Menantang Neoliberalisasi: Membiayai Pendidikan Tinggi secara Adil dan Berkelanjutan
February 15, 2024Koperasi Platform: Upaya Menantang Dominasi Kapitalisme Digital
February 28, 2024Photo by AFP/Amanda Jufrian
OPINI
Hak Asasi Manusia bagi Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan
oleh Miranda Prema Causa
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang harus dipenuhi. Sebagai manusia yang beradab, sudah sepatutnya kita berdiri di atas dasar kemanusiaan, bukan kekerasan, terkhusus pada mereka yang dilabeli sebagai kelompok minoritas.
Hak asasi manusia melindungi kelompok minoritas dari kekuasaan yang seringkali memosisikan mereka dalam keadaan terhimpit, terhina, dan terpinggirkan. Maka, penting adanya pengakuan HAM sebagai bentuk tanggung jawab bersama terhadap kelompok rentan, apalagi kelompok yang berada di posisi tidak aman akibat suatu ancaman yang membahayakan nyawa dan akal budinya. Dalam hal ini, peran negara menjadi sangat penting, sebab esensi dari negara adalah untuk melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya.
Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan? Apakah hak-hak mereka telah terpenuhi selayaknya seorang warga negara?
Kelompok Minoritas yang Rentan
Orang tanpa kewarganegaraan atau stateless people merupakan sekelompok orang yang tidak diakui sebagai warga negara oleh negara mana pun. Kondisi tersebut menjadikan mereka sebagai kelompok minoritas yang rentan dan sering terabaikan. Sebagai kelompok yang tidak memiliki kewarganegaraan, HAM yang melekat pada mereka tidak secara absolut menjadi tanggung jawab negara tertentu, layaknya seorang warga negara secara umum. Hal itu membuat mereka lebih rentan mengalami pelanggaran HAM.
Situasi demikian terjadi pada kelompok etnis Rohingya. Tidak terdengar asing di telinga kita bahwa etnis ini merupakan sekelompok orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup sebagai pengungsi di negara-negara tetangga Myanmar, seperti Bangladesh, Malaysia, Thailand, India, dan Indonesia. Mereka mulai hidup tanpa kewarganegaraan semenjak tidak diakui sebagai etnis asli Myanmar setelah dikeluarkannya kebijakan kewarganegaraan pada 1982 oleh junta militer Myanmar. Mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hingga pada puncaknya, diusir dari Myanmar dengan penuh paksa dan kekerasan pada 2017.
Kebanyakan dari mereka harus bertahan hidup dengan berlayar di laut untuk mencari tempat persinggahan, sehingga identitas mereka sering disebut sebagai “Boat People” atau “Manusia Perahu”. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai kelompok minoritas paling rentan di dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Perlakuan yang diterima oleh etnis Rohingya merupakan bentuk pelanggaran HAM berat, sebab negara-negara telah gagal dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak untuk hidup sebagai nonderogable rights, yaitu hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapa pun. Pelanggaran HAM berat dapat dilihat pada keadaan di mana pelanggaran dilakukan secara luas dan sistematis oleh kelompok bersenjata ataupun negara itu sendiri. Kondisi itu berpotensi memengaruhi perdamaian, stabilitas politik, serta keamanan negara dan dunia.
Perbuatan yang dilakukan terhadap etnis ini juga telah digolongkan ke dalam bentuk kejahatan genosida, karena tindakannya bertujuan untuk memusnahkan suatu kelompok etnis. Tindakan itu telah menelan 13.759 korban jiwa pada 2017 yang dilakukan melalui aksi pembunuhan, pembakaran tempat tinggal, penyiksaan, dan penindasan.
Dehumanisasi dan Disinformasi Pengungsi Rohingya di Indonesia
Di Indonesia sendiri, keberadaan pengungsi Rohingya baru-baru ini menimbulkan banyak konflik internal dan eksternal yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti situasi politik menuju pemilu (Pemilihan Umum), gejolak perekonomian, serta sentimen dan rasa kecemburuan sosial masyarakat. Banyak pula narasi negatif bermunculan terhadap pengungsi Rohingya, terutama yang terjadi di media sosial. Akibatnya, gelombang ujaran kebencian, berita bohong, dan disinformasi yang semakin meninggi pun memicu gejolak di masyarakat. Dampaknya, proses penanganan pengungsi Rohingya menjadi tidak stabil.
Sebagian dari mereka juga dinilai meresahkan, memiliki perilaku ‘buruk’, dan kerap melakukan kejahatan. Meski demikian, apakah pantas jika hal itu dijadikan pembenaran untuk kita merampas hak asasi seluruh pengungsi Rohingya dan memperlakukan mereka sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan?
Apakah benar bila kita harus menjadi negara yang sempurna terlebih dahulu, dengan ukuran seluruh rakyatnya sejahtera, barulah kita dibenarkan untuk mengakomodasi hak hidup kelompok lain?
Hukum Internasional terkait Status Orang Tanpa Kewarganegaraan
Berkaca pada prinsip-prinsip hukum internasional, negara harus berpegang teguh pada asas non-refoulement, non-penalization, dan non-discrimination terhadap pengungsi, sebagaimana termuat dalam Konvensi Pengungsi 1951. Asas non-refoulement, menurut hukum internasional, menegaskan bahwa negara dilarang mengusir atau mengembalikan pengungsi ke suatu tempat yang akan mengancam hidup dan kebebasannya.
