Memperkarakan Kematian
November 6, 2020Kamala Harris dan Dimensi Kelas yang Kita Lewatkan
November 14, 2020
RESENSI BUKU
Sexual Politics of Meat karya Carol J. Adams
oleh Andhika Pratiwi
Buku Sexual Politics of Meat: A Feminist-Vegetarian Critical Theory (2015) oleh Carol J. Adams sebenarnya pertama kali diterbitkan pada tahun 1990. Adams merupakan salah satu pionir ekofeminisme yang berfokus pada veganisme. Dalam buku ini, ia mengasosiasikan hubungan antara perempuan, binatang, dan gaya hidup vegan.
Awalnya, Adams menjelaskan hubungan antara konsumsi daging dengan sejarah manusia. Ia memaparkan bahwa manusia terikat dengan konsumsi daging sejak zaman batu. Para lelaki dahulu biasa pulang membawa binatang-binatang buruan dan diserahkan pada para perempuan yang ada di gua-gua mereka. Lalu, para perempuan bertugas menguliti, memotong-motong, membumbui, mengolah, memasak, dan menyajikan daging tersebut untuk seluruh keluarga. Hal yang menarik adalah saat daging telah dimasak dan disajikan, pihak lelaki lah yang umumnya berhak memakan daging tersebut karena mereka dianggap pihak yang kuat dan dengan berani menghadapi kebuasan para binatang. Setelah pihak lelaki, barulah daging tersebut disajikan ke anak-anak karena mereka perlu nutrisi banyak untuk pertumbuhan. Bagaimana dengan para perempuan yang susah payah mengolah dan memasak daging tadi? Mereka ada di urutan terakhir. Itu pun jika dagingnya masih tersisa. Seringkali sajian daging sudah habis, dan akhirnya para perempuan memakan sajian lain yang masih ada, biasanya sayur-sayuran atau buah-buahan.
Menurut Adams, walaupun terlihat normal, ilustrasi tersebut penuh dengan relasi kuasa. Pihak lelaki, dalam hal ini, adalah para breadwinner/provider (pencari nafkah atau, secara literal, pencari makan dengan cara berburu). Sebaliknya, para perempuan adalah orang-orang yang tinggal di dalam gua menunggu para lelaki mereka pulang membawa hasil. Dalam konteks yang lebih modern, hasilnya bukan berupa binatang buruan, tapi bisa berbentuk uang atau barang-barang lain yang bisa dikonsumsi secara langsung.
“Kita hidup dalam budaya yang telah melembagakan penindasan terhadap hewan setidaknya pada dua tingkat: pertama dalam struktur formal seperti rumah jagal, pasar daging, kebun binatang, laboratorium, dan sirkus, dan kedua melalui bahasa. Pilihan kita untuk menggunakan istilah ‘makan daging’ dan bukan ‘makan bangkai’ adalah contoh utama bagaimana bahasa mewakili persetujuan budaya yang dominan atas aktivitas ini.”
Dilihat dari sisi feminisme, Adams melihat ketimpangan yang dialami para perempuan. Perempuan bergantung secara ekonomi pada laki-laki, dan kalau tidak ada laki-laki yang datang membawa binatang buruan, perempuan tidak mungkin bisa bertahan hidup. Kondisi laki-laki yang berburu dan perempuan yang tinggal di gua juga menciptakan segregasi antara ruang publik yang hanya bisa dikuasai oleh laki-laki dan ruang privat yang diperuntukkan bagi perempuan. Laki-laki, menurut Adams, selalu diasosiasikan dengan maskulinitas dan kekuasaan (buruan = senjata, hasil = kuasa atas daging), sedangkan perempuan dihubungkan dengan femininitas, kepatuhan, dan menerima keadaan apa adanya.
Dasar pemikiran inilah yang menyebabkan mitos bahwa “daging adalah sumber energi.” Patriarki mengasosiasikan daging dengan para lelaki kuat yang gagah berani memperjuangkan hidup mereka demi memberi makan para perempuan dan anak-anak mereka di rumah. Oleh karena itu, sayur-sayuran dan buah-buahan yang dimakan oleh para perempuan tadi dihubungkan dengan makanan sampingan atau snack yang tidak mungkin memberikan tenaga dan kesehatan.
Manusia seringkali hanya mementingkan keuntungan dirinya saja walaupun sebenarnya manusialah yang membutuhkan alam untuk hidup. ~ Andhika Pratiwi Share on XSelain itu, Adams menjelaskan bahwa keadaan tersebut membuat perempuan dan (daging) binatang pada akhirnya ditempatkan di posisi yang sama, yaitu di dalam rumah dan tersembunyi, namun mengalami opresi dan pengkotak-kotakkan (kategorisasi). Para lelaki memang membunuh binatang buruan mereka, namun yang harus melakukan ‘pekerjaan kotornya’ adalah para perempuan (menguliti, memotong, membersihkan, dan memasak). Laki-laki hanya cukup duduk manis di meja makan untuk menikmati daging buruan lezat yang siap saji.
Proses memasak harus disembunyikan dari mata para lelaki karena, menurut Adams (yang diamini para vegan lainnya), manusia tidak akan mampu memakan (daging) binatang jika mereka melihat proses dari awal binatang itu dikuliti sampai akhirnya menjadi sajian yang bisa dimakan. Oleh karena itu, perempuan dan binatang masakannya harus disembunyikan di ruang privat. Akhirnya, kedua pihak yang disembunyikan tersebut akan mengalami opresi dan kategorisasi sebelum bisa ‘dikonsumsi’ para lelaki. Contohnya, dalam konteks binatang, manusia biasanya memakan paha ayam goreng atau dada ayam bakar. Dalam hal ini, spesies ayam direduksi sebagai bagian-bagian tertentu saja, bukan diri secara utuh.
Adams membuat konteks ini paralel dengan opresi terhadap perempuan. Perempuan lebih sering hanya dilihat dalam kotak-kotak tertentu agar bisa diobjektifikasi oleh laki-laki. Contohnya, banyak pelaku kekerasan seksual berbasis gender yang mengomentari para perempuan dengan kata-kata “wah pantatnya seksi ya,” “dadanya montok amat,” atau “kakinya jenjang dan putih ya.” Dalam hal ini, ayam dan perempuan sama-sama objek yang hanya dilihat dan dikonsumsi dalam potongan-potongan. Keduanya dilihat sebagai benda-benda tidak berperasaan dan tidak utuh.
Demikian resensiku tentang buku tersebut. Selain novel The Vegetarian (2016) karya Han Kang, buku ini merupakan salah satu buku non fiksi yang membuka pikiranku tentang hubungan antara feminisme, lingkungan hidup, dan gaya hidup vegan. Buku ini membuatku ingin tahu lebih banyak lagi tentang eksploitasi manusia terhadap binatang dan alam. Manusia seringkali hanya mementingkan keuntungan dirinya saja walaupun sebenarnya manusialah yang membutuhkan alam untuk hidup.
Andhika Pratiwi adalah dosen Sastra Inggris paruh waktu dan ibu satu anak perempuan yang menikmati semua diskusi terkait feminisme, veganisme, musik pop, dan cerita fantasi. Ia bisa dihubungi melalui Instagram: @_dhika_pratiwi_
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini