Membaca Ulang Pascakolonialisme: Antara yang Konseptual dan yang Nyata
May 13, 2024Bedol Desa dan Kisah Pengorbanan Masyarakat Wonogiri
May 18, 2024OPINI
Maraknya Konten Self-Improvement bisa Mengaburkan Realitas Struktural?
oleh Moh. Ainu Rizqi
Sebagai seseorang yang doyan baca buku, berkunjung ke toko buku tentu menjadi ritual bulanan saya setelah menerima gaji. Setiap berkunjung ke toko buku, saya biasanya melihat rak dengan tulisan ‘best seller’ atau ‘buku terlaris’ di bagian paling depan. Buku-buku dalam kategori itu biasanya adalah buku motivasi dengan beragam topik, seperti self improvement (pengembangan diri), self love (mencintai diri sendiri), dan sejenisnya.
Sah-sah saja sebenarnya. Toh, jika pun buku-buku itu laris manis, saya juga turut bersyukur. Itu tandanya minat baca masyarakat masih ada. Selain di rak-rak utama toko buku, konten-konten bermuatan self-improvement rupanya juga bertebaran di media sosial.
Mengapa bisa sedemikian maraknya? Saya berpandangan bahwa dengan menjamurnya konten bermuatan self-improvement, berarti kadar kebahagiaan generasi muda hari ini kian menyusut. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Yang Muda, yang ‘Rentan’
Harus kita akui secara jujur bahwa generasi saat ini, terutama yang oleh otoritas dikategorikan sebagai gen Z, merupakan generasi yang ‘rentan’ di pelbagai sektor. Di sektor ekonomi, kalau bukan anak konglomerat atau punya koneksi orang dalam, sulit rasanya bisa memiliki karir mentereng dan sumber daya ekonomi yang cukup. Belum lagi kalau kita berbicara soal masalah kesehatan, perubahan iklim yang makin mengancam masa depan, dan gaya hidup yang makin didorong untuk konsumtif, kesemuanya itu memengaruhi cara kita menjalani hidup.
Semua itu, mau tidak mau, juga memengaruhi keadaan mental generasi muda hari ini. Hal itu diitambah dengan percepatan arus teknologi yang ombaknya menyeret kita kian menjauh dan terombang-ambing di samudera informasi yang antah berantah. Banjir bandang informasi semacam itu menyebabkan generasi muda hari ini rentan terserang overthinking (berpikir berlebihan) dan kecemasan yang terus-menerus.
Kerentanan yang menimbulkan kecemasan tersebut lama-lama membuat sebagian dari kita tak lagi produktif dalam menjalani hari-hari dan lama-kelamaan menjadikan diri seseorang depresi.
Keadaan tersebut menjadi pintu masuk bagi buku-buku dan konten-konten bermuatan self-improvement untuk laku keras di kalangan generasi muda hari ini. Konten dan buku-buku tersebut kebanyakan berfokus pada pengembangan dan pengendalian diri—yang intinya adalah semua masalah bisa diatasi dengan memaksimalkan kemampuan diri sendiri. Seolah-olah, masalah dari berbagai persoalan yang dihadapi generasi zaman sekarang berakar dari ketidakmampuan diri, sehingga memacu diri berusaha lebih baik menjadi suatu keharusan.
Dari Masalah Sosial ke Individual
Dalam konten-konten self-improvement, terdapat suatu kepercayaan bahwa untuk mencapai sebuah titik kesuksesan, kebahagiaan, dan kesehatan, faktor diri yang menitikberatkan pada aspek individual menjadi kuncinya. Keyakinan itu cukup bermasalah karena seolah mengabaikan peran manusia yang juga merupakan makhluk sosial.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan konten atau buku-buku bergenre self-improvement. Sesuatu yang ingin saya tekankan adalah dalam kehidupan sosial yang kompleks ini, variabel kebahagiaan, kesuksesan, karir, dan kesehatan mental tak melulu soal diri sendiri. Faktor-faktor lain yang lebih besar dan sifatnya struktural juga ikut memengaruhi segala pengalaman hidup kita sehari-hari.
