Mempelajari Useless Knowledge, Apa Pentingnya?
December 14, 2023Membangun Dinasti di Negara Demokrasi: Geliat Politik Keluarga di Indonesia
December 20, 2023Photo by Koshu Kunii on Unsplash
OPINI
Melawan Pembungkaman: Bagaimana Pers Mahasiswa Menumbuhkan Demokrasi di Kampus?
oleh Muhammad Akbar Darojat Restu Putra
Dua bulan yang lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Humanika IAIN Gorontalo berusaha menyelidiki kasus kematian seorang mahasiswa berinisial HS yang meninggal dunia usai mengikuti kegiatan diklat Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam (HMJ HKI).
Penyelidikan itu menunjukkan bahwa kematian HS disebabkan oleh perpeloncoan yang dilakukan oleh panitia. Setelah berita itu beredar, rektor mengancam akan mencabut SK (Surat Keputusan) Pengurus dan membekukan LPM Humanika.
Aksi pembungkaman (represi) terhadap pers mahasiswa bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan juga memperoleh ancaman yang sama setelah memberitakan rencana pembangunan fakultas kedokteran. Selain itu, ada juga LPM Lintas IAIN Ambon yang organisasinya dibekukan, para pengurusnya mendapatkan kekerasan fisik, dan anggotanya dinonaktifkan sebagai mahasiswa setelah membuat buletin berjudul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan.“
Melihat banyaknya kasus pembungkaman semacam itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) kemudian melakukan riset terkait represi yang dialami oleh LPM. Hasilnya, ada 185 kasus represi yang terjadi selama kurun 2020 sampai 2021. Bentuk represi itu meliputi 12 jenis, beberapa di antaranya berupa ancaman, makian, teguran, dan pencabutan berita.
Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa pers mahasiswa berada dalam kondisi yang rentan dan tak bisa lagi bebas melakukan kerja-kerja jurnalistik, karena selalu dibayangi oleh aksi represi.
Artikel ini mencoba menjelaskan secara komprehensif soal banyaknya pers mahasiswa yang mengalami represi dan akibat fundamental yang kemudian muncul. Artikel ini juga akan menunjukkan langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk menghadapi persoalan tersebut.
Menyingkap Akar Pembungkaman
Masifnya represi terhadap pers mahasiswa disebabkan oleh setidaknya tiga hal.
Pertama, kultur feodalisme yang mendarah daging di lingkungan perguruan tinggi menciptakan relasi yang hierarkis antara dosen dan mahasiswa: posisi dosen ditempatkan berada di atas mahasiswa, baik dalam struktur epistemik maupun akademik. Relasi yang timpang itu mengandaikan dosen sebagai sosok yang sudah banyak makan asam-garam pengalaman dan pengetahuan dalam dunia akademik ketimbang mahasiswa. Walhasil, setiap kritik yang dilontarkan oleh mahasiswa kepada dosen, maupun kepada kampus sebagai sebuah institusi, dalam bentuk dan media apa pun, akan dianggap sebagai hal yang tidak pantas, bahkan cenderung mencederai harga diri dosen.
Kedua, ada pemahaman yang keliru soal makna “nama baik kampus” di kalangan pengelola perguruan tinggi. Birokrat kampus seringkali menganggap pers mahasiswa telah mencoreng nama baik kampus, ketika mahasiswa mengkritik kebijakan atau tindak-tanduk mereka. Artinya, kritik pers mahasiswa tidak dimaknai sebagai argumen tanding dan bahan bakar untuk mengoreksi atau menelisik kembali kebijakan, melainkan sebagai upaya untuk menjelek-jelekkan nama kampus. Pemahaman ini juga tak lepas dari anggapan mereka terhadap pers mahasiswa yang tak lebih dari humas kampus. Jadinya, mereka berpikir kalau pers mahasiswa semestinya selalu mendukung, bukan malah mengkritik, segala kebijakan kampus.
Ketiga, pers mahasiswa didanai oleh kampus, sehingga membuat para birokrat merasa memiliki otoritas untuk mengintervensi aktivisme pers mahasiswa. Mereka tentu tak bisa menerima begitu saja bila pers mahasiswa ‘membelot’ dari kepentingan kampus. Hidup dan mati pers mahasiswa, dengan demikian, amat ditentukan oleh para birokrat kampus.
Pembungkaman terhadap pers mahasiswa membuat kehidupan demokrasi di kampus menjadi suram karena fungsi kontrol pada kekuasaan sulit diwujudkan. ~ Muhammad Akbar Darojat Restu Putra Share on XApa akibat yang kemudian timbul dari represi terhadap pers mahasiswa?
