Jalan Panjang Menuju Republik Harapan
June 17, 2024Ketika Jurnalisme dan Sains Berjumpa: Sebuah Pengantar
June 19, 2024Photo by Komunitas Bambu
RESENSI BUKU
Perang Bahasa di Masa Pergerakan
oleh Virdika Rizky Utama
Sejatinya, sejarah Indonesia tidak hanya terdiri dari kepahlawanan peperangan fisik. Sejarah Indonesia juga merupakan narasi tentang perjuangan dan perlawanan yang melibatkan media massa sebagai alat penting untuk melawan kekuasaan penjajah dan memperjuangkan suara rakyat yang tertindas dan terpinggirkan.
Dalam konteks ini, media massa menjadi instrumen vital dalam mengubah narasi dominan dan memperjuangkan hak-hak rakyat. Buku Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan karya Hilmar Farid mengungkap bagaimana bahasa menjadi medan perjuangan penting dalam konflik ideologis pada awal pergerakan nasional Indonesia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia itu memulai bukunya dengan menjelaskan transformasi sosial-politik yang mendalam di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada akhir abad ke-19, terjadi pergeseran signifikan saat pemerintah Belanda, yang beralih dari kebijakan konservatif ke kebijakan liberal, mengubah lanskap ekonomi dan sosial secara fundamental (hlm.14-18). Transformasi tersebut memfasilitasi masuknya kapitalisme ke dalam ekonomi lokal, menyatukan prinsip-prinsip ekonomi modern dengan struktur masyarakat tradisional, dan membutuhkan tenaga kerja yang dapat menguasai lebih dari satu bahasa.
Maka, diberlakukanlah kebijakan politik etis. Meski tujuan utamanya hanya untuk menghasilkan tenaga kerja murah, politik etis justru tanpa sengaja membuka jalan bagi munculnya elit baru yang terdidik—intelektual—di dalam masyarakat. Elit modern ini, yang dipilih melalui pengetahuan mereka daripada garis keturunan, muncul sebagai kekuatan perubahan yang kuat. Mereka menggunakan pendidikan untuk melawan penindasan kolonial dan mengadvokasi hak serta perbaikan nasib rakyat.
Hilmar Farid, secara kritis, menggunakan teori “Imagined Communities“ dari Benedict Anderson, ahli kajian Indonesia asal Amerika Serikat, untuk mengkaji peran pers dalam konstruksi nasionalisme di Hindia Belanda. Anderson mengemukakan bahwa bangsa adalah hasil dari narasi yang dibangun melalui kapitalisme cetak atau media. Identitas nasional yang terbentuk pun adalah konstruksi sosial yang tercipta melalui pengalaman bersama yang difasilitasi oleh bahasa. Hilmar menyelidiki bagaimana bahasa menjadi alat dominan dalam pers kolonial dan nasionalis: satu untuk mempertahankan hegemoni penjajah, yang lain sebagai sarana perlawanan dan mobilisasi politik yang memanfaatkan bahasa sebagai wadah ekspresi identitas nasional.
Analisis Hilmar menunjukkan bahwa bahasa di dalam media tidak sekadar alat komunikasi, melainkan juga medan pertempuran ideologi, di mana kekuatan kolonial dan kelompok nasionalis berjuang mengendalikan narasi dan membentuk persepsi publik. Hal itu menggarisbawahi bagaimana bahasa berperan penting dalam membentuk dan mengubah lanskap politik, menunjukkan kompleksitas interaksi antara kekuasaan dan identitas dalam konteks kolonial. Dengan berfokus pada bahasa, Hilmar menawarkan perspektif yang lebih dalam tentang bagaimana media dan bahasa bersama-sama berkontribusi pada pembentukan identitas nasional serta dinamika kekuasaan dalam sejarah Indonesia.
Hilmar Farid merinci “perang suara” antara pers kolonial dan pers bumiputra, serta persaingan di dalam komunitas bumiputra itu sendiri. Pers kolonial, yang mewakili kepentingan kolonial dan pengusaha, berupaya menghegemoni narasi publik. Sementara itu, pers bumiputra menggunakan bahasa Melayu sebagai alat perlawanan dan persatuan untuk menantang dominasi kolonial dan meningkatkan kesadaran politik di kalangan penduduk bumiputra. Konflik keduanya mencerminkan pertarungan ideologi yang lebih luas, dengan bahasa dan media sebagai medan pertempuran untuk memengaruhi opini publik dan membentuk identitas nasional (hlm.61-64).
Dinamika itu juga terlihat dalam perubahan terminologi yang digunakan oleh media dan aktivis pergerakan. Sebelum 1920 misalnya, istilah “proletar” sering digunakan oleh kaum komunis. Namun, setelah 1927, istilah ini digantikan dengan “ra’jat” dalam media nasionalis. Perubahan ini mencerminkan adaptasi pemikiran modern oleh para pemimpin pergerakan dan pertarungan terminologi antara media massa Belanda dan media yang dimiliki oleh tokoh-tokoh pergerakan. Ini menunjukkan bagaimana bahasa dan media digunakan sebagai alat dalam perjuangan politik dan pembentukan identitas nasional.
