Dinamika Regulasi Social Commerce: Bagaimana TikTok Shop Menavigasi Regulasi?
June 22, 2024Bicara Tri Hita Karana di Bibir Lubang Tambang
June 28, 2024Photo by Kompas
OPINI
18 Tahun Lumpur Lapindo: Pentingnya Mengakui Ecocide
oleh Wahyu Eka Styawan
Delapan belas tahun sudah peristiwa nahas tragedi bencana korporasi lumpur Lapindo terjadi. Namun, hingga saat ini, lumpur panas tersebut terus menyemburkan material berupa cairan berwarna hitam dan berbau gas menyengat.
Lumpur Lapindo adalah contoh nyata mengenai bagaimana industri ekstraktif pertambangan memiliki daya hancur yang luar biasa. Bencana itu mengusir paksa hampir 45 ribu jiwa yang menghuni sekitar 10.426 unit rumah dan tersebar di 16 desa di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Porong, Jabon dan Tanggulangin.
Bencana lumpur Lapindo terjadi gara-gara praktik eksploitasi pengeboran minyak dan gas (migas) yang dilakukan oleh perusahaan Lapindo Brantas Inc., sebuah unit usaha bersama Bakrie Group, Medco Group, dan Santos dari Australia. Semburan lumpur tersebut bermula ketika lumpur panas mulai mengucur dari sumur migas Banjar Panji 1 setelah pengeboran yang dilakukan perusahaan menyebabkan ledakan
Lapindo dan Degradasi Ekosistem
Lumpur Lapindo, yang hingga kini masih mengeluarkan materi berbahaya, menyebabkan kerusakan masif berupa degradasi ekosistem, ditandai dengan menurunnya kualitas udara, air, dan tanah. Berdasarkan pemantauan udara di sekitar lokasi oleh Posko Korban Lumpur Lapindo, ditemukan bahwa udara di sekitar situs lumpur Lapindo tercemar oleh PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon), senyawa kimia yang mengandung karbon dan hidrogen, dengan konsentrasi tinggi, yaitu 14.620 mikrogram/m3. Selain itu, penelitian berjudul “Karakteristik Lumpur Lapindo dan Fluktuasi Logam Berat Pb dan Cu Pada Sungai Porong dan Aloo” juga menemukan beberapa kandungan logam berat lain, seperti Cu (cuprum) dengan konsentrasi sebesar 24,5 ppm dan Pb (timbal) sebesar 17,8 ppm.
Pada sebuah laporan ilmiah berjudul “Relevant Methane Emission to the Atmosphere from a Geological Gas Manifestation,” ditemukan pula bahwa semburan lumpur, seperti yang terjadi dalam kasus Lapindo, telah melepaskan gas rumah kaca berupa metana yang kuat dengan laju sekitar 100.000 ton per tahun, sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global. Daerah di sekitar semburan lumpur mengalami dampak yang lebih besar, yaitu areanya menjadi lebih panas dan bau metana serta gas lainnya mempersulit aktivitas warga, juga menyebabkan masalah pernapasan dan kesehatan lainnya.
Melalui pemantauannya pada aspek kesehatan, Posko Korban Lumpur Lapindo juga menemukan bahwa kualitas kesehatan warga mengalami penurunan. Mereka menemukan data soal terjadinya peningkatan penderita Infeksi Saluran Penapasan Akut (ISPA) di tiga kecamatan, yakni Porong, Jabon dan Tanggulangin sebanyak 4.892 orang. Selain itu, ancaman lain yang terjadi adalah kualitas air yang kian memburuk dan turut memengaruhi kondisi kesehatan, termasuk salah satunya menyebabkan masalah stunting di Kecamatan Porong, terutama di Desa Glagaharum.
