Membangun Dinasti di Negara Demokrasi: Geliat Politik Keluarga di Indonesia
December 20, 2023Otot Gym vs Otot Kuli: Kedangkalan Berbahasa dan Lingkaran Setan Maskulinitas Toksik
January 10, 2024Photo by Yayasan Obor
RESENSI BUKU
Hak yang Dirampas: Masyarakat dalam Pusaran Bisnis Kelapa Sawit
oleh Lailatul Maulida
Pesatnya perluasan lahan (ekspansi) perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menyebabkan konflik antara masyarakat lokal dengan perusahaan terus memanas.
Ekspansi perkebunan membuat masyarakat lokal terus-terusan menelan pil penderitaan akibat hilangnya sebagian besar hak atas lahan dan sumber penghidupan. Mereka juga sering dirugikan karena tidak mendapatkan kompensasi yang memadai atas hilangnya lahan mereka. Akibatnya, berbagai aksi perlawanan, seperti demonstrasi besar-besaran, lobi (negosiasi), dan pengajuan tuntutan hukum pun banyak dilakukan masyarakat. Sebagai balasannya, perusahaan sawit kerap merespon aksi itu dengan pendudukan lahan yang sering disertai dengan aksi kekerasan melalui penerjunan aparat militer dan kepolisian.
Buku bertajuk Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia ini membahas silang sengkarut hubungan antara masyarakat lokal dengan perusahaan sawit. Buku yang ditulis oleh Ward Berenschot dan rekan ini, secara khusus, mendiskusikan penyebab, sifat, dan akibat konflik yang melibatkan perusahaan kelapa sawit dan masyarakat pedesaan di Indonesia.
Dengan mendokumentasikan 150 kasus sengketa kelapa sawit, penulis mengeksplorasi bentuk mobilisasi protes masyarakat terhadap perusahaan, penyebab masyarakat melakukan protes, dan upaya pelibatan masyarakat dalam mencari solusi atas keresahan mereka. Buku ini mencatat bahwa dari 150 kasus yang dikumpulkan, hanya ada 18 kasus yang berhasil diselesaikan.
Akar Masalah
Buku ini memiliki tiga argumen utama.
Pertama, kehampaan hak atau de facto rightlessness yang didefinisikan sebagai tidak ditunaikannya hak-hak dasar masyarakat oleh perusahaan kelapa sawit merupakan sumber konflik utama yang melibatkan masyarakat dan perusahaan. Kedua, masyarakat lokal merespon kehampaan hak dengan melakukan aksi perlawanan melalui strategi protes. Ketiga, mekanisme penyelesaian konflik antara masyarakat dan perusahaan tidak berjalan efektif dan konflik antar-keduanya pun banyak yang tidak terselesaikan.
Kehampaan hak terjadi karena dua permasalahan struktural, yakni pembatasan hak masyarakat atas tanah dan persekongkolan (hubungan kolusif) antara perusahaan dan negara sebagai pemegang kekuasaan (otoritas). Dengan kata lain, kedua faktor itu menyebabkan kondisi di mana masyarakat hampir tidak memiliki perlindungan hukum yang efektif dan hak mereka semakin tercederai akibat banyaknya praktik kongkalikong di pintu belakang.
Sudah menjadi rahasia umum kalau warga desa yang hidup di sekitar area perkebunan mempunyai hak hukum (de jure) untuk melindungi kepentingan mereka. Sayangnya, kondisi di lapangan justru berbanding terbalik. Masyarakat desa tidak menerima hak yang seharusnya mereka peroleh. Lagi-lagi, kongkalikong antara perusahaan dan pemerintah memperumit penyelesaian konflik karena perusahaan mendapat keistimewaan dan kelonggaran untuk menindas rakyat. Hal itu juga dikarenakan tidak adanya pengawasan secara efektif dari pemerintah terhadap pemberlakuan peraturan terkait pemberian hak pada masyarakat. Hubungan kolusif inilah yang menyebabkan kehampaan hak.
