Saya Yehuwa, Saya Didiskriminasi
March 3, 2024Kecairan Ideologi Politik pada Masa Kolonial
March 11, 2024Photo by Barito Pos
OPINI
Partai Buruh, What’s Next?
oleh Fikri Haikal Panggabean
Pergelaran Pemilihan Umum (pemilu) masih belum sepenuhnya selesai dilaksanakan. Masyarakat Indonesia masih menunggu hasil perhitungan suara yang masih berlangsung. Beberapa wilayah bahkan masih melakukan pemungutan suara ulang.
Namun, hasil perhitungan cepat atau quick count menunjukkan terdapat beberapa partai yang tidak memenuhi parliamentary threshold atau ambang batas minimum parlemen. Artinya, mereka tidak dapat mengirimkan perwakilannya ke Senayan. Salah satu partai tersebut adalah Partai Buruh.
Meskipun demikian, sebagai partai yang relatif baru dalam kontestasi politik Indonesia, Partai Buruh harus berbangga diri dan tetap terus memperjuangkan aspirasi politiknya. Masyarakat umum—termasuk saya sendiri—melihat terdapat beberapa poin yang dapat dibanggakan atas pencapaian Partai Buruh pada pemilu tahun ini.
Partai ‘Baru,’ Harapan Baru?
Kehadiran Partai Buruh sebenarnya menawarkan angin segar bagi perpolitikan Indonesia. Bagi beberapa pihak, Partai Buruh mungkin dinilai masih jauh dari kata ideal, terlebih jika kita mengkaji spektrum ideologi politik Partai Buruh yang mungkin bagi sebagian mereka dinilai belum cukup ‘progresif.’ Beberapa juga merasa pesimis dengan tren partai ‘baru’ yang awalnya menjual nilai progresif dan idealisme, tetapi ujung-ujungnya berpindah haluan dengan melakukan kompromi politik dan akhirnya berkoalisi dengan partai elitis lainnya.
Mungkin, beberapa justru mendukung Partai Buruh disertai dengan catatan terkait sistematika pengambilan keputusan di dalam partai masih perlu dikritik lebih lanjut. Hal itu selayaknya mereka yang memilih percaya dan optimis dengan sistem pemilihan di Indonesia, tetapi masih menyisakan ruang untuk kritik.
Meski demikian, jika dibandingkan, baik dengan partai yang sudah lama mewarnai kancah perpolitikan Indonesia maupun dengan partai baru lainnya, Partai Buruh menawarkan prinsip—atau mungkin nilai dan ideologi—yang lebih jelas posisi dan arahnya. Bisa jadi, ini adalah salah satu resep yang diperlukan untuk mengubah perpolitikan Indonesia menjadi lebih baik, melampaui politik elitis yang biasanya membenturkan konstituen dengan gimmick politik identitas.
Penawaran ideologi yang jauh lebih jelas daripada partai politik lainnya juga datang dengan paket lain. Dalam paket tersebut, terdapat target konstituen yang jelas dengan cakupan luas, yaitu kelas pekerja dan agenda kebijakan yang berpihak pada mereka. Hal ini menjadi daya jual Partai Buruh, karena membawa agenda kelas pekerja yang merupakan kelompok dengan massa yang besar.
Calon legislatif (caleg) Partai Buruh juga berasal dari ‘masyarakat kecil’ kelas pekerja yang memiliki keberpihakan yang jelas atas keresahan-keresahan masyarakat. Pencapaian suara Partai Buruh yang sejauh ini berada di angka sekitar 0,60-0,70%, atau sekitar 1,4 juta pemilih, tentu merupakan pondasi yang baik jika melihat para calegnya hanya menggunakan modal kampanye yang sedikit. Hal yang mungkin dapat kita tuntut dari Partai Buruh adalah bagaimana mempertahankan pemilih mereka dan menjadikan para pemilih ini agen agitator (pelaksana) agenda-agenda progresif mereka.