Hal itu dibuktikan dalam sebuah penelitian berjudul “Komparasi Kualitas Air Tanah dengan Metode Indeks Pencemar serta Storet pada Musim Pancaroba (Studi Kasus: Desa Glagaharum, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo).” Penelitian itu menggarisbawahi bahwa kondisi air di Desa Glagaharum yang notabene merupakan wilayah terdampak Lapindo mengalami penurunan. Dalam penelitian tersebut, peneliti menggunakan metode indeks pencemaran di beberapa titik sampling di tiga dusun, yaitu di Dusun Mrisen, Kwaron dan Buaran. Secara umum, pencemaran di ketiga dusun tersebut termasuk dalam kategori ringan. Selain itu, mereka juga menggunakan metode storet (membandingkan data kualitas air dengan baku mutu air) pada titik sampling 1 di Dusun Mrisen dan 2 di Dusun Kwaron. Hasilnya, kedua titik tersebut termasuk dalam kategori tercemar sedang. Kemudian titik sampling 3 dan 4 di Dusun Kwaron serta titik sampling 5 di Dusun Buaran dikategorikan sebagai daerah dengan pencemaran berat.
Kondisi di atas, paling tidak, sudah bisa memberikan sedikit gambaran mengenai penurunan kualitas ekosistem pada wilayah terdampak Lapindo.
Lapindo dan Persoalan Sosial-Ekonomi
Setelah 18 tahun hadir, sampai saat ini, komunitas terdampak Lapindo masih merasakan kesusahan untuk pulih, baik secara ekonomi maupun sosial.
Dalam buku berjudul Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menemukan terdapat sekitar 15 pabrik yang terendam Lapindo dengan jumlah buruh yang menjadi korban sekitar 2000 orang. Buruh dari pabrik-pabrik tersebut kehilangan mata pencaharian, beberapa di antaranya kesulitan menemukan pekerjaan baru, karena faktor usia yang rata-rata sudah 35 tahun ke atas dan minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan mereka.
Bencana industri lumpur Lapindo juga berdampak pada sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), di mana ada sekitar 400 lebih harus gulung tikar karena bencana tersebut. UMKM itu juga menjadi tumpuan hidup bagi sekitar 1000 orang di tiga kecamatan yang terdampak lumpur Lapindo. Tidak hanya UMKM, sektor pangan pun terdampak: sekitar 600 hektar sawah terendam. Jika setiap sawah dalam 1 hektar menghasilkan sekitar 7 sampai 8 ton padi dalam satu kali panen, maka tragedi lumpur Lapindo telah menghilangkan kemampuan produksi padi sekitar 4800 ton. Ini belum termasuk jenis komoditas lain, seperti jagung dan kacang-kacangan.
Dampak sosial-ekonomi tersebut masih belum ditambah dengan kerugian negara atas kehadiran bencana ini. Oleh sebab negara mengambil alih tanggung jawab penyelesaian dampak sosial ekonomi bencana Lapindo, pada 2007 silam, negara harus merogoh kocek mencapai 27,4-33 triliun rupiah. Total APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang terkuras untuk mengurus bencana yang dilakukan oleh satu korporasi ini mencapai 11 triliun rupiah. Angka tersebut hanya yang tersaji dalam laporan resmi. Kami memperkirakan bahwa uang negara yang terkuras untuk tragedi ini bisa mencapai lebih dari 60 triliun rupiah, mengingat tidak hanya soal ganti rugi saja yang negara berikan, melainkan juga kebutuhan lain selama hampir 18 tahun lumpur Lapindo meletus.
Dampak-dampak yang kami sampaikan di atas adalah wujud bagaimana berbahayanya industri ekstraktif. Ia mampu menghancurkan ekosistem secara masif dan dalam jangka panjang. Tidak hanya satu dimensi saja yang hancur, tetapi multidimensi, yakni ekosistem, ekonomi, sosial dan psikologis sekaligus. Tragedi lumpur Lapindo adalah bencana korporasi yang menyebabkan penghancuran ekosistem secara perlahan, mengusir orang dari tempat tinggalnya, dan menghancurkan ruang hidup serta masa depan.
Memasukkan Lapindo sebagai Ecocide
Ecocide merujuk pada istilah yang menggambarkan kehancuran, kerusakan, dan hilangnya ekosistem secara luas di suatu wilayah tertentu yang sering kali disebabkan oleh aktivitas manusia. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “oikos” (rumah) dan bahasa Latin “caedere” (membunuh) yang berarti “membunuh rumah kita”.
