Emotional Labour dan Kesejahteraan Pekerja
December 8, 2019Llia, Storial, & Produktivitas
January 8, 2020Makna
Seksualitas: Pencarian Makna Tiada Henti
Oleh Firdhan Aria Wijaya
Ketika tulisan tentang seksualitas berhamburan, berbagai pandangan berlomba-lomba menentukan apa itu sebenarnya seksualitas. Tentu saja, beberapa kelompok tertentu akan melihat seksualitas sebagai urusan antara lelaki dan perempuan serta hubungan sah antara keduanya yang tidak boleh diganggu gugat. Bisa jadi, sebagian dari mereka menganaktirikan urusan seksualitas karena banyak hal lain yang jauh lebih penting seperti gejolak politik, ketimpangan ekonomi, malnutrisi, ataupun isu perubahan iklim global. Sementara sebagian lainnya berpikir kalau seksualitas adalah sesuatu yang perlu dibebaskan dari aturan, norma, agama, atau apapun yang mengekangnya. Mereka menilai seksualitas harus dipahami secara ‘liar’, perlu disuarakan, dan dikonsumsi ke ranah publik sehingga masyarakat melek akan ‘seksualitas’ itu sendiri. Akhirnya, kita terjebak dalam pergulatan panjang dan labirin yang penuh tanya.
Perkembangan pengetahuan seksualitas yang tak berkesudahan juga dibahas para pemikir, khususnya ahli teori sosial Steven Seidman, yang menyelusuri seksualitas dari berbagai perspektif secara historis. Gagasan seksualitas pertama kali datang dari para ahli seksologi yang memahami seksualitas sebagai proses biologi dan berujung pada urusan melipatgandakan keturunan (reproduksi) yang dianggap normal dan alamiah.
Ide para ahli seksologi tersebut lalu ditentang oleh ahli psikoanalisis terkemuka, Sigmund Freud. Ia getol berbicara soal seksualitas yang pada hakikatnya adalah kenikmatan yang erotis (erotic pleasure) dan bukan melulu soal reproduksi. Ia, lebih lanjut, menjelaskan bahwa seksualitas pun erat kaitannya dengan kondisi psikologis seseorang yang nantinya akan berdampak pada kehidupan sosialnya.
Baru sekitar abad 19, ilmu sosial berperan penting dalam melihat seksualitas. Diawali oleh pengikut Karl Marx yang mempertanyakan makna kebebasan seks yang sebenarnya. Mereka menentang para kapitalis atau pemilik modal yang berusaha mengendalikan seks. Para pemilik modal ingin meraih kesuksesan dan keuntungan yang maksimal. Ambisi ini mengakibatkan dua perubahan. Pertama, mereka memaksa para pekerja untuk lebih produktif sehingga seksualitas yang dianggap ‘stabil’ tidak akan mengganggu produktivitas kerja. Kedua, terjadi perubahan pangsa pasar yang melihat seks sebagai komoditas. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pola konsumsi baru di sekitar awal abad ke-20 sehingga timbul industri porno dan layanan seks komersial. Barulah setelah itu, para feminis, sosiolog dan antropolog memandang seksualitas sebagai sesuatu yang berbeda.
Ketika kita melihat seksualitas sebagai bentukan masyarakat, kita bisa memikirkan kembali apa itu seksualitas dan bagaimana kita bisa mempertanyakan peran seksualitas dalam kehidupan kita sehari-hari. ~ Firdhan Aria Wijaya Share on XGayle Rubin, seorang antropolog kebangsaan Amerika, menerangkan bahwa seksualitas sebagai bagian aktivitas manusia tidak bisa lepas dari urusan tarik-menarik kepentingan dan kuasa, ketimpangan sosial, dan berbagai bentuk penindasan. Hal tersebut menunjukkan kalau seksualitas tidak lepas dari politik. Sementara itu, sosiolog seperti John Gagnon dan William Simon percaya bahwa seksualitas manusia merupakan hasil dari pembelajaran secara sosial. Seksualitas tidak ditentukan saat kita dilahirkan. Masyarakatlah yang mengajari kita tentang hasrat, perasaan, dan kedekatan yang dianggap seksual dan juga apa yang pantas dan tidak pantas untuk perilaku seks kita. Dengan kata lain, seksualitas dibentuk secara sosial dan lambat laun menciptakan label di masyarakat.
