Kategorisasi partai atau organisasi politik berdasarkan ideologi masih menjadi sebuah standar untuk memahami sejarah politik Indonesia pada masa kolonial.
Pemahaman itu menjelaskan bahwa Budi Utomo dan Indische Partij mewakili ideologi nasionalisme, Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah mewakili Islam, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mewakili Marxisme. Hubungan antara politik dengan ideologi dipahami secara kaku sehingga muncul suatu narasi mengenai polarisasi politik yang berdasarkan pada perbedaan kategori ideologi.
Pemahaman yang demikian nampak dalam berbagai penelitian sejarah (historiografi) yang berupaya menjelaskan pencarian identitas nasional Indonesia oleh gerakan politik dengan mengacu kepada ideologi-ideologi. Hal ini setidaknya dimulai dari kajian yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan, seperti J.Th. Petrus Blumberger melalui triloginya dan diikuti oleh A.K. Pringgodigdo, D.M.G. Koch, J.M. Pluvier, dan Robert van Niel. Serangkaian penelitian sejarah ini kemudian mempopulerkan istilah pergerakan nasional (nationale beweging) sebagai suatu periode di dalam sejarah politik Indonesia.
“Zaman Bergerak” dan Semua yang Serba Ideologi
Takashi Shiraishi melalui buku An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912–1926 berangkat dari titik tolak yang sama layaknya historiografi di atas. Shiraishi berupaya menelaah gerakan politik yang tengah mencari identitas nasional Indonesia dengan berfokus pada medan pergerakan di Surakarta selama dekade 1910an hingga paruh pertama dekade 1920an. Upaya ini kemudian juga dilakukan dengan menempatkan ideologi sebagai sesuatu yang penting di dalam politik.
Namun, terdapat perbedaan dari apa yang dilakukan Shiraishi dengan para sarjana terdahulu. Sebagai konsekuensi atas fokus kajian di Surakarta, Shiraishi tidak hanya menggunakan pendekatan makro dari kacamata kekuasaan kolonial, melainkan juga mengambil sudut pandang mikro melalui pengalaman dan pemikiran berbagai pemimpin pergerakan lokal. Kacamata makro didasarkan Shiraishi pada berbagai dokumen negara kolonial, sedangkan sudut pandang mikro berasal dari tulisan para pemimpin pergerakan yang dipublikasi terbitan berkala sezaman.
Shiraishi membingkai gerakan politik di Surakarta yang tengah berada pada “zaman bergerak.” Zaman bergerak ini dimaknainya sebagai periode ketika rakyat dan para pemimpin pergerakan terpesona dengan perubahan dunia yang terjadi melalui berbagai macam gejolaknya. Ideologi merupakan salah satu sarana penting di dalam zaman bergerak yang digunakan oleh pergerakan untuk melihat perubahan dunia. Shiraishi mengutarakan bahwa ideologi menjadi bentuk ekspresi terhadap dunia yang tengah bergerak dan dirasa oleh para pemimpin pergerakan dapat mereka ubah; ideologi merupakan sarana untuk mengubah keadaan.
Di dalam situasi serba ideologi yang sedang berkembang, Shiraishi melihat Marxisme sebagai sesuatu yang cukup mendasar dan penting. Prinsip revolusionisme yang ada di dalam Marxisme merupakan penggerak utama gerakan rakyat yang radikal. Shiraishi mengutarakan bahwa revolusionisme Marxis menyadarkan para pemimpin pergerakan untuk melakukan perubahan secara radikal, tidak ikut pada kehendak pemerintah kolonial yang menginginkan terjadinya perubahan secara evolusioner semata melalui mekanisme parlemen.
Shiraishi mencirikan ideologi sebagai sesuatu yang tak kaku dengan berangkat dari perkembangan prinsip revolusionisme Marxis di dalam pergerakan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari beberapa pemimpin gerakan Islam yang mencangkok prinsip revolusionisme untuk membentuk ide-ide advokasi pergerakan ke dalam berbagai upaya yang revolusioner.
Pada akhirnya, hal itu menampilkan keadaan di mana diskursus Islam bukan menjadi sesuatu yang berwajah tunggal. Terjadi perdebatan dan perbedaan (polarisasi) antara pemimpin Islam yang mengadvokasi gerakan secara revolusioner dengan yang tak menghendaki cara itu.
Islam dan Marxisme: Perlawanan terhadap Kapitalisme
Haji Misbach merupakan salah satu pemimpin gerakan Islam utama yang Shiraishi ketengahkan. Misbach adalah seorang Muslim taat yang secara aktif mendorong revolusionisme dan prinsip-prinsip lain yang ada di dalam Marxisme. Ia membangun sebuah konsepsi mengenai Marxisme sebagai ilmu yang berfungsi memajukan agama Islam. Konsepsinya mengenai Marxisme sebagai ilmu yang komplemen terhadap agama Islam ini kemudian digunakannya kembali untuk membentuk suatu gagasan mengenai perlawanan terhadap kapitalisme.
Misbach mengutarakan bahwa kapitalisme adalah musuh bagi Islam karena mencampakkan agama di dalam tata kehidupan yang mengedepankan keserakahan atas uang (kapital). Menurut Misbah, Marxisme yang mengajarkan perlawanan terhadap kapitalisme kemudian sejalan dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Perlawanan terhadap kapitalisme yang ada di dalam ilmu Marxisme dijadikan Misbach sebagai paradigma untuk menggerakkan Islam, yaitu membawa Islam ke dalam medan politik untuk melakukan perubahan secara revolusioner.
