Koperasi Platform: Upaya Menantang Dominasi Kapitalisme Digital
February 28, 2024Saya Yehuwa, Saya Didiskriminasi
March 3, 2024Photo by Gracia Dharma on Unsplash
OPINI
Anime sebagai Media Transmisi Tradisi Lisan Masyarakat Jepang
oleh Muh. Nur Rahmat Yasim
“Sebagian besar anime mengemas ulang folklor untuk menginventarisasi budaya tutur masyarakat Jepang dan menargetkan audiens modern dengan isi cerita mengenai makhluk mitologi atau yokai, yaitu monster atau roh yang berkaitan dengan kepercayaan shinto. Cerita-cerita yang dikisahkan ulang itu biasanya bergenre misteri, sains, fantasi, aksi, dan petualangan,” kata Deborah Shamoon, ahli kajian Jepang dari National University of Singapore.
Beberapa tahun belakangan ini, lokus ilmu sosial humaniora terkait produk budaya populer semakin meluas. Namun, masih sulit rasanya menemukan kajian-kajian sosial umum yang mengambil fokus anime (animasi Jepang) dan manga (komik berbahasa Jepang) secara naratif.
Dalam waktu bersamaan, muncul beberapa argumen terkait folklor (cerita rakyat berbentuk tradisi lisan) yang dianimasikan ulang dengan tujuan untuk menjangkau penikmatnya di era modern ini. Hal itu menjadi momentum yang membuat kajian tentang anime sebagai produk budaya populer Jepang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.
Menarasikan ulang anime dan manga asal Jepang dengan mengambil plot cerita dari folklor memang sedang banyak dilakukan. Namun, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana membicarakan folklor melalui media populer? Apakah penonton yang menikmati anime berlatar folklor dapat memaknai dengan mudah cerita yang disampaikan? Serta, apa hubungan yang lebih dalam antara folklor dan anime di era modern seperti saat ini?
Folklor dan Perannya secara Sosial
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai bagaimana anime merepresentasikan folklor Jepang, ada baiknya kita memahami bagaimana folklor bekerja sebagai bagian yang sangat penting dalam penelitian sosial.
Pentingnya folklor sebagai alat mendidik, transmisi (perantara) tradisi lisan, nilai, dan sejarah dari satu generasi ke generasi lainnya telah lama diakui oleh para pemikir sosial, terutama antropolog. Namun, pada saat itu, penelitian antropologi dan ilmu sosial lainnya lebih banyak berfokus menganalisis cerita di dalam folklor itu sendiri, daripada melihat peran folklor di masyarakat. Masih sedikit yang menggunakan folklor sebagai sumber data historis untuk melihat pola kepribadian, mengidentifikasi nilai-nilai dasar, dan menjelaskan ciri-ciri budaya dari masyarakat tertentu. Dalam pengajaran ilmu sosial, secara tradisional, folklor biasanya tercakup di bawah mata pelajaran seni dan sastra yang hanya diberikan perlakuan minimal.
Kini, folklor menjadi salah satu bagian paling penting dalam kajian antropologi, karena memiliki fungsi dalam membentuk suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Tidak ada budaya yang tidak termasuk di dalam folklor. Begitu pula, tidak ada sekelompok orang, seberapapun jauh atau sederhananya teknologi mereka, yang tidak menikmati atau mengenal beberapa bentuk folklor.
Sebagai tradisi lisan, folklor bisa dibilang menjadi jembatan antara masyarakat yang melek huruf dengan yang tidak. Selain itu, folklor juga berfungsi untuk memberikan sanksi dan memvalidasi aspek agama, sosial, politik dan ekonomi, serta memainkan peran penting sebagai perangkat edukatif. Hal itu, sebagaimana yang disadari oleh para ahli folklor, ditunjukkan melalui peran yang dimainkan folklor melalui cerita dan kiasan dalam membentuk pemahaman manusia tentang kehidupan di sekitar mereka.
Selain itu, folklor juga didramatisasi melalui penggambaran karakter dengan nada, ekspresi, dan media yang berbeda untuk menghidupkan cerita bagi yang ingin menyaksikan atau mendengarkannya. Pada era modern ini, folklor disajikan sebagai sebuah drama atau pertunjukan dengan menggunakan aktor manusia dan boneka. Hal itu merupakan upaya untuk melestarikan dan memudahkan folklor untuk diteliti. Berkat hal itu, para peneliti jadi dimudahkan karena tidak perlu lagi mengumpulkan folklor melalui pencatatan-pencatatan yang rumit, melainkan bisa melakukannya melalui cerita folklor yang sudah terkandung di dalam anime dan manga.