Yang pasti, kehidupan demokrasi di kampus menjadi suram. Pers mahasiswa tak bisa dengan mudah dan bebas melakukan peliputan dan penerbitan berita, sekalipun sudah menjalankan kode etik jurnalistik. Tugas pers sebagai pilar keempat demokrasi yang memiliki fungsi mengontrol kekuasaan menjadi sulit diwujudkan, karena dicengkeram terus-terusan oleh kekuasaan birokrat kampus.
Konsekuensi lebih jauhnya, daya kritis mahasiswa perlahan-lahan akan terkikis. Mahasiswa akan ketakutan untuk berpikir dan menyampaikan argumen secara kritis, karena absennya ruang kebebasan berpendapat bagi mereka. Hal ini bukan hanya bertentangan dengan pasal 28, 28 C, 28 E, 28 F UUD Republik Indonesia tahun 1945, melainkan juga berseberangan dengan narasi mahasiswa sebagai generasi penerus dan aset bangsa.
Kita harus Bagaimana?
Penting bagi kita untuk merumuskan langkah-langkah praktis guna menyikapi maraknya aksi pembungkaman terhadap pers mahasiswa.
Upaya menciptakan demokrasi yang sehat di lingkungan kampus perlu dimulai dari birokrat kampus itu sendiri. Mereka perlu mengoreksi kembali pemaknaan mereka tentang “nama baik kampus” dan menempatkan kritik pers mahasiswa bukan sebagai ancaman, melainkan bahan bakar untuk berbenah. Dengan cara pikir demikian, dialog dan diskusi perlu dikedepankan dalam menghadapi kritik, aspirasi, dan kegelisahan mahasiswa. Perlu dicatat pula bahwa proses ini membutuhkan kesadaran tingkat tinggi dan birokrat kampus perlu memulainya dari membangun relasi kuasa yang setara (egaliter) dengan mahasiswa.
Pers mahasiswa perlu memikirkan kembali cara untuk tidak terlalu bergantung pada sumber pendanaan dari kampus. Mereka mesti mencari dan menyiasati sumber pendanaan mereka sendiri, misalnya dengan membayar uang kas anggota, kerja sama penelitian, penjualan karya, dan cara-cara lainnya. Ini dilakukan agar pers mahasiswa dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan ketergantungan dan intervensi birokrat kampus. Dengan cara ini, independensi sebuah lembaga pers bisa lebih terjaga.
Pers mahasiswa juga mesti mendorong disahkannya payung hukum yang lebih jelas kepada Dewan Pers. Memang, pers mahasiswa termasuk dalam kategori pers kuadran dua yang patut mendapatkan perlindungan. Namun, UU Pers No 40 Tahun 1999 yang menjelaskan tentang pers berbadan hukum tidak menyebut secara spesifik mengenai pers mahasiswa. Makanya, tidak heran kalau pers mahasiswa masih rentan terkena represi. Dengan payung hukum yang lebih jelas, pers mahasiswa setidaknya memiliki perlindungan yang dapat menjamin dan melindungi kerja-kerja jurnalistik mereka.
Meski demikian, perlu diingat bahwa regulasi hukum saja sebenarnya belum cukup. Jejaring dan solidaritas di antara pers mahasiswa sendiri harus dibangun dan ditumbuhkan, tak hanya mencakup pers mahasiswa sesama kampus, melainkan juga luar kampus. Dengan solidaritas itu, pers mahasiswa akan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk melawan segala bentuk pembungkaman. Dengan kata lain, persoalan pembungkaman terhadap pers mahasiswa akan jauh lebih mudah teratasi apabila mereka memiliki solidaritas yang kuat.
Muhammad Akbar Darojat Restu Putra adalah mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam yang menekuni kajian filsafat politik, ekologi, sosiologi dan studi Islam.
Artikel Terkait
Matinya Cendekiawan Kampus
Kaum terpelajar menjadi anak tiri dengan berbagai macam tekanan yang lahir dari struktur opresif negara. Negeri ini lahir dari rahim kaum terpelajar. Namun, negeri ini seperti dibesarkan oleh kultur kekerasan yang sangat kuat dan cendekiawan dicurigai sebagai kelompok yang akan merubah status quo kekuasaan. Apakah memang negeri ini bukan tempat yang nyaman bagi para kaum terpelajar?Selamat Hari Pers Nasional, Ricky!
Terlepas dari wacana mana yang lebih dominan, perayaan hari pers nasional selalu terasa jauh dan asing serta tidak dekat dengan kita sebagai masyarakat biasa.Membayangkan Demokrasi di Indonesia: Trauma Kolektif dan Toleransi
Lirik lagu Mars Pemilu 2019 mencerminkan semangat demokrasi modern Indonesia dengan lugas hanya dalam sembilan baris singkat. Lagu ini menggarisbawahi pentingnya hak pilih rakyat bagi keberlangsungan negara Republik Indonesia sebagai negara demokrasi muda yang hampir berusia 74 tahun. Lalu bagaimana keadaan demokrasi Indonesia saat ini?