Rumbling sebagai Bentuk Kebebasan?
January 30, 2024Perlawanan Akademik dan Seruan Moral Memperjuangkan Demokrasi
February 6, 2024Photo by Gayatri Malhotra on Unsplash
OPINI
Indonesia Butuh Pemimpin Muda: Kaum Muda sebagai Objek atau Subjek?
oleh Dani Ardian
Fenomena pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo, menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 bermula dari dikabulkannya gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Almas Tsaqibbirru. Gugatan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin, 16 Oktober 2023, itu kemudian menyulut banyak kontroversi.
Cawe-cawe Jokowi
Kontroversi itu disebabkan oleh adanya putusan MK yang menyebut bahwa individu di bawah 40 tahun, tetapi memiliki pengalaman terpilih dalam Pemilu, tetap dapat mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden. Putusan MK tersebut dianggap melangkahi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden sebagai positive legislators.
Selain itu, inkonsistensi putusan MK dalam mempertahankan argumenya soal batas usia calon presiden dan wakil presiden menyulut kecurigaan publik akan adanya kepentingan golongan. Hal ini terlihat ketika Anwar Usman, adik ipar Jokowi yang sekaligus hakim MK, tiba-tiba ikut menghadiri dan memutus perkara tersebut. Padahal, sebelumnya, ia tidak pernah terlibat dalam beberapa putusan MK.
Putusan MK yang inkonsisten dan tidak dilandasi oleh justifikasi hukum yang konkret memperparah kebobrokan organ MK dalam mengambil keputusan. Putusan itu juga dianggap sebagai putusan hukum yang aneh, karena merusak prinsip open legal policy dan mengubah keseimbangan antara lembaga legislatif dengan MK.
Sembilan hari setelah putusan MK, pada Rabu, 25 Oktober 2023, Gibran diumumkan sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Prabowo Subianto pada Pemilu 2024. Pengumuman ini semakin mengamini anggapan masyarakat terkait politik dinasti yang sedang dibangun Jokowi melalui orkestrasi yang dipertontonkan lewat putusan MK.
Putusan itu kini menjelma menjadi alat pelicin politik untuk memuluskan langkah Gibran maju pada kontestasi Pemilu 2024. Putusan MK tentang minimal usia capres dan cawapres kemarin adalah klimaks (titik puncak) dari usaha Jokowi ikut cawe-cawe dengan memodifikasi konstitusi untuk melegitimasi jalan sang putra masuk ke dalam bursa pencalonan wakil presiden. Banyak pakar yang menyebut usaha itu sebagai sesuatu yang sangat tidak suci. Namun, kita mungkin lupa kalau dunia politik memang terkadang terlalu najis dan kita pun teramat miris.
Rindu Pemimpin Muda?
Fenomena munculnya Gibran sebagai cawapres digadang-gadang oleh sebagian orang sebagai bentuk kerinduan masyarakat Indonesia akan hadirnya pemimpin muda. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa Indonesia sudah seharusnya dipimpin oleh orang berusia muda. Faktor kesehatan, tenaga yang masih prima, dan pikiran yang cenderung terbuka adalah sejumlah alasannya. Menurut Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan, kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia masih sangat sedikit, yaitu hanya kurang dari satu persen. Padahal, total penduduk Indonesia itu ada sebanyak 278,8 juta jiwa. Oleh karena itu, Syarief berharap pemimpin Indonesia pada 2024 bisa berasal dari kalangan kaum muda.
Gibran juga disamakan dengan Sutan Sjahrir, tokoh politik terkemuka pada masa kemerdekaan Indonesia, oleh Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, untuk melegitimasi pencalonan Gibran sebagai cawapres. Airlangga berkata, “Kenapa Partai Golkar berpikir anak muda? Kita punya sejarah, contohnya Sutan Sjahrir menjadi PM (perdana menteri) pertama sejak Indonesia diproklamirkan Soekarno-Hatta. Umur Sutan Sjahrir 36 tahun dan Sutan Sjahrir adalah kepala eksekutif atau kepala pemerintahan.”
Dunia politik kita hari ini rasanya sudah tidak menggunakan rasionalitasnya lagi dalam mengungkapkan sesuatu. Menuntut politisi untuk memiliki rasa malu adalah hal yang sangat naif. Bayangkan saja, otoritas, dalam hal ini adalah Ketua Umum Partai Golkar, mendefinisikan Gibran sebagai representasi kaum muda dan disandingkan dengan Sutan Sjahrir yang sudah sangat jelas jauh berbeda dari segi apa pun. Karir politik Sutan Sjahrir dibangun dari pertarungan idealisme dan ia pun banyak terlibat dalam diskusi mengenai konsep negara, sedangkan Gibran tidak lebih dari produk cawe-cawe sang ayah.
