Partai Buruh: Harapan Politik Kelas Pekerja?
February 8, 2024Menantang Neoliberalisasi: Membiayai Pendidikan Tinggi secara Adil dan Berkelanjutan
February 15, 2024Photo by Austin Neill on Unsplash
OPINI
Aktivisme K-Pop dan Politik di Indonesia
oleh Muhsin Sabilillah
Anies Baswedan tampak kebingungan mengoperasikan TikTok. Ia tak tahu cara mengakhiri live (siaran langsung) aplikasi yang baru pertama kali dicobanya itu.
Di luar dugaan, siaran langsung yang dilakukan sembari melakukan perjalanan pulang itu ditonton oleh 300 ribu orang. Calon Presiden (Capres) nomor urut 1 dalam Pemilu 2024 itu juga mendapatkan sambutan positif karena menampilkan diri bak sesosok bapak yang memberikan wejangan kepada anaknya. Mereka kemudian memanggil Anies dengan sebutan “abah”.
Hal yang dilakukannya, tentu saja, merupakan strategi kampanye untuk memikat kelompok milenial dan generasi Z yang jumlahnya mencapai 56 persen dari total suara dalam Pemilu 2024. Entah berhubungan atau tidak, hal ini kemudian melahirkan gerakan lain, seperti Anies Bubble dan Olppaemi Project, kelompok yang terafiliasi dengan komunitas penggemar (fandom) K-Pop (Korean Pop). Akun-akun tersebut nampak seperti sebuah fanbase (basis penggemar) Anies Baswedan yang melaporkan setiap kegiatan capres tersebut dengan gaya K-Pop. Gerakan ini mulanya timbul di X, kemudian akun-akun tersebut membantu Anies untuk menggalang dana kampanye.
Bukan Sekadar Fandom
Keterlibatan K-Pop dalam politik bukan pertama kali ini saja terjadi. Fandom beberapa kali menjadi headline (tajuk utama) media karena keterlibatan mereka dalam aktivisme. Mereka, misalnya, pernah menggagalkan upaya pengawasan pemerintah terhadap gerakan Black Lives Matter dengan membanjiri fancam (rekaman penampilan idola K-Pop). Mereka juga pernah mengganggu komunikasi kelompok supremasi kulit putih yang rasis dengan membajak hashtag (tanda pagar/tagar) mereka. Lebih jauh lagi, mereka bahkan pernah menyabotase rapat umum mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dengan sengaja membuat staf kampanye berpikir bahwa Trump ditunggu oleh kerumunan pendukungnya di Oklahoma. Padahal, ketika Trump datang, lapangan yang terisi hanyalah sepertiga.
Di Indonesia sendiri, akun X (sebelumnya Twitter) @aniesbubble dan @olpproject bukanlah gerakan partisipasi penggemar K-pop yang pertama. Pada Oktober 2020, penggemar K-Pop dari berbagai fandom juga terlibat dalam tagar #MosiTidakPercaya dan #TolakOmnibusLaw untuk menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang bermasalah. Mereka bahkan menginisiasi tagar baru, seperti #DPRDisbandParty dan #DPRFlop, yang mendorong pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tagar-tagar ini diramaikan oleh akun-akun X yang menggunakan avatar (foto profil) idol K-Pop.
K-Pop adalah salah satu produk kebudayaan populer yang konsumen utamanya adalah kaum muda. Jika K-Pop adalah salah satu, tapi kenapa tampaknya mereka yang memiliki dampak politis dan bukan, katakanlah, Swiftie (penggemar Taylor Swift) atau Potterhead (penggemar Harry Potter)? Melalui tulisan ini, saya akan coba menjelaskan kenapa fandom K-Pop memiliki pengaruh besar, sehingga ia menggiurkan bagi kontestan pemilu, karena dapat memengaruhi persepsi banyak orang.
Tsunami Kebudayaan Korea di Indonesia
Membicarakan aktivisme K-Pop perlu kita mulai dengan melihat asal muasal mereka membanjiri kebudayaan kita. Pasca-runtuhnya Orde Baru, terjadi liberalisasi besar-besaran pada hampir seluruh sektor, termasuk media massa dan kebudayaan. Dengan terbukanya keran kebudayaan besar-besaran, segala bentuk ekspresi kebudayaan muncul dan berebut pasar di Indonesia. Kebudayaan populer Asia Timur, seperti Korea, Cina, dan Jepang, ikut berpartisipasi dalam hal itu.