Salah satu kontribusi paling menarik dari buku ini adalah eksplorasi peran bahasa dalam pergerakan nasional. Hilmar mengilustrasikan bagaimana pers melampaui batas-batas linguistik dengan publikasi dalam bahasa Melayu, Belanda, Jawa, dan bahasa-bahasa lain yang memainkan peran penting dalam menggerakan masyarakat yang beragam. Kemajemukan bahasa itu memfasilitasi keterlibatan yang lebih luas dan menumbuhkan rasa inklusivitas dan identitas kolektif di antara komunitas-komunitas yang berbeda di Hindia Belanda.
Transisi itu menjadi penting dalam konteks Sumpah Pemuda yang menciptakan identitas nasional dan politik baru dengan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Langkah itu dianggap sebagai kemajuan dalam perspektif nasionalis. Namun, setelahnya, bahasa Indonesia hanya dapat dipahami dan dimengerti oleh kelompok nasionalis yang terpelajar saja. Hal ini sejalan dengan perubahan arus pergerakan rakyat yang berubah menjadi ke arah Volksraad (dewan rakyat), bukan lagi seperti di masa awal pergerakan pada tahun 1910-an, yang akhirnya mengasingkan bahasa Indonesia dan tokoh-tokoh pergerakannya dari rakyatnya sendiri (hlm.116-120).
Masihkah Relevan?
Di era platform digital yang terus mendefinisikan ulang batas-batas wacana publik seperti saat ini, pelajaran dari “perang suara” ala Hilmar Farid tetaplah relevan untuk dibaca. Buku Hilmar ini menantang para pembaca untuk lebih jeli mempertimbangkan peran media dalam mengendalikan narasi dan memberdayakan serta membungkam suara-suara. Buku Hilmar berhasil mengeksplorasi peran pers dalam membentuk kesadaran dan identitas nasional untuk menghadapi penindasan kolonial, serta memberikan wawasan kritis tentang kekuatan media sebagai alat untuk memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial.
Eksplorasi komprehensif Hilmar terhadap perjalanan pers Indonesia dari alat penindasan kolonial menjadi mercusuar bagi semangat nasionalisme memberikan dampak mendalam pada media sebagai mekanisme kontrol dan sarana emansipasi. Penjelajahan buku ini sangat relevan bagi pembaca masa kini, karena ia memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya terlibat secara kritis dalam mengonsumsi konten media. Ia juga mempertimbangkan peran penting yang dimainkan oleh jurnalisme yang beragam dan independen dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi.
Selain itu, buku ini juga berfokus pada keragaman bahasa pers dan perannya dalam menggerakan masyarakat, yang berkontribusi pada persoalan tantangan global saat ini, terutama soal multikulturalisme dan kohesi sosial. Di dunia yang semakin terpecah belah oleh perbedaan etnis, bahasa, dan agama, analisis Hilmar tentang bagaimana pergerakan nasional Indonesia mengatasi perpecahan melalui pers sangatlah konstruktif. Hal itu menjadi pengingat yang kuat akan potensi narasi media yang inklusif untuk memupuk persatuan dan tindakan kolektif dalam menghadapi kesulitan.
Buku Hilmar berhasil mengeksplorasi peran pers dalam membentuk kesadaran dan identitas nasional untuk menghadapi penindasan kolonial, serta memberikan wawasan kritis tentang kekuatan media sebagai alat untuk memperjuangkan demokrasi… Share on XPerang Suara karya Hilmar Farid adalah sebuah karya hasil penelitian yang cermat dan berisi argumen yang fasih dan secara signifikan memperkaya pemahaman kita tentang pergerakan nasional Indonesia. Dengan berfokus pada peran pers, intelektual, dan aktivis selama periode ini, Hilmar memberikan wawasan yang berharga tentang tantangan pembangunan bangsa dan upaya yang sedang berlangsung untuk mencapai inklusivitas dan kebebasan. Buku ini merupakan sumbangsih yang signifikan untuk historiografi Indonesia, yang menekankan berpengaruhnya peran media, intelektual, dan aktivis. Selain itu, buku ini juga berfungsi sebagai pengingat persuasif (ajakan) akan pentingnya para aktor ini untuk membela orang-orang yang tertindas dan terpinggirkan, dan bukannya bersekutu dengan para penguasa yang lalim.
Virdika Rizky Utama adalah peneliti di PARA Syndicate dan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
Artikel Terkait
Bukit Algoritma dan Ilusi Techno-Solutionism
Klaim-klaim yang dibuat untuk mendukung proyek Bukit Algoritma umumnya berangkat dari pemahaman bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan teknologi. Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan bahaya ilusi techno-solutionism dan pentingnya terlebih dahulu mengatasi kesenjangan yang ada.Kapitalisme di Persimpangan Jalan
Kapitalisme memiliki andil yang besar atas tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan serta pemanasan global. Namun apakah kapitalisme itu merupakan sesuatu yang jahat yang harus dimusuhi dan dihapuskan?Perkembangan Sistem Perekonomian Modern: Kapitalis, Komunis, Sosialis, dan Campuran
Artikel ini membahas perkembangan sistem perekonomian hingga akhirnya menjadi seperti sekarang, dimana ada negara yang condong menerapkan sistem kapitalis, sosialis, dan juga campuran.