Strategi itu dapat dilakukan dengan memetakan kantong-kantong wilayah pemilih Partai Buruh yang berdasarkan penghitungan sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) berada di wilayah Jawa Barat. Tentu saja, asumsi awal dalam melihat pemetaan ini adalah keberadaan buruh dengan serikat pekerja yang kuat di wilayah itu. Maka, jejaring dan konsolidasi inilah yang perlu dimanfaatkan lebih lanjut oleh Partai Buruh, karena dapat memangkas biaya politik untuk mempromosikan diri mereka kepada konstituen.
Langkah Ke Depan
Partai buruh dapat melakukan konsolidasi dengan masyarakat secara lebih luas dengan menggaet lebih banyak kelas pekerja. Jika mengambil jalan ini, Partai Buruh tentu akan terus-menerus mengambil peran sebagai oposisi selama panggung politik belum mewakili agenda kelas pekerja secara bermakna. Advokasi agenda pun semestinya tidak terbatas di dalam parlemen, melainkan disebarluaskan juga di luar parlemen.
Kendati demikian, caleg Partai Buruh yang sudah jauh-jauh hari berupaya menjelaskan pentingnya konsolidasi kekuatan kelas pekerja dan mengklaim mewakili perspektif buruh dan rakyat kecil dalam proses pembuatan kebijakan, ternyata masih kalah dengan mereka yang tidak turun menemui konstituen dan mendengarkan aspirasi kelas pekerja.
Hal itu mungkin dikarenakan dampak depolitisasi masyarakat Indonesia oleh Orde Baru yang masih tersisa hingga saat ini. Melalui depolitisasi, identitas masyarakat disempitkan menjadi hanya sebatas identitas agama dan ras yang sangat gampang dibenturkan, alih-alih identitas kelas sebagai kelas pekerja yang seringkali tereksploitasi. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh politik tradisional di Indonesia, yang meminggirkan pentingnya perdebatan nyata tentang berbagai hambatan dalam upaya menyejahterakan rakyat Indonesia.
Maka dari itu, untuk mengisi celah ini, diperlukan proses yang panjang dalam mengedukasi masyarakat luas. Pendidikan mengenai kesadaran kelas masih jauh dari pemikiran masyarakat Indonesia yang masih betah dengan pengkultusan tokoh yang sebenarnya tidak benar-benar mewakili agenda mereka. Banyak yang berpandangan bahwa politik bukanlah alat yang menentukan kehidupan sehari-hari. Guna memperbaiki “kerusakan” dalam sistem dan menumbuhkan kesadaran kelas masyarakat pekerja, diperlukan solidaritas antar-kelompok yang mungkin menjadi salah satu pekerjaan rumah terberat. Hal itu mengingat antar-sesama kelas pekerja sendiri pun masih jarang memiliki rasa persatuan dan keterlibatan.
Buruh akademis, buruh kerah biru dan putih yang bekerja di gedung pencakar langit, buruh yang terdaftar sebagai pegawai negara, dan buruh tani harus memiliki rasa kesatuan. Keterlibatan Partai Buruh sebagai wadah politik warga miskin dan kelas pekerja untuk terjun ke politik praktis juga menunjukkan proses pendewasaan demokrasi Indonesia. Politik Indonesia, pada akhirnya, meskipun masih jauh dari kata ideal, berhasil menawarkan opsi lain yang mungkin sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Politik Indonesia paska-reformasi setidaknya sudah memiliki arah awal pergerakan, yaitu ditandai dengan dunia politik yang menawarkan berbagai pilihan berdasarkan ideologi dan keberpihakan kepada masyarakat luas. Hal ini juga membuktikan bahwa pergerakan politik alternatif punya peluang untuk berkontestasi dengan partai politik elitis lainnya. Politik alternatif merupakan salah satu resep perubahan yang dibutuhkan oleh perpolitikan Indonesia, selain pergerakan dan konsolidasi masyarakat secara luas.