Begitu pula, sesuai dengan asas non-penalization, negara tidak boleh menjatuhkan sanksi atau hukuman terhadap pengungsi yang mencari perlindungan di wilayah suatu negara, sekalipun kehadirannya tidak disertai dokumen yang lengkap. Terakhir, negara tidak boleh membeda-bedakan perlakuan pada pengungsi berdasarkan ras, agama, dan negara asal mereka, sebagaimana prinsip non-discrimination.
Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, hal ini tidak boleh dijadikan alasan pembenar untuk menolak keberadaan pengungsi Rohingya. Atas dasar ideologi kemanusiaan yang adil dan beradab serta sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia patut memperlakukan pengungsi dengan rasa kemanusiaan dan keadilan sebagai satu kesatuan penduduk dunia.
Peran Organisasi Internasional dan Pentingnya Kerjasama Regional ASEAN
Peran organisasi Internasional sangat diperlukan untuk melindungi HAM paling mendasar, yaitu hak untuk hidup. Beberapa pasal dalam Universal Declaration of Human Rights telah jelas memberikan landasan hukum bahwa semua orang dilahirkan merdeka, mempunyai martabat dan hak yang sama, memiliki hak atas penghidupan dan keselamatan, serta pasal-pasal lain yang secara garis besar menggambarkan bentuk perlindungan terhadap esensi HAM.
Itu juga terlihat dalam Pasal 15 Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Namun, runtutan kalimat dalam deklarasi ini tentu tidak akan hidup jika tidak dilaksanakan. Ibarat manusia akan mati jika hidup tanpa nafas, begitu pula isi pasal dalam deklarasi tersebut akan sia-sia jika sebatas diwujudkan dalam peraturan belaka.
Semua perempuan berhak atas martabat dan kehormatan. Semua tua dan muda berhak akan mimpi dan masa depan. Semua orang berhak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. ~ Miranda Prema Causa Share on XSelain itu, kerjasama regional antarnegara ASEAN (Asosiasi Negara Asia Tenggara) tentu dibutuhkan dalam menangani kasus pengungsi Rohingya. Sebab, permasalahan mengenai pengungsi akan selalu berkaitan erat antara negara asal dengan negara lain dalam satu regional wilayah. Kebanyakan para pengungsi akan singgah ke negara-negara yang merupakan tetangga dari negara asalnya. Oleh karena itu, pendekatan antarnegara perlu disinergikan untuk mencari solusi atas permasalahan ini.
Selain ASEAN, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) juga memegang peranan penting dalam membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Sebabnya, UNHCR memang merupakan organisasi internasional yang diberikan mandat untuk menangani permasalahan pengungsi.
An Open Prison Without End
Ribuan orang pengungsi Rohingnya sedang berjuang untuk mendapatkan hidup bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Perjuangan mereka layak mendapat perhatian serius, karena semua orang punya hak untuk hidup dengan nyaman dan aman. An open prison without end atau penjara terbuka tanpa akhir adalah kalimat yang relevan untuk menggambarkan situasi pengungsi Rohingya yang harus segera diakhiri.
Itu penting, karena semua anak berhak memiliki masa kecil yang bahagia. Semua perempuan berhak atas martabat dan kehormatan. Semua tua dan muda berhak akan mimpi dan masa depan. Semua orang berhak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif. Sejatinya, semua manusia harus diperlakukan sebagai manusia.
Miranda Prema Causa merupakan mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Sebagai mahasiswi hukum, Miranda mempunyai ketertarikan besar di bidang hak asasi manusia, perlindungan kelompok rentan, perburuhan, dan hukum kesehatan. Di waktu senggang, Miranda sering menghabiskan waktu untuk hal-hal yang ia senangi, seperti mendesain, melukis, dan menulis.
Artikel Terkait
Nakba: Hak untuk Kembali dan Menentukan Nasib Sendiri Punya Siapa?
Tulisan ini merupakan artikel terakhir dari dua artikel di mana penulis merefleksikan tentang Nakba, petaka penjajahan tanah Palestina oleh Israel yang diperingati setiap tanggal 15 Mei. Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan tentang hak untuk kembali dan hak untuk menentukan nasib sendiri; hak-hak yang seharusnya dimiliki semua orang, namun terpenuhi secara timpang dalam kasus Palestina dan Israel.Nakba: Petaka yang Tak Berkesudahan bagi Bangsa Palestina
Tulisan ini merupakan artikel pertama dari dua artikel di mana penulis merefleksikan tentang Nakba, atau petaka penjajahan tanah Palestina oleh Israel yang diperingati setiap tanggal 15 Mei. Dalam artikel ini, penulis bersama narasumber dari Palestina berefleksi tentang kehidupan di tanah terjajah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang memfasilitasinya.Tidak Ada Pengungsi yang Ilegal
Label ilegal yang disematkan oleh media adalah salah satu bentuk kekerasan yang harus dihadapi oleh pengungsi. Di artikel ini, penulis merefleksikan peran media dalam membangun pandangan masyarakat terhadap pengungsi dan dampak dari pandangan-pandangan tersebut.