Untuk sebagian besar warga kota New York, pertanyaan yang mungkin sering mengawali banyak cerita adalah: “Where were you on 9/11?”. Di mana kamu ketika Tragedi 11 September 2001 terjadi? Tapi, buat saya, dan mungkin sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia, pertanyaan serupa adalah: “Di mana kamu saat Mei ‘98?”
Saya dan beberapa teman sekolah sedang nongkrong di sebuah mal, meneguk minuman lemon dari gelas kertas dan berbagi sepotong pretzel dari toko Auntie Anne’s. Handphone Nokia saya berdering. Suara ibu bergetar di ujung telepon, meminta kami bergegas pulang. Beberapa mahasiswa tertembak saat berdemonstrasi di depan kampus yang hanya berjarak 10 menit dari mal tempat kami berada.
Baru dua hari kemudian, saya menyadari betapa mengerikannya situasi waktu itu: sekolah-sekolah diliburkan dan kerusuhan pecah di beberapa titik di seluruh negeri. Saya masih ingat dengan jelas, bersembunyi di kamar tidur bersama ibu dan adik saya sementara bapak membalikkan meja makan bundar kami untuk menutupi pintu rumah, berusaha membuat blokade kecil untuk menghalangi massa yang mengamuk. Hari itu tanggal 14 Mei 1998, seminggu sebelum jatuhnya rezim Orde Baru dan Presiden Soeharto dipaksa turun dari tahtanya. Saya baru berusia 13 tahun. Tapi, hari itu saya belajar dua hal: menjadi gadis Tionghoa dan rasa takut.
Kisah saya mungkin bukan kisah pertama yang kamu dengar tentang Mei ‘98. Ada ribuan kisah seputar tragedi ini, sebagian terlalu pilu untuk diceritakan ulang. Saya mungkin termasuk salah satu yang cukup beruntung karena tidak mengalami trauma fisik apapun. Tentu saja saya tidak merasa beruntung karena memori itu lekat dan terus kembali tiap kali dipicu sebuah pertanyaan atau pembicaraan seputar Mei ’98.
Lima tahun setelah 1998, saya masuk universitas negeri setelah menghabiskan seluruh masa kecil saya di sekolah Katolik. Ibu meminta saya untuk berhati-hati menjaga diri. Pasalnya, di awal 1980-an ketika dia masuk ke universitas yang sama, hanya sedikit orang Tionghoa yang kuliah di sana. Ibu bercerita bahwa setiap kali ditanya asalnya, dia selalu bingung mencari jawaban. Untungnya, nama keluarga yang dipilih kakek ketika harus melepas marganya di akte lahir cukup mudah diterima. Nama keluarga ibu yang tadinya Tan pun berganti menjadi Zakaria, mengikuti Keputusan Presiden 240/1967 yang “menyarankan” warga Tionghoa mengganti namanya menjadi nama Indonesia. Selama masa kuliah, Ibu pun selalu menjawab bahwa dia berasal dari Palembang. Dan sekali lagi, saya diingatkan arti menjadi Tionghoa.
Tentu saja, waktu dan jarak tak bisa menghapus ingatan. Lebih dari 18 tahun setelah Mei ‘98, saya terdampar puluhan ribu kilometer jauhnya di kota San Francisco untuk melanjutkan studi. Di sana saya bertemu seorang perempuan muda penuh antusiasme yang juga mengambil jurusan yang sama. Minatnya yang menggebu untuk keadilan sosial, khususnya hak-hak pekerja imigran, membuat saya berdecak kagum. Pada pertemuan pertama kami, dia bercerita kalau dia berasal dari Los Angeles. Dengan bahasa Inggris yang fasih dan aksen ‘So-Cal’ yang kental, saya cukup yakin dia lahir dan tumbuh di Negeri Paman Sam. Baru di pertemuan kedua kami, dia banyak bertanya tentang saya. Mendengar negara asal saya, dia tertegun sejenak seperti mencerna sesuatu. Dengan nada tertahan, dia bercerita bahwa dia lahir dan besar di Pontianak sampai umur 10 tahun sebelum akhirnya mengungsi pada tahun 1998. Tak ada cerita lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dan sejujurnya, saya pun tak berniat bertanya.