Partai Buruh juga diharapkan akan terbuka terhadap masukan dan pergerakan yang semakin progresif ke depannya. Isu mendesak semacam memastikan keselamatan buruh, terutama buruh-buruh yang bekerja di lapangan kerja berisiko tinggi, seperti smelter nikel yang sudah memakan korban banyak pekerja, perlu semakin disuarakan. Selain itu, agenda kesejahteraan buruh perempuan, termasuk keterwakilan perempuan di dalam partai politik, keselamatan dan keamanan kerja buruh perempuan, dan pengesahan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (UU PRT) juga harus menjadi agenda utama.
Pergerakan nilai yang semakin progresif juga diharapkan bisa menjadi preseden atas konsistensi Partai Buruh dalam membawa nilai perubahan di perpolitikan Indonesia. Tugas yang menumpuk ini tentu tidak hanya berhenti sampai di Partai Buruh. Pergerakan maupun organisasi berbasis serikat buruh, jaringan miskin kota, dan wadah pemikiran atau think tank berbasis kelas pekerja juga harus ikut mengambil peran ini—yang sebenarnya juga sudah dilakukan oleh Partai Buruh.
Politik Indonesia paska-reformasi sudah memiliki arah awal pergerakan, yaitu ditandai dengan dunia politik yang menawarkan berbagai pilihan berdasarkan ideologi dan keberpihakan kepada masyarakat luas. ~ Fikri Haikal Panggabean Share on XKehadiran Partai Buruh juga bukan tidak mungkin dapat menjadi katalis bagi pergerakan-pergerakan politik alternatif lainnya yang jenisnya semakin beragam dan memihak agenda akar rumput, termasuk juga membuat semakin meningkatnya popularitas partai-partai alternatif tersebut. Perluasan konsolidasi ini juga menjadi modal kaderisasi yang baik bagi Partai Buruh untuk memperluas cakupan anggotanya. Kaderisasi melalui gerakan akar rumput serta proses perekrutan dan edukasi yang jelas dan sistematis juga bisa menjadi metode yang bisa digunakan oleh Partai Buruh ke depannya.
Keterbukaan Partai Buruh selama ini dalam mengkonsolidasi kekuatan merupakan strategi yang perlu dipertahankan dan diperluas agar agenda utama untuk menjamin hak masyarakat adat, kesejahteraan dan keselamatan buruh serta rakyat miskin bisa menjadi agenda utama pembangunan Indonesia yang lebih adil.
Harapannya, perjuangan Partai Buruh dan gerakan politik berbasis buruh lainnya tidak hanya berhenti sampai di sini. Ini mesti menjadi langkah awal pergerakan positif bagi seluruh kelas pekerja di Indonesia.
Fikri Haikal Panggabean akrab dipanggil Gabé. Gabé merupakan seorang pekerja swasta dengan latar belakang Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia. Gabé memiliki ketertarikan pada isu sosial-politik, kajian kebijakan publik, pendidikan dan pop culture. Gabé memiliki project sampingan mengulas dan menerjemahkan literatur di instagram @belajarprogresif. Gabé dapat dihubungi melalui akun media sosialnya di Instagram @fikrihaikalik.
Artikel Terkait
Partai Buruh: Harapan Politik Kelas Pekerja?
Setelah lama absen dari percaturan politik elektoral, Partai Buruh kini lahir kembali membawa agenda yang progresif, membela kepentingan kelas buruh dan pekerja rentan lainnya.Menggagas Serikat Pekerja Kampus
Menjadi anggota serikat pekerja diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar pekerja kampus dalam menegosiasikan perbaikan kondisi kerjanya. Pekerja akademik di Indonesia penting memperjuangkan hal itu mengingat kondisi pekerjaan mereka yang masih buruk.Menilik Bayangan dan Jejak Buruh
Perjalanan buruh di Indonesia mengalami perkembangan dan tantangan yang kian kompleks. Masih banyak permasalahan buruh yang perlu kita selesaikan. Kita perlu terus proaktif dan bekerjasama membela hak buruh di Indonesia.