Misalnya saja, masalah kesehatan mental tidak selalu berkaitan dengan rendahnya minat masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan jiwa, melainkan juga soal aksesibilitas pelayanan kesehatan yang bisa disediakan oleh pemerintah. Serupa kacamata kuda, terlalu berfokus pada persoalan diri membuat kita buta untuk melihat masalah lain yang lebih besar dan mungkin juga jauh lebih penting.
Misalnya saja, masalah kesehatan mental tidak selalu berkaitan dengan rendahnya minat masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan jiwa, melainkan juga soal aksesibilitas pelayanan kesehatan yang bisa disediakan oleh pemerintah. Serupa kacamata kuda, terlalu berfokus pada persoalan diri membuat kita buta untuk melihat masalah lain yang lebih besar dan mungkin juga jauh lebih penting.
Fenomena Kecemasan dan Stres di Indonesia
Jika konten self-improvement kian marak dikarenakan banyak generasi muda hari ini yang tidak bahagia, kesehatan mental yang tergores, dan persoalan kemiskinan yang menjabat tangan dengan erat, maka hal itu cukup bisa dimaklumi. Perlu kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat kebahagiaan ke-80 dari 143 negara, berdasarkan data World Happiness Report 2024 yang dirilis pada 20 Maret 2024.
Posisi itu menempatkan Indonesia di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sementara untuk tingkat kebahagiaan kaum muda (berusia di bawah 30 tahun), Indonesia menduduki peringkat ke-75 dari 143 negara. Lagi-lagi, Indonesia berada di bawah negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Tingkat kebahagiaan kita yang tak tergolong tinggi tersebut dapat dilihat dari contoh sederhana saat kita menemukan orang yang sangat mudah tersulut emosi ketika berada di jalan raya. Barangkali, emosi mereka yang sulit dikontrol disebabkan oleh tingkat stres yang tinggi akibat berbagai persoalan hidup.
Marcia Reynolds, psikolog klinis cum penulis, membenarkan klaim itu. Ia memiliki pandangan bahwa kesabaran seseorang bisa terganggu karena berbagai masalah, seperti kurang tidur, kurang gizi, polusi suara, konflik berlebih, masalah keuangan, dan kesepian (kekurangan teman).
Dengan demikian, masalah kecemasan, stres, dan depresi yang memengaruhi kadar kesabaran seseorang dipengaruhi juga oleh faktor lain yang berakar dari pemerintah. Misalnya, guru besar emeritus di University of British Columbia, John F. Helliwell, bersama Pusat Penelitian Kesejahteraan di University of Oxford dan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB mengumpulkan data WHR (Laporan Kebahagiaan Dunia) dari 140 negara. Mereka menggunakan berbagai indikator untuk mengukur tingkat kebahagiaan warga negara, seperti Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita, tingkat harapan hidup sehat, kebebasan, angka kedermawanan, serta pemerintahan yang bersih, transparan, dan tidak korup.
Penelitian itu mengungkapkan bahwa negara dengan PDB per kapita yang tinggi alias negara dengan warga yang cukup kaya ternyata tak cukup bahagia. Berkebalikan dengan itu, mereka yang tinggal di negara dengan pemerintahan yang bersih, transparan, dan memiliki tingkat korupsi yang rendah, sekalipun memiliki PDB per kapita tidak terlalu tinggi, ternyata cenderung lebih bahagia.
Tak heran jika tingkat kebahagiaan di Indonesia cukup rendah, terutama di kalangan generasi muda hari ini. Maklum saja, praktik korupsi dan nepotisme di Indonesia akhir-akhir ini makin merajalela. Hal tersebut sedikit banyak turut memengaruhi tingkat kebahagiaan dan kecemasan generasi muda. Belum lagi kaum muda juga harus berhadapan dengan kondisi iklim yang makin kritis yang, tentu saja, tidak cukup diselesaikan pada level individu semata. Dengan kata lain, segala problematika yang dihadapi kaum muda saat ini bersifat struktural dan sedang berusaha dikaburkan menjadi masalah individual melalui konten-konten bermuatan self-improvement.