Sampai saat ini, ecocide belum dikodifikasikan sebagai kejahatan internasional yang mirip dengan genosida atau kejahatan perang. Namun, ada gerakan yang berkembang untuk memasukkan ecocide ke dalam Rome Statute of the International Criminal Court (ICC). Mengakui ecocide sebagai kejahatan internasional akan memberikan kerangka hukum untuk meminta pertanggungjawaban individu dan perusahaan atas kerusakan lingkungan yang signifikan.
Konsep ecocide mulai dikenal melalui karya pengacara lingkungan hidup, Polly Higgins, yang berjudul “Earth Is Our Business: Changing the Rules of the Game,” yang mengusulkan definisi hukum ecocide pada 2010. Higgins mendefinisikan ecocide sebagai kerusakan ekstensif, penghancuran atau hilangnya ekosistem di wilayah tertentu, baik disebabkan oleh manusia maupun lembaga negara dan korporasi, atau karena sebab-sebab lain sedemikian rupa, sehingga kedamaian penduduk wilayah tersebut menjadi sangat berkurang.
Menetapkan bencana lumpur Lapindo sebagai kejahatan korporasi dan bentuk dari ecocide merupakan sebuah upaya penting untuk menegakkan hukum lingkungan dan mencegah peristiwa serupa berulang. ~ Wahyu Eka Styawan Share on XDalam konteks ini, lumpur Lapindo dapat dikategorisasikan sebagai ecocide, merujuk pada konteks bencana berkepanjangan (long term) dan meluas (widespread) yang dipicu oleh kegiatan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Bencana tersebut juga secara nyata telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan membuat ribuan orang harus mengungsi. Semburan lumpur pun telah mengubur desa-desa dan lahan pertanian, sehingga menimbulkan dampak sosial-ekonomi dan ekologi yang signifikan.
Ecocide mewakili salah satu isu lingkungan yang paling mendesak saat ini yang mencerminkan dampak bencana dari aktivitas manusia terhadap ekosistem. Ketika gerakan untuk mengakui ecocide dalam hukum internasional mendapatkan momentumnya, penting untuk memahami dimensi hukum, etika, dan praktisnya. Dengan menganggap perusakan ekologi sebagai kejahatan, kita dapat mengambil langkah signifikan untuk melindungi planet kita dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi seluruh penghuninya.
Delapan belas tahun lumpur Lapindo adalah peringatan atas banalnya industri ekstraktif yang mengundang bencana kemanusiaan dan ekosistem. Ini mengingatkan pada kita bahwa tragedi bencana korporasi, seperti lumpur Lapindo, adalah bom waktu yang bisa merusak ekosistem dan mengeksklusi komunitas sewaktu-waktu. Maka, menetapkan bencana lumpur Lapindo sebagai kejahatan korporasi dan bentuk dari ecocide merupakan sebuah upaya penting untuk menegakkan hukum lingkungan dan mencegah peristiwa serupa berulang.
Wahyu Eka Styawan bekerja di WALHI Jawa Timur sebagai Direktur Eksekutif Daerah. Di kesehariannya, Wahyu bersinggungan dengan aktivitas seputar advokasi, kampanye dan riset tentang hak atas lingkungan dan hak atas tanah. Selain itu, Wahyu juga tengah belajar ekologi politik dan pedesaan.
Artikel Terkait
Bukit Algoritma dan Ilusi Techno-Solutionism
Klaim-klaim yang dibuat untuk mendukung proyek Bukit Algoritma umumnya berangkat dari pemahaman bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan teknologi. Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan bahaya ilusi techno-solutionism dan pentingnya terlebih dahulu mengatasi kesenjangan yang ada.Kapitalisme di Persimpangan Jalan
Kapitalisme memiliki andil yang besar atas tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan serta pemanasan global. Namun apakah kapitalisme itu merupakan sesuatu yang jahat yang harus dimusuhi dan dihapuskan?Perkembangan Sistem Perekonomian Modern: Kapitalis, Komunis, Sosialis, dan Campuran
Artikel ini membahas perkembangan sistem perekonomian hingga akhirnya menjadi seperti sekarang, dimana ada negara yang condong menerapkan sistem kapitalis, sosialis, dan juga campuran.