Berbagai pemimpin gerakan Islam lain juga membangun berbagai macam konsep menggunakan pendekatan yang serupa dengan Misbach. Shiraishi mengutarakan bahwa pemimpin SI, Tjokroaminoto, yang terkenal puritan (saleh) sekalipun menerapkan hal ini sampai batasan tertentu. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari Tjokro yang mengadvokasi penggunaan Marxisme sebagai pisau perlawanan terhadap kapitalisme. Semangat sama rasa sama rata yang ada di dalam Marxisme menjadi alat utama Tjokro untuk melawan kapitalisme.
Menurut Siraishi, Tjokroaminoto, yang terkenal puritan (saleh) sekalipun, ikut mengadvokasi penggunaan Marxisme sebagai pisau perlawanan terhadap kapitalisme. ~ Rahman C. Adiatma Share on XDemikian halnya dengan salah seorang guru madrasah bernama Ahmad Dasoeki. Ia juga membangun konsepsi mengenai Marxisme sebagai sarana untuk menuju tuhan Allah. Gerakan Moe’alimin yang bahkan tidak mengaku sebagai organ komunis pun mengungkapkan prinsip serupa di mana Marxisme dijadikan alat interpretasi atas Quran dan hadis.
Nasionalisme Rakyat Jawa
Salah satu yang Shiraishi ketengahkan mengenai emansipasi Nasionalisme Jawa adalah gerakan Djawa Dipa. Ia mengutarakan bahwa Djawa Dipa sebagai gerakan nasionalisme Jawa justru melawan tata nilai Jawa yang telah mapan. Djawa Dipa berupaya mendemokratisasikan budaya Jawa dengan mengadvokasi bahasa Jawa rendah (ngoko) sebagai standar berbahasa menggantikan bahasa Jawa tinggi (kromo). Djawa Dipa juga mengadvokasi penggantian gelar-gelar dalam budaya Jawa menjadi lebih egaliter (setara), seperti “wiro” untuk laki-laki, “woro” untuk perempuan yang telah menikah, dan “roro” untuk perempuan yang belum menikah. Nasionalisme Jawa yang diemban Djawa Dipa tidak mengadvokasi budaya Jawa yang adiluhung, melainkan menunjukkan prinsip demokrasi dan egalitarianisme sebagai advokasi nasionalisme Jawa yang mereka lakukan.
Pengalaman pemimpin Indische Partij, Tjipto Mangoenkoesoemo, merupakan contoh lain yang Shiraishi ketengahkan untuk menjelaskan perkembangan nasionalisme. Sebagai orang Jawa, Tjipto bukannya mengadvokasi nasionalisme Jawa, melainkan nasionalisme Hindia. Tjipto bukanlah priyayi yang mengeksploitasi prinsip-prinsip di dalam ajaran Jawa untuk mendukung advokasi emansipasi nasionalisme. Ia justru menggunakan berbagai prinsip di dalam ajaran Jawa untuk melawan tatanan Jawa itu sendiri.
Tjipto membangun konsep perlawanan terhadap tatanan Jawa feodal yang tak revolusioner dengan, misalnya, mengetengahkan cerita lakon wayang Abimanyu dan cerita perjuangan Diponegoro. Tjipto mereplikasi kedua tokoh ini sebagai kesatria yang mengalami rangkaian kesulitan karena memperjuangkan kehendaknya. Melalui hal itu, Tjipto ingin mengatakan bahwa rakyat Jawa harus menjadi kesatria seperti Diponegoro dan Abimanyu untuk kemerdekaan di masa yang akan datang. Demikian juga dengan konsep Tjipto mengenai anti-raja (anti-vorsten), ia mengeksploitasi cerita-cerita epos kerajaan Jawa di masa lalu untuk menyampaikan pesan bahwa para raja Jawa adalah satria yang palsu.
Catatan Akhir
Melalui bukunya, Takashi Shiraishi ingin menyampaikan bahwa terdapat batas-batas ideologi yang tak mutlak di antara gerakan politik yang ada. Ini adalah suatu antitesis dari historiografi sebelumnya yang menempatkan ideologi secara sangat kaku sehingga tak mungkin, misalnya, seorang pemimpin gerakan Islam mencangkok prinsip-prinsip dalam Marxisme dan begitu pun sebaliknya. Secara organisasional, gerakan politik memang terpolarisasi ke dalam klasifikasi serba organ. Tetapi, secara ideologis, gerakan politik di dalam serba organ yang terpolarisasi itu tak menunjukkan batas-batas ideologi yang kaku.
Situasi pemikiran yang terjadi di dalam pergerakan politik pada masa kolonial sangatlah cair. Para pemimpin pergerakan melakukan upaya kreatif untuk mensinkretisasi (membaurkan) prinsip-prinsip di dalam ideologi-ideologi yang ada. Komitmen terhadap ortodoksi atau kefanatikan terhadap satu ideologi saja tidak menjadi suatu ciri di dalam keadaan diskursus ini.
Seperti yang diutarakan Lin Hongxuan serta Herbert Feith dan Lance Castle, sampai batasan tertentu, ciri semacam ini terus bertahan hingga masa kemerdekaan pada dekade 1960an. Ketidakberlanjutan ideologi politik terjadi ketika militer naik mengambil alih rezim kekuasaan dan mengubah budaya politik kita. Diskursus pemikiran politik pun turut berubah pula, bahkan cenderung menghilang. Michael R.J. Vatikiotis menjelaskan bahwa situasi itu digantikan dengan pembangunanisme (developmentalism) sebagai ideologi utama di dalam rezim militer. Pada gilirannya, ideologi politik pun mati dan tak kunjung hidup hingga hari ini.
Rahman C. Adiatma adalah mahasiswa tingkat akhir pada program sarjana Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada. Rahman tengah melakukan penelitian mengenai diskursus pemikiran politik di Indonesia pada masa kolonial dengan berfokus pada bidang Marxisme yang ada di dalamnya.