Pada awal 2000-an, kebudayaan Asia Timur masuk melalui drama-drama TV remaja, seperti Meteor Garden, Winter Sonata, dan Tokyo Love Story yang memiliki penggemar cukup banyak. Hal ini tidak lepas dari lahirnya stasiun TV swasta pada akhir dekade 1980-an.
Sebenarnya, kebudayaan populer Cina, seperti musik dan film, sudah menemukan pasarnya di Indonesia sejak dekade 1970-an dan 1980-an. Mereka populer dengan film-film silatnya. Sementara musik, biasanya diputar di klub-klub malam atau melalui penjualan kaset musik yang juga berisi soundtrack (rekaman lagu) film-film populer Cina.
Yang berbeda, sebut dosen komunikasi Universitas Airlangga, Rachmah Ida, dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, adalah penerimaan pasar yang besar terhadap produk budaya non-Barat. Makanya, kita dapat menyebut kalau hal itu merupakan ‘kemenangan’ terhadap kebudayaan Barat yang telah lama mendominasi pasar kebudayaan pada masa Orde Baru.
Kepopuleran kebudayaan Asia Timur di layar kaca tidak bisa dilepaskan dari privatisasi stasiun televisi pada akhir 80-an. Liberalisasi ini membuat beragamnya acara TV yang bisa dikonsumsi masyarakat. Meski ada peraturan untuk memprioritaskan produksi dalam negeri, nyatanya sebagian besar acara adalah impor.
Pada 2002, kata akademisi Universitas Gadjah Mada, Suray Agung Nugroho, dalam The Global Impact of South Korean Popular Culture: Hallyu Unbound, stasiun TV, seperti RCTI dan SCTV, meraih banyak penonton karena menayangkan serial drama Korea berjudul Endless Love dan Winter Sonata. Penonton serial tersebut mencapai 2,8 juta dengan rating 10 yang menandakan keberhasilan pengaruh kebudayaan Negeri Ginseng.
Keberhasilan tersebut berusaha ditiru oleh stasiun TV lainnya, seperti Trans TV, TV 7, Indosiar, dan SCTV yang berebut penonton dengan menayangkan serial drama Korea Selatan. Trans TV menayangkan Glass Shoes dan Lover; TV 7 menayangkan Beautiful Days; selain Winter Sonata, SCTV juga menayangkan Invitation, Pop Corn, Four Sisters, Successful Bride Girl, Sunlight Upon Me, Memories in Bali; Indosiar juga menayangkan ulang Winter Sonata pada tahun 2004. Kesuksesan serial drama Boys Before Flowers pada 2008-2009 kemudian mendominasi TV Indonesia atas Jepang dan Cina.
Pengaruh kebudayaan Korea Selatan kemudian diperkuat dengan lahirnya Blitzmegaplex, distributor resmi sinema Korea. Film-film Korea pun tidak hanya tersedia di TV, DVD, dan internet, namun juga di layar lebar. Cineplex kemudian menunjukkan komitmennya untuk mendistribusikan film-film Korea.
Musik-musik Korea atau K-Pop masuk belakangan mengikuti suksesnya sinema. Pada 2013, popularitas musik-musik, penyanyi, serta boyband (grup vokal laki-laki) dan girlband (grup vokal perempuan) Korea meningkat drastis. Shinhwa, Big Bang, SS501, T-Max, Shinee, The Wonder Girls, Super Junior, TVXQ, Rain, 2PM, 2AM, U-Kiss, F(x), MBLAQ, BEAST, SNSD, 4-Minute berhasil mencuri perhatian muda-mudi di Indonesia.
Hari ini, K-Pop tampak di setiap sudut kebudayaan di Indonesia. Data dari Spotify pada Januari 2020 menunjukkan bahwa Indonesia adalah pendengar ke-2 terbanyak musik-musik Korea. Data dari Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata (Kemenpora) dan Badan Promosi Kebudayaan Internasional Korea Research Factory pada 2017 juga menunjukkan bahwa produk kebudayaan Korea yang paling populer di Indonesia, selain kecantikan atau fesyen, adalah musik, makanan, film, dan drama.