Dari Masalah Struktural ke Individual
Kembali pada fenomena maraknya buku dan konten bermuatan self-improvement di atas, apakah kita masih meyakini bahwa masalah ketidakbahagiaan, kecemasan, depresi, overthinking, dan angka bunuh diri yang terus mencuat itu murni merupakan permasalahan individual?
Saya acapkali dirundung kecemasan dan kecurigaan. Jangan-jangan, konten-konten dan buku bergenre self-improvement itu kian masif diproduksi agar generasi kita yang ‘rentan’ ini hanya berfokus pada diri sendiri. Padahal, kerentanan itu beralasan dan memang bukan timbul dari diri sendiri, melainkan sebagai buah dari kompleksitas yang sebagian besar merupakan dampak dari masalah struktural.
Jangan-jangan, konten-konten dan buku bergenre self-improvement itu kian masif diproduksi agar generasi kita yang ‘rentan’ ini hanya berfokus pada diri sendiri ~ Moh. Ainu Rizqi Share on XJangan-jangan pula, konten self-improvement yang sengaja di-trending-kan dan di-best seller-kan itu adalah upaya yang terstruktur, masif, dan disengaja agar pemangku kebijakan tak perlu repot-repot menyelesaikan masalah struktural yang cukup rumit itu. Dengan kata lain, realitas yang begitu banal coba dikaburkan begitu saja dan dialihsalahkan pada diri sendiri.
Semoga itu hanya kecurigaan saya saja. Sekali lagi, tak ada yang salah dengan mengonsumsi buku bacaan atau konten-konten self-improvement. Justru bagus, sebab dengan begitu, kita tetap membaca dan berupaya membenahi diri. Akan tetapi, sangat naif pula jika kita menutup mata bahwa permasalahan kita hari ini hanya berkutat seputar individual.
Kebahagiaan dan pengembangan diri tak melulu permasalahan individual, melainkan juga struktural, sosial, spiritual, dan intelektual.
Moh. Ainu Rizqi yang kerap disapa Ainu lahir di Kediri dan saat ini menetap di Kediri sembari menjadi guru honorer. Ia merupakan alumni S1 Aqidah Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga. Ia suka membaca dan menulis. Di antara tulisannya bisa ditelusuri di artikula.id, omong-omong.com, Koran Suara Merdeka, Radar Kediri, dan beberapa media lainnya.
Artikel Terkait
Berkaca pada BTS: Bagaimana Jika Tak Punya Mimpi Sama Sekali?
“Kalau udah besar mau jadi apa?” Dorongan untuk memiliki mimpi, target, dan tujuan diberikan orang-orang sekitar sejak kita kecil. Tapi bagaimana jika kita tidak punya mimpi besar dan sederet target hidup? Sambil mendengarkan karya-karya BTS, dalam artikel ini penulis merefleksikan bagaimana mengejar mimpi mungkin bukanlah untuk semua orang.Siksaan Emosional
Siksaan emosional umumnya diketahui terjadi pada pasangan, terutama dari laki-laki terhadap perempuan; tetapi siksaan emosional juga bisa terjadi dalam berbagai konteks, seperti dalam pola asuh orangtua, bullying, intimidasi, atau tekanan mental di tempat kerja. Tentu saja, siksaan emosional ini bisa menyebabkan berbagai dampak negatif yang signifikan dalam hidup seseorang.Menghidupkan Makna Kesehatan Mental
Seseorang dikatakan sehat secara mental apabila ia mampu untuk bekerja, bermain, dan mencinta. Perjalanan menuju kesehatan mental adalah perjalanan yang panjang. Kamu akan menghabiskan belasan bahkan puluhan tahun untuk membentuk pribadi ini.