Amalia Puri
January 7, 2021Vaksinasi dan Tubuh yang Didisiplinkan
January 29, 2021
OPINI
Pembubaran FPI dan Masa Depan Demokrasi Kita
oleh Abdullah Faqih
Aksi pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) kembali lagi terjadi. Setelah pembubaran ormas Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tahun 2017 lalu, negara kini membidik Front Pembela Islam (FPI) sebagai sasaran tembaknya.
Keputusan untuk membubarkan FPI didasarkan pada berbagai pertimbangan, seperti ideologi yang diusung FPI menyalahi koridor demokrasi, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945 hingga maraknya aksi sweeping (penyisiran) secara sepihak yang pernah dilakukan FPI.
Upaya pembubaran FPI sebenarnya bukan sekali ini saja terjadi. Pada tahun 2019 lalu, masyarakat sipil juga beramai-ramai mengajukan petisi yang berisi tuntutan agar pemerintah segera membubarkan FPI. Upaya pembubaran FPI kembali menemukan momentum setelah kepulangan Imam Besar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, dari Arab Saudi pada 10 November 2020 lalu. Kepulangan Rizieq mengundang terciptanya rentetan kerumunan massa yang dinilai berpotensi menimbulkan klaster baru infeksi virus korona. Selain menimbulkan keresahan di ruang publik, kerumunan tersebut juga memicu kembali berhembusnya wacana pembubaran FPI.
Artikel ini adalah respon atas isu pembubaran FPI melalui kacamata negara demokrasi serta keterkaitannya dengan struktur sosial dan politik Indonesia pasca Orde Baru.
FPI dan Demokrasi yang Berisik
Ketika Orde Baru tumbang, FPI ikut menunggangi gelombang demokratisasi yang membuka lebar ruang gerak politik organisasi-organisasi yang sebelumnya direpresi oleh rezim. Sejak saat itu, FPI aktif menyuarakan penderitaan panjang umat Islam akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto. FPI kemudian menyerukan umat Islam untuk menjaga dan mempertahankan martabat Islam dengan cara menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (membela kebenaran dan memberantas kemungkaran), serta ikut mempromosikan pandangan yang cenderung anti-demokrasi—sebagaimana Rizieq yang kerap menyerang ide demokrasi sebagai sistem kafir.
Dalam perkembangannya, sepak terjang FPI telah mewujud menjadi aktivisme politik yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1999 misalnya, FPI berhasil mendesak Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, untuk menutup tempat-tempat hiburan yang dinilai menjadi sarang kemaksiatan, seperti diskotik dan panti pijat. Di masa-masa sesudah itu, FPI juga konsisten mengawal perpolitikan nasional, seperti mendukung pencalonan Wiranto pada Pemilihan Presiden tahun 2004 hingga memobilisasi sekitar 500.000 massa dalam Aksi Bela Islam pada tahun 2016.
Terlepas dari segala kontroversinya, kehadiran FPI telah membuat kehidupan demokrasi menjadi semakin dinamis. Ruang publik kita tidak lagi adem ayem karena hanya diisi oleh satu gagasan demokrasi liberal saja, melainkan bergemuruh dan berisik karena diwarnai oleh gagasan demokrasi lokal serta ideologi anti-demokrasi dan anti-Pancasila.
Dalam Sisi Gelap Reformasi di Indonesia, Sidney Jones memaparkan bahwa demokrasi memang seharusnya menyediakan ruang bagi seluruh golongan untuk mempromosikan pandangan dan ideologinya. Keberagaman pandangan yang ada perlu dipertahankan dan tidak buru-buru dikurangi demi menjaga ketertiban. Sebab, konsekuensi dari sistem demokrasi adalah memungkinkan munculnya beragam pemikiran dan ideologi, bahkan ideologi yang dianggap menghina dan bertentangan dengan demokrasi sekalipun.
Maka, ketika wacana pembubaran FPI bergulir, saya berpikir bahwa hal itu menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita. Meminjam gagasan Hakimul Ikhwan dalam “Eksklusi dan Radikalisme di Indonesia”, negara terjebak pada kerangka atau frame ‘dikotomi-negasi’ dalam melihat kehadiran kelompok radikal yang berhadapan dengan ide demokrasi. Radikalisme dan demokrasi seolah ditempatkan pada oposisi biner: radikalisme akan mengancam demokrasi, sementara demokrasi dianggap akan meminggirkan radikalisme. Pada kasus ini, negara dihadapkan pada dua pilihan: memilih radikalisme atau demokrasi? Tanpa perlu berpikir panjang, negara tentu saja lebih memilih menyelamatkan demokrasi dengan jalan menghancurkan radikalisme. Dalam kacamata biner semacam itu, wacana pembubaran FPI dianggap absah karena dinilai menyalahi koridor demokrasi.