Kenyataan tersebut mengutamakan bentuk seksualitas yang dianggap pantas atau normal adalah hubungan antara lelaki dan perempuan (heteroseksual) yang menghasilkan keturunan (reproduktif). Sedangkan, bentuk seksualitas yang lain atau non-heteroseksualitas dianggap tidak bermoral, berdosa, atau abnormal dan kemudian diasingkan. Pandangan tersebut menganggap bahwa setiap orang terlahir untuk menjalankan perannya sebagai lelaki atau perempuan yang ‘seharusnya’. Identitas dan ekspresi gender serta tubuh pun diatur agar selalu cocok dan tak menyimpang. Contoh dari bentuk pengaturan dan paksaan sosial tersebut adalah sangkaan bahwa perempuan yang tertarik dengan sesamanya adalah perempuan yang ‘gagal’. Contoh lainnya adalah kasus penggusuran salon para waria yang dipaksa mengubah diri mereka ke ‘kodrat’-nya sebagai lelaki. Pengaturan sosial tersebut merambat dan merekat ke seluruh lapisan masyarakat (agama, pemerintah, keluarga, dan media). Konsekuensinya adalah munculnya diskriminasi yang fatal dan kekerasan terhadap mereka yang memiliki seksualitas lain. Berbeda menjadi sebuah persoalan. Asumsi itulah yang lebih dikenal dengan heteronormativitas.
Ketika kita melihat seksualitas sebagai bentukan masyarakat, kita bisa memikirkan kembali apa itu seksualitas dan bagaimana kita bisa mempertanyakan peran seksualitas dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak mudah untuk memaknai seksualitas. Kerumitan ini, menurut Jeffrey Weeks, disebabkan oleh dua hal: ‘imajinasi sosial’ dan ‘sesuatu yang personal’ yang saling berhubungan dan selalu berubah.
Pencarian makna seksualitas tidak akan pernah berhenti. Justru akan menjadi sebuah jebakan jika maknanya ditentukan. Satu hal yang bisa ditemukan dalam seksualitas adalah cara berpikir yang menghargai keberagaman dan menciptakan peluang baru untuk melihat relasi lain, agensi, dan pilihan-pilihan yang tak pernah terduga sebelumnya.
Bacaan lebih lanjut:
Referensi Gagnon, John and William Simon (1973) Sexual Conduct: The Social Sources of Human Sexuality. Chicago: Aldine. Gayle, Rubin (1984) Thinking sex: Notes for radical theory of the politics of sexuality in Richard Parker and Peter Aggleton (eds), Culture, society Seidman, Steven, Nancy Fisher and Chet Meeks (eds) Introducing the new sexuality studies. London; New York: Routledge. Weeks, Jeffrey (2005). Sexuality. London: Routledge |
Bacaan Lanjutan Butler, Judith (1999). Gender trouble: Feminism and subversion of identity. New York; London: Routledge. Foucault, Michel (1980) The History of Sexualities Vol. 1: An Introduction. New York: Vintage. Faustro, Sterling, Anne (2000). Sexing the body: Gender politics and the construction of sexuality. New York: Basic Books. Parker, Richard and Peter Aggleton (eds) (2007) Culture, society, and sexuality: A reader. London; Philadelphia: Routledge. |
Firdhan Aria Wijaya telah menempuh pendidikan program master di International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam, Den Haag Belanda dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Walaupun konsentrasi pendidikannya mengkaji kajian agraria, pangan, dan lingkungan, ia tetap tekun mendaras isu-isu terkait gender dan seksualitas. Nampak dari karya dari keterlibatannya sebagai editor buku Woman and Environmental Movement: Some Japanese and Indonesia Experience (2017) dan sebuah kolaborasi tulisan dengan Tamara L. Megaw, “Challenging coloniality in psychological academia and pathologizing of LGBT community” (2017) yang dipresentasikan di SOAS, London. Selain berkutat di lingkungan baca dan tulis, di sela kesehariannya ia gemar melakukan sulaman kristik.
Artikel Terkait
Seksualitas: Pencarian makna tiada henti
Ketika tulisan tentang seksualitas berhamburan, berbagai pandangan berlomba-lomba menentukan apa itu sebenarnya seksualitas. Tentu saja, beberapa kelompok tertentu akan melihat seksualitas sebagai urusan antara lelaki dan perempuan serta hubungan sah antara keduanya yang tidak boleh diganggu gugat. Akhirnya, kita terjebak dalam pergulatan panjang dan labirin yang penuh tanya.“XX” & “XY” dan Segala Sesuatu yang Mengikutinya
Di artikel ini, Naomi menekankan pentingnya mempertanyakan kembali gagasan-gagasan mengenai gender dan seksualitas yang sering dianggap sudah berterima dan wajar-wajar saja di keseharian kita.Melerai Kekusutan Gender dan Jenis Kelamin
Sebelum seorang bayi lahir, kita sangat terbiasa untuk menanti ‘jenisnya’. Laki-lakikah? Atau perempuan? Begitu tahu, kita sesegera mungkin menentukan warna barang untuknya. Tapi, apa iya jenis kelamin harus menjadi tolak ukur kejantanan atau kewanitaan seseorang?Feminisme: Mitos, asumsi, dan kenyataan
Feminisme sering disalahartikan sebagai upaya perempuan melawan laki-laki. Dalam konteks Indonesia sendiri, tak jarang pula yang menafsirkan feminisme sebagai gerakan yang tak berterima karena disebut gerakan asing atau “kebarat-baratan.” Namun, apa sebenarnya yang diperjuangkan dalam feminisme?