Narasi tersebut tidak lepas dari permainan kuasa. Jika kita merujuk pada teori kuasa yang digagas oleh filsuf Prancis, Michel Foucault, kuasa dideskripsikan sebagai suatu bentuk relasi sosial yang tidak hanya melibatkan institusi negara dan pemerintah, tetapi juga dapat ditemukan dalam berbagai bentuk relasi sosial dan budaya sehari-hari. Dalam hal ini, kuasa bukan diartikan sebagai praktik untuk menguasai orang-orang secara fisik maupun bentuk kediktatoran, melainkan sebagai normalisasi atas suatu gagasan dan wacana. Kuasa tidak lagi bekerja melalui penindasan dan kekuatan fisik, melainkan disamarkan, disembunyikan, dan diselubungi sehingga terkesan tidak tampak. Kuasa dioperasikan melalui pembuatan regulasi-regulasi yang dijalankan dan ditaati secara nyata dalam sebuah negara.
Wacana yang digulirkan melalui narasi kerinduan masyarakat Indonesia akan hadirnya pemimpin muda adalah cara kekuasaan beroperasi secara samar, terselubung, dan terkesan tidak tampak. Padahal, banyak agenda di balik wacana “Indonesia rindu pemimpin muda” itu. Jika benar demikian, saya memiliki pandangan skeptis terkait fenomena yang diuraikan di atas. Jangan-jangan, “muda”, dalam hal ini, diartikan sebagai objek saja, yaitu anak usia belia yang bisa dengan mudah dikendalikan oleh kekuatan yang lebih dominan.
Muda, dalam hal ini, barangkali berbeda dengan konsep muda dalam pendekatan subkultur, di mana kaum muda dilihat sebagai subjek yang punya agensi, perspektif yang kritis terhadap wacana politik dominan, dan agenda yang progresif. Hal itu persis seperti pandangan-pandangan Sjahrir yang berani menawarkan alternatif gagasan progresif ke arah wacana nasionalisme Sukarno yang terlalu meromantisir. Berbeda dengan gagasan itu, wacana politik tentang kaum muda saat ini hanya membelenggu dan menjebak konsep “muda” sebatas objek.
Kaum Muda dalam Politik: Subjek atau Objek?
Kaum muda hanya dijadikan objek dalam politik dewasa ini bisa kita lihat dari watak setiap partai politik yang mengapitalisasi kaum muda hanya sebagai modal untuk mendulang suara. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, menduduki posisi sebagai tiga partai politik teratas yang dianggap paling merepresentasikan kaum muda menurut survei Katadata Insight Center, dalam rilisnya “Survei Nasional Politik di Mata Anak Muda.” Survei tersebut menunjukkan bahwa ketiga partai itu kerap membangun narasi kalau kaum muda harus memimpin.
Untuk menguji apakah kaum muda benar menjadi objek saja atau justru subjek dalam politik, kita bisa melihat apakah mereka diberikan ruang untuk mengartikulasikan agenda dan pikirannya sendiri, kendati pun itu bertentangan dengan wacana arus utama politik nasional? Sejauh ini, menurut saya, wacana kaum muda dalam politik tidak lebih dari sekadar objek, karena mereka tidak memiliki ruang semacam itu.
Wacana kaum muda dalam politik tidak lebih dari hanya sebagai objek, karena mereka tidak memiliki ruang untuk mengartikulasikan agenda dan pikirannya sendiri ~ Dani Ardian Share on XUraian di atas menunjukkan bahwa posisi kaum muda dalam politik merupakan produk diskursif yang seksi untuk dipolitisasi tanpa sadar oleh kekuasaan. Kaum muda dalam politik tidaklah bebas nilai, melainkan narasinya bergulir berdasarkan siapa yang menguasai dan mendefinisikan mereka. Itu persis seperti yang disebut Foucault tentang kuasa yang bersifat imanen, yang artinya tersebar dalam domain dan diskursus tertentu, sekaligus merembes ke berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk politik.
Narasi yang menghegemoni semacam itu biasanya dibangun untuk melayani kepentingan penguasa. Pendek kata, wacana kaum muda, dalam hal ini, bisa saja dimanipulasi oleh kekuasaan untuk mempertahankan status quo atau bahkan untuk memperkuat kekuasaan yang ada.
Dani Ardian lahir di Bogor pada 26 Mei 2004. Ia adalah mahasiswa tahun pertama yang menyesatkan diri di Fakultas Filsafat UGM. Ia juga merupakan staf Kementerian Analisis Isu Strategis di BEM KM UGM 2023. Dani lagi seneng dengerin lagu Efek Rumah Kaca 24/7. Dani bisa dihubungi melalui Instagram @daaniard
Artikel Terkait
Laki-laki dalam Cengkeraman Patriarki
Masyarakat patriarki membayangkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga, memiliki karakter dominan, tidak emosional, dan tidak rapuhKaum Muda dan Pemilu: Membangun Kesadaran yang Utuh
Kaum muda memang penting berpartisipasi dalam Pemilu. Tapi, sudahkah dunia politik praktis ramah pada kaum muda? Bagaimana kaum muda bisa berpartisipasi secara bermakna dalam proses politik?“Pemuda Harapan Bangsa?” Pembangunan dan Cara Pandang yang Usang tentang Kaum Muda
Yang muda itu sering dianggap jaminan masa depan, ancaman, atau bahkan konsumen ideal. Memangnya cuma itu aja ya peran kaum muda?