Karakteristik Penggemar K-Pop
Sekilas, nampaknya kita seringkali mengasumsikan atau menempelkan atribusi sifat tertentu (stereotipe) pada penggemar K-Pop. Tenang saja, bukan hanya kita yang merasa begitu. Beberapa studi mencoba menjelaskan karakteristik dan perilaku-perilaku yang sering disematkan pada penggemar K-Pop.
Dua akademisi asal Korea, Min-Seong Kim dan Hyung-Min Kim, dalam “The Effect of Online Fan Community Attributes on The Loyalty and Cooperation of Fan Community Members: The Moderating Role of Connect Hours” misalnya, menjelaskan bahwa anggota fandom dan fanship secara reguler berinteraksi dengan sesama penggemar secara online. Dalam interaksinya, mereka memiliki bahasa dan/atau istilah khusus yang hanya dimengerti oleh kelompoknya.
Akademisi lain, Ding dan Zhuang, dalam “Why Chasing Kpop? Is Fandom Truly Crazy? –The Motivation and Behaviors of Kpop Fans” juga mengatakan bahwa penggemar K-Pop suka memberikan dukungan, baik secara daring (dalam jaringan) maupun secara langsung, kepada idolanya. Keputusan mereka mendukung idola mereka dilatarbelakangi oleh, misalnya, pemberdayaan diri. Mereka merasa bahwa idola yang mereka dukung menyampaikan pesan yang sesuai dengan keresahan mereka. Selanjutnya, mereka juga merasakan kenyamanan mental ketika mendukung idola mereka. Karena kedua hal tersebut, mereka memiliki rasa kepemilikan dan koneksi yang kuat dengan sang idola.
Karakteristik ini sejalan dengan teori identitas sosial oleh dua akademisi, Tajfel dan Turner, dalam The Social of Inter-Group Relations. Keduanya mengatakan bahwa identitas seorang individu dibentuk berdasarkan kategorisasi dirinya dalam sebuah grup. Implikasinya, seorang individu akan mengeksplorasi lebih jauh ketertarikannya dan mencoba melakukan kontribusi moral atas ketertarikan tersebut. Lebih jauh, akademisi Wahdah Amri dalam “Kpop Fans Fanatism in Social Media Instagram” mengatakan bahwa ada kecenderungan fanatisme yang hadir di tengah-tengah fandom K-Pop. Maka dari itu, para penggemar akan membela habis-habisan idola yang disukainya. Dengan memahami karakteristik ini, kita dapat memahami tindakan-tindakan yang penggemar K-Pop ambil.
Penggemar K-Pop dan Partisipasi Politik di Indonesia
Akademisi asal Amerika Serikat, Henry Jenkins, dalam Popular Culture and The Civic Imagination: Case Studies of Creative Social Change mengatakan bahwa kebudayaan populer adalah salah satu sarana ekspresi yang paling efektif. Hal itu mengingat banyaknya konsumen dan penggemar kebudayan populer. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa partisipasi politik oleh penggemar mengganti pengertian aktivisme konvensional yang biasa dimengerti sebagai demonstrasi ke teknologi informasi. Oleh sebab itu, gerakan politik seringkali terjadi melalui bahasa atau konteks yang dipengaruhi oleh budaya populer, dan menjadikan aktivisme penggemar sebagai pusat gerakan sosial kontemporer.
Selanjutnya, akademisi Brough dan Shresthova, dalam “Fandom Meets Activism: Rethinking Civic and Political Participation,” menjelaskan keterlibatan penggemar dalam politik dapat dimengerti sebagai usaha untuk mengatasi masalah sipil atau politik melalui keterlibatannya dalam menyebarkan budaya populer secara strategis.
Lebih jauh, Brough dan Shersthova juga menjelaskan bahwa dalam aktivisme, penggemar yang biasanya merupakan audiens (penonton) berubah menjadi publik yang memiliki keresahan sosial-politik ketika mereka memutuskan untuk mengambil bagian dalam aktivisme. Penggemar kemudian mereproduksi produk-produk kebudayaan kegemarannya sebagai sarana untuk menarasikan dan mendorong diskursus serta kehendak politik mereka. Apalagi, fandom penggemar K-pop biasanya memiliki kolektivitas yang kuat.