Di samping itu, bisa dikatakan pula bahwa industri anime dan manga menganimasikan kembali folklor Jepang sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan kebudayaan Jepang melalui media populer. Hal itu dilakukan supaya folklor dapat dijangkau oleh berbagai kelompok umur dan menimbulkan kesan artistik tersendiri, sesuai dengan selera penulis cerita serta karakteristik penikmat anime bertemakan folklor yang beraneka ragam.
Folklor Jepang dan Romantisasi dalam Anime
Anime dan folklor merupakan dua komponen penting yang tak terpisahkan dalam industri animasi Jepang. Sebagian besar anime saat ini merepresentasikan sisi artistik makhluk mitos (yokai) yang berasal dari periode Heian dan Edo di Jepang. Beberapa visual yang menandai seringnya folklor Jepang ditampilkan dalam anime adalah munculnya beberapa simbol, seperti warna bulu, jumlah ekor, kekuatan supranatural, ritual, dan pakaian yang digunakan. Yokai sendiri, dalam kepercayaan shinto, menekankan hubungan nostalgia Jepang di masa lalu. Makanya, beberapa simbol tersebut dibuat dengan desain karakter sedemikian rupa untuk membangun dunia fiksi anime yang melambangkan kepasifan nostalgia kebudayaan Jepang, yaitu visual yang tidak terlalu menggambarkan kebudayaan Jepang pra-modern secara keseluruhan.
Meskipun saat ini sudah sangat jarang menemui langsung tradisi lisan di Jepang, tema dan motif dalam folklor telah diturunkan secara kreatif lewat berbagai media, khususnya anime dan manga modern. ~ Muh. Nur Rahmat Yasim Share on XIlmuwan William Bascom mengatakan bahwa folklor adalah bagian dari budaya. Folklor mencerminkan sejarah, gaya hidup, etika, dan kepercayaan dalam masyarakat tempat kisah itu diceritakan. Meskipun saat ini sudah sangat jarang menemui langsung tradisi lisan di Jepang, tema dan motif dalam folklor telah diturunkan secara kreatif lewat berbagai media, khususnya anime dan manga modern. Bahkan, beberapa representasi folklor yang diadopsi dalam karya anime dan manga lebih menjanjikan dalam penyampaian pesan moral. Efektivitas penyampaian pesan itu tidak hilang, walaupun beberapa folklor telah dimodifikasi sedemikian rupa demi keunikan sebuah cerita dalam film maupun series.
Berbagai kajian tentang folklor dalam anime telah dibuat oleh beberapa ilmuwan. Melek Ortabasi misalnya, mengkaji anime Heisei Tanuki Gassen Ponpoko karya Takahata Isao yang menceritakan folklor Jepang tentang rubah dan rakun. Dengan menggunakan folklor, anime tersebut menjadi kendaraan untuk membahas isu-isu kontemporer, seperti masalah kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan penggambaran identitas Jepang yang homogen di era modern.
Berbeda dengan cerita tentang hewan pada umumnya, film yang dikaji oleh Ortabasi tersebut menggunakan karakter hewan untuk memisahkan jenis spesies yang biasanya ingin dipertahankan dalam sebuah cerita rakyat. Penafsiran mengenai adanya karakter hewan dalam anime tersebut tersublimasi sebagai simbol cerita rakyat yang menggambarkan cara-cara tradisional kehidupan Jepang—yang secara harfiah telah terkubur seiring dengan modernisasi dan industrialisasi.
Selain itu, anime tersebut juga menggambarkan ruang lingkup multispesies yang penggambarannya masih kurang jelas. Alih-alih menggambarkan kehidupan Jepang kontemporer yang multi-ras, anime tersebut malah mengekspresikan runtuhnya identitas budaya Jepang yang dianggap homogen. Bukan hanya untuk menarasikan ulang folklor, anime tersebut juga berusaha untuk menunjukkan adanya aksi kampanye kehidupan masyarakat Jepang era tradisional dan memunculkan beberapa isu kontemporer mengenai runtuhnya identitas masyarakat Jepang di era modern.
Selain itu, ilmuwan Asha Bardon juga mengkaji anime karya Makoto Shinkai untuk mengeksplorasi kepercayaan shinto yang memiliki daya tarik tersendiri bagi penonton non-Jepang. Ia membagi pembahasannya menjadi beberapa bagian penting.