Mengingat dan menolak lupa dilihat sebagai suatu pilihan yang absolut dan logis sebagai jalan mencari penyembuhan lewat keadilan, tanpa terlalu memerdulikan luka yang muncul dari proses mengingat kembali. ~ Marissa Saraswati Share on XPerempuan muda itu bukanlah satu-satunya pengingat tentang tragedi Mei ‘98 selama tinggal di kota San Francisco. Saat menemani seorang kawan yang hendak membeli oleh-oleh di deretan toko souvenir di Fisherman’s Wharf, saya terlibat percakapan panjang dengan bapak tua yang menjaga salah satu toko. Dia dan istrinya serta keluarganya dari Medan juga terpaksa mengungsi ke Amerika Serikat pada tahun 1998. Sejak itu, bapak itu tak pernah kembali. Meski raut wajahnya tenang, saya melihat rindu terselip di matanya saat ia bertanya pada saya tentang kondisi Jakarta sekarang.
Selalu ada yang menarik tentang mengingat dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Sejarah dunia memperlihatkan kalau mengingat punya pengaruh besar dalam mencari keadilan atas tindakan diskriminasi dan memastikan tragedi tak kembali terulang. Mengingat merupakan salah satu teknik rekonsiliasi isu apartheid di Afrika Selatan dan pembunuhan massal di Rwanda. Sayangnya, mengingat dan menolak lupa dilihat sebagai suatu pilihan yang absolut dan logis sebagai jalan mencari penyembuhan lewat keadilan, tanpa terlalu memerdulikan luka yang muncul dari proses mengingat kembali.
Seperti teman saya dan sang bapak penjaga toko, saya sendiri lebih memilih untuk tidak banyak bicara dan menyimpan ingatan saya. Saya tidak merasa perlu membahasnya berulang-ulang. Menceritakannya lewat artikel ini pun terasa sedikit berat, karena saya harus mengingat sesuatu yang tidak ingin saya ingat. Terkadang saya bertanya, adakah cara untuk ‘sembuh’ tanpa perlu mereka ulang trauma?
Memang, representasi masyarakat Tionghoa di Indonesia kini memang makin terlihat dan beragam. Sebuah unggahan berjudul “Besok Tjahaja Pulang”, tentang selesainya masa hukuman Ahok, menjadi viral di akhir Januari 2019 mungkin bisa dilihat sebagai respons positif masyarakat terhadap anggota kelompok minoritas seperti Ahok. Tapi, viralnya momen ini justru menggelitik ingatan saya. Apakah lalu ketika representasi Tionghoa banyak muncul di berbagai bidang dan budaya popular, semuanya menjadi lebih baik? Di saat bersamaan, berbagai perusahaan berlomba-lomba menggunakan Imlek sebagai momentum untuk merayakan inklusivitas. Sayangnya, usaha ini lebih sering menjadi perampasan budaya (cultural appropriation) dan berbalik menciptakan representasi yang justru semakin mendiskriminasikan orang Tionghoa. Dengan Pemilu 2019 di depan mata, saya resah akan luka yang mungkin kembali terbuka.
Namun, saya menemukan harapan pada beberapa pemikir feminis, kutipan panjang Sara Ahmed ini adalah salah satunya:
“…luka adalah tanda bahwa kita cedera: luka yang baik akan sembuh dan perlahan menutup, tapi bekas luka akan tetap ada dan menjadi tanda cedera, mengingatkan kalau luka tersebutlah yang membentuk tubuh kita. […] Bekas luka yang baik mengingatkan kita bahwa menyembuhkan diri dari ketidakadilan, bukanlah mengenai menutupi luka, luka yang tertutup hanyalah efek dari ketidakadilan tersebut; sebuah tanda bahwa ketidakadilan terjadi di antara tubuh kita dan tubuh orang lain. Jadi, ‘emosi yang adil’ adalah perasaan yang dapat bekerja dengan dan pada luka tersebut dan bukannya menutupi luka tersebut sebagai jejak cedera masa lalu. […] Keadilan bukanlah sekadar perasaan. Dan perasaan tidak selalu adil. Tapi, keadilan pasti melibatkan perasaan, yang menggerakan kita di dunia, menciptakan riak dalam hidup kita. Ke mana kita akan pergi dengan perasaan ini merupakan sebuah pertanyaan yang belum terjawab.”