Penggemar K-Pop di Indonesia, menurut Andini dan Akhni, dalam “Exploring Youth Political Participation: K-pop Fan Activism in Indonesia and Thailand,” mengatakan ada dua bentuk partisipasi politik, yaitu gerakan amal dan gerakan protes.
Gerakan politik seringkali terjadi melalui bahasa atau konteks yang dipengaruhi oleh budaya populer, dan menjadikan aktivisme penggemar sebagai pusat gerakan sosial kontemporer. ~ Muhsin Sabilillah Share on XPada gerakan amal, BTS ARMY Indonesia menjadi headline pada Oktober 2020 karena kontribusi mereka dalam konservasi lingkungan. The Jakarta Post menyebut bahwa mereka menyumbang 8,735 pohon bakau untuk ditanam di Desa Bendono, Demak, Jawa Tengah. Hal itu dilakukan sebagai proyek perayaan ulang tahun anggota BTS bernama Jimin.
Gerakan amal lain dilakukan oleh penggemar K-Pop dengan menggalang dana untuk korban gempa bumi dan banjir di Sulawesi pada tahun 2021 dan berhasil mengumpulkan 1,4 miliar rupiah. Belakangan, penggemar K-Pop dari berbagai fandom juga menggalang dana untuk korban genosida di Palestina. Dana yang berhasil mereka kumpulkan adalah sekitar 1,7 miliar rupiah.
Faktor-faktor yang melahirkan gerakan amal ini adalah kebutuhan agar orang lain mendengarkan suara mereka, kecintaan mereka pada idola K-Pop, dan identitas mereka sebagai penggemar serta warga negara.
Selain gerakan amal, penggemar K-Pop di Indonesia juga terlibat dalam protes dan demonstrasi terhadap pemerintah atau mengkritisi beberapa kebijakan. Keterlibatan mereka, dalam hal ini, adalah seperti yang disebutkan di awal, dimobilisasi lewat aksi #TolakOmnibusLaw dan #DPRDisbandParty. Selain itu, melalui akun X-nya, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan bahwa penggemar K-Pop membantu tagar soal Omnibus Law menjadi trending di dunia. Penggemar K-Pop yang mulanya tak mengerti apa pun soal isu ini menjadi ikut menyuarakannya. Hal ini disebabkan karena penggemar K-Pop adalah pengguna sosial media terbesar. Jadi, dengan mengambil peran dalam tagar, aspirasi politik menjadi lebih luas dan kuat.
Muhsin Sabilillah menyukasi sastra, film, catur, filsafat, sejarah, dan politik. Ia aktif di Kelompok Tidak Belajar.
Artikel Terkait
Lagu Lawas dan Harmoni Antargenerasi
Walaupun kaitan antara musik dan kelancaran dialog antargenerasi belum terlihat begitu mencolok, saya terka musik punya daya yang besar dan berarti untuk memperlancar hubungan itu. Indonesia bisa berstrategi melalui lagu lawas sebagai pemantik nostalgia dan komunikasi.Budaya Populer: Pembodohan Massa atau Ruang Daya Laku Konsumen?
Budaya populer masih sering diremehkan karena dianggap hanya memiliki nilai komersial. Padahal, budaya populer juga memiliki kekuatan ideologis dan politis apalagi dengan semakin intensnya media digital. Pertanyaannya adalah: Apakah benar budaya populer hanya bisa dilihat sebagai produk kapitalisme yang membodohi massa?Mengulik Fenomena Fandom di Era Teknologi Komunikasi
Fenomena fandom bukan hal baru. Tetapi, baru-baru ini eksistensinya dalam dunia digital semakin naik. Bukan lagi hanya hiburan, kini fandom juga bergerak di ruang-ruang hidup lain. Dalam tulisannya, Fariza Nur Shabrina dari Fan & Psychology membahas motivasi dibalik terbentuknya fandom dan keterkaitannya dengan pembentukan identitas seseorang.