Pertama, ia membahas sedikit mengenai hubungan antara manusia dengan dewa (kami) yang ada di dalam anime dan manga. Ia menampilkan kisah itu dengan berbagai kiasan dan kejadian yang secara visual sangat memanjakan mata. Ia juga berusaha melihat bagaimana narasi yang disampaikan dalam anime berhasil memengaruhi penonton dan memunculkan pandangan bahwa peran antagonis selalu berakar dari kepercayaan shinto.
Kedua, ia mempertanyakan bagaimana anime sedikit menghilangkan unsur-unsur asli dari nilai-nilai kepercayaan shinto. Salah satu bagian itu adalah terkait dengan konsep musubi, yaitu dewa yang diyakini dalam mitos Jepang. Musubi pada awalnya adalah kekuatan spiritual dari tiga dewa yang bertanggung jawab atas penciptaan alam semesta sekaligus yang memperbaiki segala kerusakan yang ada. Musubi digambarkan mengalir melalui segala sesuatu dan menjadi sumber dari segala hal yang ada.
Lebih lanjut lagi, setiap film yang dibuat oleh Makoto Shinkai, seperti Kimi no Nawa dan Suzume no Tojimari, juga memiliki keterhubungan. Dalam film itu, masih soal musubi, dapat dikatakan bahwa musubi menjadi jantung dari pandangan dunia shinto dan Jepang. Musubi yang ditampilkan dalam kedua anime tersebut digambarkan sebagai poros antara nilai kepercayaan shinto yang divisualisasikan melalui plot cerita dan bagaimana nilai tersebut disampaikan kepada penonton dengan bumbu-bumbu yang emosional.
Anime bisa dikatakan telah berhasil mengemas ulang folklor untuk memperkaya dan memperkenalkan budaya tutur Jepang. Melalui representasi artistik makhluk mitos dan fenomena kepercayaan shinto, anime dinilai mampu menjadi cerminan identitas budaya Jepang di era modern. Dengan mengadaptasi folklor Jepang, anime tidak hanya selalu membahas isu-isu kontemporer, tetapi juga menyampaikan pesan moral serta nilai-nilai kepercayaan shinto di masa lalu kepada penontonnya. Makanya, peneliti ilmu sosial humaniora perlu lebih banyak mempelajari folklor yang dimodifikasi dalam anime untuk menangkap hubungan antara anime, folklor, dan budaya Jepang secara utuh.
Muh. Nur Rahmat Yasim adalah mahasiswa S2 di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia. Sejak jenjang S1, ia tertarik dengan kajian-kajian penelitian budaya populer seperti anime. Sejak 2021, Rahmat bergabung menjadi peneliti di Yayasan Antropos Indonesia yang bergerak di bidang literasi dan pemajuan kebudayaan. Saat ini, dengan bimbingan Geger Riyanto, Rahmat fokus untuk mengembangkan perencanaan penelitiannya pada kajian folklor.
Artikel Terkait
Rumbling sebagai Bentuk Kebebasan?
Benarkah genosida (rumbling) merupakan bentuk kebebasan yang hakiki? Tokoh Eren dalam "Attack on Titan" membuktikan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk perbudakan dari hasrat kebebasan yang memenjarakan.Murakami-esque dan Hikikomori: Refleksi Krisis Eksistensial Masyarakat Jepang Pada Sastra Kontemporernya
Karya Haruki Murakami kerap kali memberikan nuansa depresif sehingga dapat membius setiap pembaca ke kekosongan yang dihadapi oleh para tokoh. Kita akan tenggelam dalam suramnya kesepian, diajak merasakan pergumulan diri, kehilangan, kehampaan, kesedihan, kesendirian, hingga kematian. Ciri khas yang sangat kental dari setiap karya Haruki Murakami tersebut memunculkan istilah “Murakami-esque”. Sebagaimana pengertiannya, karya sastra adalah sebuah karya yang mencerminkan realitas kehidupan sosial. Fenomena loneliness bukanlah fenomena baru, tetapi sejak dahulu masyarakat Jepang memang terkenal suka menyendiri, dibuktikan melalui "fenomena Hikikomori".Mengulik Fenomena Fandom di Era Teknologi Komunikasi
Fenomena fandom bukan hal baru. Tetapi, baru-baru ini eksistensinya dalam dunia digital semakin naik. Bukan lagi hanya hiburan, kini fandom juga bergerak di ruang-ruang hidup lain. Dalam tulisannya, Fariza Nur Shabrina dari Fan & Psychology membahas motivasi dibalik terbentuknya fandom dan keterkaitannya dengan pembentukan identitas seseorang.