Permasalahan itu sulit diselesaikan karena berbagai faktor. Pada tingkat mikro, masalah ini berkaitan dengan masyarakat yang kurang memiliki pemahaman terkait sistem peradilan. Bahkan, dalam buku ini, dijelaskan bahwa banyak tokoh masyarakat yang berkhianat dengan berubah haluan dan berpihak pada perusahaan. Perusahaan juga memiliki sistem manajerial yang merugikan warga karena mengabaikan regulasi negara terkait pemberian hak pada masyarakat dan menjalin hubungan kolusif dengan otoritas lokal. Perusahaan bahkan menutup akses suara warga dan banyak melakukan kriminalisasi.
Sementara pada tingkat meso (struktur organisasi), terdapat kendala dari sisi pemerintah yang berkaitan dengan ketidakberfungsian lembaga negara dan asosiasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Contohnya adalah tidak adanya pengawasan terhadap perusahaan oleh otoritas lokal, sehingga sulit menghentikan pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang merugikan warga. Selain itu, mekanisme penyelesaian konflik yang dirancang juga masih lemah. Warga tidak lagi percaya pada lembaga peradilan karena sistem penguasaan tanah telah mempersulit pembuktian atau klaim atas kepemilikan tanah mereka.
Alternatif Solusi
Penulis buku ini menawarkan beberapa alternatif solusi, seperti membentuk komite mediasi di tingkat negara bagian dan kabupaten/kota, memberikan transparansi izin HGU (Hak Guna Usaha) kepada perusahaan, dan memantau kepatuhan perusahaan terhadap kewajibannya dalam memberikan hak masyarakat.
Penulis juga menyarankan pemerintah mengusut permasalahan perkebunan plasma dan mengambil tindakan tegas serta memberikan sanksi berat terhadap perusahaan yang menolak memenuhi kewajibannya. Selain itu, kehampaan hak juga dapat diatasi dengan memperkuat hak atas tanah milik warga atau reformasi agraria, meninjau kembali klasifikasi 63% wilayah daratan sebagai hutan, dan menguatkan kapasitas masyarakat sipil dalam membela hak-hak masyarakat lokal.
Respons
Perjuangan komunitas pembela HAM (Hak Asasi Manusia) di bidang lingkungan hidup tidak pernah setara dari sudut pandang hukum ketika berhadapan dengan negara dan perusahaan. Terkait persoalan hak-hak masyarakat, yang memprihatinkan adalah Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 telah menyatakan dengan jelas bahwa “mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut.” Dasar hukumnya jelas, tetapi implementasinya tampak seolah seperti omong kosong. Upaya intimidasi dan kriminalisasi kepada mereka yang giat memperjuangkan isu lingkungan justru terjadi semakin masif dan terorganisir. Hal ini tidak lagi dilakukan oleh satu atau dua orang sebagai bentuk reaksi spontan, melainkan diorganisir oleh aparat resmi negara.
Meski dijamin undang-undang, upaya intimidasi dan kriminalisasi kepada mereka yang giat memperjuangkan isu lingkungan justru terjadi semakin masif dan terorganisir ~ Lailatul Maulida Share on XSaya sependapat bahwa negara bukanlah pelaku tunggal. Kepentingan korporasi mulai mengeksploitasi lembaga-lembaga negara, tak terkecuali elit, dan memungkinkan terjadinya reproduksi kapital (modal) tanpa batas. Meski berseragam birokrasi, ia sebenarnya adalah ‘pegawai perusahaan’. Dengan kata lain, mereka sepenuhnya terkait dengan masifnya eksploitasi lingkungan hidup.
Buku ini menawarkan kelebihan berupa mendetailnya permasalahan yang diangkat sejak di bagian pendahuluan, yaitu perihal perjuangan warga negara melawan kebijakan yang merampas hak-hak mereka. Melalui banyak kasus yang diangkat, perampasan itu terjadi melalui praktik manipulasi legislasi yang dilakukan penguasa. Manipulasi dilakukan oleh negara dengan cara mengubah secara tidak resmi proses-proses kenegaraan yang selama ini dianggap formal.