Pilihan Dilematis
Meskipun berpendapat bahwa demokrasi perlu mengakomodasi gagasan yang beragam, Sidney Jones juga memberikan batasan mengenai sejauh mana radikalisme dapat disebut menjadi ancaman nyata bagi demokrasi. Ketika kelompok radikal telah bertransformasi menjadi kelompok yang gemar main hakim sendiri, mempromosikan pandangannya melalui kekerasan, dan menimbulkan ketakutan di ruang publik, pada saat itulah radikalisme dapat disebut sebagai ancaman, sehingga negara perlu ‘menertibkannya’. Dalam artian, demokrasi tidak melulu harus anti terhadap radikalisme. Berbagai organisasi Islam moderat, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sebenarnya juga dapat dikategorikan ‘radikal’ dan ‘garis keras’. Bedanya, kedua organisasi itu mempromosikan pandangannya melalui cara-cara yang tidak menimbulkan keresahan di muka publik.
Pada konteks FPI, kita dapat menilai, apakah jalur kekerasan yang selama ini mereka praktikan layak dianggap sebagai ancaman nyata bagi demokrasi? Jika demikian, dalam rangka menjaga ruang publik yang aman, apakah pembubaran FPI relevan untuk dilakukan?
Selama pelopor tindak kekerasan masih ada, selama itu pula praktik kekerasan akan terus hidup, bahkan menjadi semakin sulit diberantas dan diawasi akibat status badan hukumnya telah dicabut. ~A. Faqih Share on XSaya berpendapat bahwa radikalisme beragama yang diekspresikan FPI lewat jalur kekerasan memang mengancam masa depan demokrasi. Tetapi, membubarkan FPI bukanlah jalan keluar yang mampu mencabut ‘ideologi kekerasan’ yang sudah mengakar kuat di dalam tubuh demokrasi.
Pertama, pembubaran FPI, apalagi tidak dilakukan melalui mekanisme pengadilan, sangat dekat dengan praktik pembungkaman dan pelanggaran hak kebebasan berkumpul dan berserikat. Ketidakjelasan batas dari aksi pembubaran semacam itu berpotensi merenggut hak sipil dan hak politik warga negara. Upaya tersebut juga lekat dengan praktik kekuasaan yang pernah dilancarkan oleh rezim militer Orde Baru. Tidak ada satu pun dari kita yang ingin kembali ke dalam mesin kekuasaan semacam itu.
Kedua, membubarkan FPI berarti mencabut badan hukumnya secara legal-formal, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi FPI untuk memobilisasi gerakannya melalui ‘ruang bawah tanah’. Dalam aspek struktur hukum, organisasi FPI mungkin bisa dibubarkan, tetapi gagasan dan ide-idenya belum tentu bisa dibunuh. Selama pelopor tindak kekerasan masih ada, selama itu pula praktik kekerasan akan terus hidup, bahkan menjadi semakin sulit diberantas dan diawasi akibat status badan hukumnya telah dicabut. Misalnya, sejak tanggal 20 Juni 2019 lalu, FPI secara de jure sebenarnya telah dinyatakan bubar karena perpanjangan izin organisasinya ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri. Meskipun begitu, FPI masih saja bebas menjalankan aktivismenya.
Aksi pembubaran semacam itu seolah memang menunjukkan sikap tegas negara untuk memerangi radikalisme berbasis kekerasan. Namun, hal itu hanyalah cara instan yang tidak mampu menjamin praktik kekerasan serupa akan terus bermunculan. Dengan kata lain, upaya pembubaran FPI hanyalah bersifat permukaan (artifisial) dan tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya (tidak substansial).
Ketiga, aksi pembubaran FPI seolah menyamarkan tanggung jawab negara atas kegagalannya dalam menciptakan ruang publik yang aman dari ketakutan. Kerunyaman itu sebenarnya bermula dari keengganan negara untuk memberantas berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI. Alih-alih menindak tegas aksi kekerasan tersebut, negara justru ‘berteman’ dan memanfaatkan kekuatan FPI untuk melancarkan berbagai kepentingan politiknya.
