pendidikan, pekerjaan, ke pernikahan. Namun, penting untuk dipahami bahwa ada kaum muda yang mengasosiasikan hidupnya dalam transisi linear seperti itu, ada pula yang sibuk mengembangkan budaya dan identitas diri. Identitas diproduksi secara kolektif melalui asosiasi terhadap generasi, dan dalam hal ini, kelas sosial, agama, dan seksualitas, berpengaruh besar dalam pembentukkan identitas mereka.
Fakta ketiga, sebagai individu, kaum muda memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memutuskan, bertindak, dan membuat alternatif terkait hidupnya. Kapasitas ini bisa berbeda antar individu, menyesuaikan konteks dan relasinya dengan individu lain di sekelilingnya. Di banyak situasi, justru kaum muda merupakan bagian utama dari solusi masalah sosial. Mereka bukan sekadar individu yang membuat masalah, tidak memiliki kapasitas untuk mengubah, dan tidak berdaya.
Memang penting untuk pelaku pembangunan mengidentifikasi, mendalami, dan mengatasi berbagai permasalahan yang merintangi kaum muda mencapai potensi maksimalnya. Namun, alih-alih memberdayakan, praktik pembangunan yang berdasar pada cara pandang usang justru dapat melanggengkan posisi marjinal kaum muda dengan menempatkan mereka sebagai pelaku pasif atau sumber masalah. Dalam tulisan ini, saya menawarkan dua lensa kritis dalam melihat kaum muda:
Alih-alih memberdayakan, praktik pembangunan yang berdasar pada cara pandang usang justru dapat melanggengkan posisi marjinal kaum muda dengan menempatkan mereka sebagai pelaku pasif atau sumber masalah. ~ Ryan Febrianto Share on XLensa Keadilan dan Kesejahteraan, lensa ini fokus pada cara pandang melihat keberagaman, kebutuhan, serta hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu. Hal ini termasuk memandang kaum muda sebagai kelompok heterogen dan perbedaan kerentanan yang dialami oleh kelompok tertentu. Kerentanan dapat disebabkan oleh hambatan terkait akses terhadap layanan dasar, situasi darurat dan kebencanaan, serta posisi sosial, stigma, dan diskriminasi di masyarakat. Dengan demikian, intervensi pembangunan perlu berpihak pada kelompok yang paling rentan dalam mengakses hak-hak mendasarnya. Tak hanya itu, lensa ini membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang lebih kompleks dari kerentanan, termasuk penyebab yang sifatnya struktural dan perlu kerja-kerja pembangunan yang lintas-sektor, jangka panjang, dan kompleks.
Lensa kapabilitas dan pemberdayaan. Lensa ini cocok digunakan secara beriringan dengan lensa keadilan dan kesejahteraan. Sementara melihat kaum muda dan kerentanan spesifik yang perlu untuk diatasi, lensa ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan yang dimiliki setiap individu muda untuk secara aktif mengubah situasi yang mereka alami. Kapabilitas dapat terwujud dalam berbagai bentuk dan tidak selalu seragam. Ada kaum muda muda yang memiliki minat dan kemampuan untuk membangun relasi pertemanan, mahir dalam teknologi, jago bernegosiasi, ada pula yang bergulat dengan mencari identitas diri.
Dengan demikian, upaya ‘pemberdayaan’ dalam semangat pembangunan perlu dilakukan dengan mengakui ragam bentuk kapasitas dalam mengubah serta mengatasi berbagai hambatan spesifik yang dialami kaum muda tertentu atas situasi yang membatasinya. Di sisi lain, pelaku pembangunan perlu menciptakan bentuk dan ruang partisipasi di masyarakat yang lebih luas dari sekadar bentuk-bentuk partisipasi formal semata.
Upaya ‘pemberdayaan’ dalam semangat pembangunan perlu dilakukan dengan mengakui ragam bentuk kapasitas dalam mengubah serta mengatasi berbagai hambatan spesifik yang dialami kaum muda tertentu atas situasi yang membatasinya. ~ Ryan… Share on XTerakhir, tentu tidak salah untuk menaruh harapan pada kaum muda sebagai generasi penerus, sebagai human becomings (manusia menjadi), untuk dunia yang lebih baik. Tapi, kita perlu mengimbangi hasrat untuk berharap dengan mengakui bahwa kaum muda juga merupakan human beings (manusia saat ini), yang kehidupan dan kebutuhannya kompleks, dan situasi yang melingkupinya tidak lepas dari relasi dan peran dari individu (human belongings), serta aspek lain di luar dirinya.
Bacaan Lebih Lanjut
Ryan Febrianto saat ini bekerja sebagai seorang peneliti kebijakan yang fokus pada isu-isu terkait kaum muda, anak, serta kelompok rentan di Indonesia. Ryan memegang gelar Master of Arts in Development Studies dari International Institute of Social Studies (ISS) Erasmus University Rotterdam, dengan konsentrasi Children and Youth Studies. Sebelumnya, Ryan sempat menempuh pendidikan sarjana di bidang Sosiologi, Universitas Indonesia, dan pendidikan paskasarjana singkat di bidang Gender Equality in the Nordics Countries di University of Oslo, Norwegia.
Artikel Terkait
Reorientasi Pembangunan Negara-negara di Selatan
Dulu, pembangunan yang dianggap modern selalu yang dari Barat atau di Utara (Global North). Sekarang, sudah waktunya kita memikirkan pasca pembangunan (post-development) yang berlandaskan pandangan Selatan (Global South). Gimana caranya?Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi, untuk Siapa?
Ruli Endepe, ekonom kesehatan, mempertanyakan siapa subjek dari pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dengan memberikan contoh melalui industri tembakau. Meski, nyatanya industri tembakau memberikan dampak buruk bagi kualitas hidup masyarakat, tapi dorongan untuk terus ada dengan dalih ‘membantu pertumbuhan ekonomi’ masih dominan.“Pemuda Harapan Bangsa?” Pembangunan dan Cara Pandang yang Usang tentang Kaum Muda
Yang muda itu sering dianggap jaminan masa depan, ancaman, atau bahkan konsumen ideal. Memangnya cuma itu aja ya peran kaum muda?