Ketika negara menghadapi kemarahan publik yang menuntut hak-hak mereka (dalam hal ini hak atas lingkungan hidup), penggugat terpaksa menempuh jalur formal dengan memanfaatkan undang-undang teknis. Namun, ketika negara menjaga hubungan dengan investor atau perusahaan, teknik kolusi informal dengan kepentingan pribadi digunakan dan diformalkan menjadi kebijakan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Tindakan ini mengakibatkan pengunjuk rasa rentan dikriminalisasi oleh negara.
Istilah “kehampaan hak” sendiri sebenarnya merupakan ungkapan puitis yang sudah lama saya rasakan, tetapi masih belum bisa saya ungkapkan dengan jelas. Landasan konsep mengenai ‘tidak adanya hak’ diambil dari pemikiran filsuf Hannah Arendt yang mendalami mekanisme totalitarianisme dan menawarkan konsep “alternatif palsu”, yaitu solusi semu yang sebenarnya tetap menguntungkan mereka yang berkuasa. Oleh karena itu, masyarakat yang hidup di tangan pemimpin totaliter (menindas) sebenarnya tidak mempunyai hak.
Saya kira semua pejabat seringkali gagal dalam memenuhi dan menegakkan hak masyarakat. Persoalan warga di perkebunan sawit bukan sekadar persoalan sipil, namun juga persoalan politik yang akan terus kita saksikan bersama tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Maka, diperlukan seperangkat upaya yang sistematis mengenai hubungan negara, warga negara, serta perbaikan konsepsi dan perundangan atas tanah dengan pengedepanan prinsip keadilan, dibandingkan hanya berkaca pada hukum prosedural dalam sistem hukum negara. Upaya ini sangat diperlukan agar konflik agraria di Indonesia, termasuk permasalahan sawit, bisa menemui titik temu solusi.
Dalam ranah pembangunan dan kesejahteraan, saya ingin menambahkan bahwa setiap warga negara harus menjadi pendukung dan kontributor terhadap pembangunan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (LSM) juga sangat dibutuhkan, sebagaimana yang dijelaskan pula dalam The Pursuit of Development karangan Ian Goldin, seorang akademisi asal Inggris.
Kemudian, terkait keterbatasan, buku ini kurang menawarkan rekomendasi aksi nyata untuk meresolusi konflik. Padahal, dengan adanya hal itu, saya merasa bisa lebih memahami bagaimana penyelesaian konflik pelik ini secara lebih efektif dan berpotensi untuk mengadopsinya serta menyesuaikannya pada kasus lain yang serupa.
Lailatul Maulida adalah mahasiswi S2 jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada. Sesuai bidang studi, ia memiliki ketertarikan pada isu sosial, pembangunan, dan kesejahteraan.
Artikel Terkait
Bedol Desa dan Kisah Pengorbanan Masyarakat Wonogiri
Pembangunan waduk Gajah Mungkur di Wonogiri tidak lepas dari pengorbanan masyarakat lokal. Mereka terpaksa menerima gagasan pembangunan dengan mengikuti program transmigrasi bedol desa.Menilik Krisis Iklim dari Ketinggian 35.000 kaki
Di Catatan Pinggir ini, Brurce Mecca yang bekerja di sebuah lembaga wadah pemikir (think tank) internasional terkait kebijakan iklim, menggambarkan pandangannya tentang krisis iklim dari kacamata seorang penumpang di sebuah penerbangan rute Jakarta – Kalimantan Timur.Di Balik Kontroversi Pengembangan Wisata Superpremium
Mengapa pengembangan pariwisata superpremium selalu ditentang, ditolak, dan menimbulkan kontroversi? Pengembangan Taman Nasional Komodo (TNK) tahun lalu memperlihatkan pentingnya pemahaman mendalam tentang alam, ekologi, dan juga pariwisata.