Salah satu contohnya adalah kontrak politik antara Ahmad Heryawan (Aher) dengan FPI dalam kampanye Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2013 lalu. Aher berjanji akan menerapkan peraturan anti-Ahmadiyah apabila FPI mendukungnya maju menjadi Gubernur Jawa Barat. Setelah Aher terpilih, benar saja, angka kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah di Jawa Barat semakin meningkat pesat.
Selain organisasi FPI itu sendiri, negara adalah pihak yang paling perlu dimintai pertanggungjawaban atas maraknya aksi kekerasan. ~A. Faqih Share on XSelain itu, FPI juga mendapat suntikan politik dari berbagai aktor negara, seperti Prabowo Subianto dan Wiranto. Keterlibatan negara yang ikut membentuk, merestui, bahkan juga mensponsori roda organisasi FPI membuat FPI seakan-akan memiliki posisi tawar (bargaining position) untuk memobilisasi berbagai aksi kekerasan. Dengan memperlakukan FPI sebagai ‘anak emas’, negara juga telah berkontribusi membentuk FPI menjadi kelompok vigilante (gemar main hakim sendiri) yang kebal hukum.
Alih-alih memberantas berbagai aksi kekerasan tersebut, negara justru menyediakan lahan subur dan melakukan pembiaran. Seandainya sejak awal negara tidak bersikap demikian, aksi-aksi kekerasan oleh FPI barangkali tidak akan terjadi berlarut-larut—sehingga kita kini merasa perlu mengusir mereka dari ruang demokrasi.
Artinya, negara juga menjadi penyumbang paling besar atas tumpukan dosa-dosa FPI. Dengan demikian, selain organisasi FPI itu sendiri, negara adalah pihak yang paling perlu dimintai pertanggungjawaban atas maraknya aksi kekerasan.
Refleksi
Tidak adanya penegakan hukum dan tindakan tegas atas aksi-aksi kriminal yang tidak beradab seharusnya menjadi pusat perhatian kita bersama. Hal itu menjadi akar bagi tumbuh suburnya aksi kekerasan yang sebenarnya sangat mungkin untuk dicegah sejak awal. Memusatkan perhatian pada kelalain negara menjadi sangat penting, sebab sebagaimana konsep masyarakat sipil (civil society), posisi FPI dalam ruang demokrasi juga memiliki wajah ganda. Aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan memang tidak cocok dengan prinsip masyarakat sipil yang menjunjung tinggi nilai pluralitas, toleransi, dan egalitarian. Tetapi, FPI juga berpotensi menjadi kelompok masyarakat sipil yang mampu menjadi penyeimbang antara institusi makro (negara dan pasar) dengan wilayah privat (keluarga). Hal itu ditunjukkan oleh keberadaan divisi nahyi munkar FPI yang diam-diam kerap melakukan berbagai kegiatan sosial untuk membantu kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
Dalam “Eksklusi dan Radikalisme di Indonesia”, Hakimul Ikhwan melihat hubungan antara radikalisme, Islam, dan demokrasi dari kacamata dinamis-dialektis, yaitu melihat ketiganya saling berdialektika secara dinamis untuk membangun struktur sosial dan politik Indonesia kontemporer. Dalam artian, bernegosiasi dengan kelompok radikal sebenarnya bukan perkara baru yang sulit dilakukan, mengingat kita pun telah hidup berdampingan dengan mereka hampir di sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia—contohnya DI/TII, Masyumi, GARIS, hingga kini muncul Gerakan Pemuda Kabah (GPK), Gerakan Pemuda Islam (GPI), HTI, hingga FPI.
Dengan demikian, kita perlu kehati-hatian dalam memperlakukan kelompok radikal, termasuk FPI yang gemar melakukan kekerasan. Sesuatu yang seharusnya kita sasar adalah memberantas habis tindak kekerasannya, bukan organisasinya. Membedakan hal itu menjadi penting, sebab ruang publik kita selama ini telah diisi oleh beragam kelompok yang saling berbagai ruang: mulai dari yang paling civilized sampai yang paling uncivilized. Mereka menjadi komponen yang membuat kehidupan demokrasi kita menjadi dinamis dan berwarna.
Tugas negara adalah memastikan ruang publik tetap aman, dapat diakses oleh siapa saja, dan tidak didominasi oleh satu gagasan tertentu, apalagi gagasan yang berlandaskan kekerasan. Terlalu mudah membubarkan kelompok radikal yang dinilai mengancam, apalagi tanpa memperhitungkan akar permasalahannya, akan berpotensi mengurangi pluralitas yang pada akhirnya dapat membahayakan masa depan demokrasi.
Abdullah Faqih sedang bersekolah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini