Perang Bahasa di Masa Pergerakan
June 18, 2024Reason and Emotion (1943), Film Pendek Disney yang Jadi Cikal Bakal Inside Out
June 21, 2024Photo by Markus Winkler on Unsplash
OPINI
Ketika Jurnalisme dan Sains Berjumpa: Sebuah Pengantar
oleh Ilham Akhsanu Ridlo
Selain pendidikan formal, media massa—termasuk media sosial dan digital—menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian banyak orang, bahkan menjadi satu-satunya sumber informasi tentang sains, proses ilmiah, dan temuan ilmiah.
Itu karena mayoritas masyarakat tidak mempunyai kontak langsung dengan para ahli ilmu pengetahuan yang mengembangkan sains sebagai pekerjaan profesional. Peranan media pun dianggap berdampak pada cara pandang, opini dan sikap mereka terhadap sains. Bahkan, hal itu juga membentuk apa yang dinamakan sebagai ‘perangai ilmiah’ (scientific temper), yaitu sikap atau pendekatan seseorang terhadap pemahaman dan penjelasan fenomena dengan menggunakan metode ilmiah untuk mendorong keterbukaan pikiran dan pemikiran kritis.
Dalam ekosistem komunikasi sains, jurnalis menjadi salah satu profesi penting yang membawa sains dari balik dinding laboratorium atau bacaan paper jurnal ilmiah ke dalam wacana publik untuk memandu keseharian masyarakat dalam mengambil keputusan. Walaupun proses translasi informasi ilmiah itu menyisakan permasalahannya sendiri, kita tidak dapat mengesampingkan peran jurnalis dalam proses diseminasi ilmu pengetahuan.
Dalam perjalanannya, sains berjumpa dengan profesi jurnalis setelah munculnya periode emas perkembangan sains di Eropa dan Amerika Serikat pada 1900-an. Keduanya merupakan pusat pemberitaan soal isu kesehatan, biologi dan teknologi mesin. Dalam praktiknya, kemunculan sains sebagai sebuah media dimulai ketika muncul sebuah media massa komersial yang menamakan diri sebagai Science Service. Di dalam media tersebut, hampir semua sumber di negara dunia Utara merujuk pada seorang penerbit surat kabar Amerika bernama Edward W. Scripps dan ahli biologi ternama bernama William E. Ritter.
Jurnalis membawa sains dari balik dinding laboratorium atau bacaan paper jurnal ilmiah ke dalam wacana publik untuk memandu keseharian masyarakat dalam mengambil keputusan ~ Ilham Akhsanu Ridlo Share on XNamun begitu, media massa lainnya sebenarnya sudah lebih dulu eksis, sebut saja majalah bulanan Digdarshan yang terbit pada 1818 di Bengal, India. Majalah ini terbit dalam Bahasa Bengali, Hindi dan Inggris. Pada periode 1900-an itu, beberapa harian seperti The Times (1918-1935) dan The Manchester Guardian (1928) juga sudah menunjuk koresponden ilmiah, sehingga pada era itu, kita dapat mengatakan bahwa jurnalisme sains sudah lahir.
Perkembangan jurnalisme sains sempat diragukan oleh beberapa orang, sehingga terminologi “science journalist” berubah menjadi “science writer.” Hal itu ditandai dengan berdirinya the National Association of Science Writer (NASW) pada 1934, yaitu sebuah organisasi yang mewadahi para jurnalis, komunikator sains, peneliti, dan editor sains yang sampai sekarang masih eksis. Perjumpaan antara jurnalisme dan sains, pada akhirnya, menjadi sebuah genre baru yang kita kenal dengan jurnalisme sains.
Jurnalisme sains punya peran yang sama dengan praktik jurnalisme pada umumnya, tetapi dikhususkan pada upaya pemikiran kritis (critical thinking), memeriksa dan menelaah kompleksitas konsep ilmiah, serta mendorong akuntabilitas dan memonitor keculasan ilmiah (scientific misconduct) yang merugikan kepentingan publik (public goods). Selain tugas berat itu, jurnalis sains juga punya peran dalam komunikasi sains untuk memopulerkan sains pada masyarakat, sehingga ilmu pengetahuan tidak lagi berdiri di menara gading, justru menjadi kian relevan dengan keseharian.
Pandemi COVID-19: Kolaborasi Jurnalisme-Sains dan Tantangannya
Di Indonesia, jurnalis telah banyak bekerja sama dengan para ahli untuk mengedukasi publik dan mengadvokasi kebijakan, terutama dalam momentum pandemi COVID-19. Selain menyampaikan informasi yang akurat tentang pandemi, jurnalis juga memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan dan memfasilitasi tindakan kolektif. Salah satu contoh dari upaya tersebut adalah liputan eksklusif di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit besar di Jakarta oleh Narasi TV yang bertujuan untuk melemahkan teori konspirasi terkait COVID-19 dan memperkuat solidaritas di antara masyarakat. Selain itu, beberapa jurnalis juga berpihak pada inisiatif akar rumput seperti LaporCovid, Project Multatuli, dan media komunikasi sains, seperti The Conversation Indonesia. Semuanya menggarisbawahi pentingnya peran jurnalis dan ahli pengetahuan dalam memberikan solidaritas dan aksi kolektif dalam melawan pandemi.
Sayangnya, hubungan antara jurnalis dan ahli pengetahuan diwarnai oleh pasang surut akibat adanya kesenjangan budaya yang tidak dapat dihindari. Meskipun banyak ahli pengetahuan mengakui bahwa mereka mendapatkan keuntungan dari visibilitas (keterlihatan) media, ada isu tentang ketidakakuratan, kurangnya objektivitas, dan sikap anti-ilmiah yang tercermin dalam liputan media. Padahal, menurut para ahli, jurnalis berperan sebagai pengawas yang melakukan pemeriksaan terhadap proses ilmiah dalam produk jurnalisme demi membangun dan meningkatkan kepercayaan publik pada sains. Hal itu dilakukan dengan menjaga agar publik mengetahui bagaimana sebuah penelitian dilakukan dan temuan-temuannya disampaikan serta disebarluaskan.
Pada saat yang sama, sains dan jurnalisme memiliki tujuan yang searah, yaitu mempromosikan demokrasi dan melindungi kepentingan publik. Jurnalis dapat membangun atau, sebaliknya, merusak kepercayaan publik. Mereka memiliki pilihan untuk menyajikan fakta berdasarkan sumber ilmiah atau, di sisi lain, menebar rasa takut dengan melakukan pemberitaan yang berisi kepanikan berlebih (fear mongering) berdasarkan rumor dan bukti yang tidak ilmiah.
Adanya jarak antara sains dan jurnalisme disebabkan oleh faktor komunikasi: ahli pengetahuan dan jurnalis saling merasa seperti orang asing, tidak dapat memahami bahasa satu sama lain, dan keduanya didorong oleh agenda yang berbeda. Ahli pengetahuan memiliki persepsi negatif terhadap liputan media umum tentang sains dan teknologi, begitu pun jurnalis, kurang bisa mengakomodasi ilmu pengetahuan ke dalam produk jurnalismenya.
Menuju Dekolonisasi Jurnalisme dan Sains
Sejarah jurnalisme-sains tidak luput dari kritik dan merupakan buah dari praktik kolonialisasi (penjajahan) ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan pula bahwa jarang ditemukan pembahasan ilmiah pada topik jurnalisme-sains di negara-negara Selatan (Global South). Terlebih pasca-perang dunia kedua, dalam pidato inagurasi Harry Truman pada 1949, perjalanan sains dan teknologi tidak luput dari hasrat untuk membangun, ditunjukkan oleh banyaknya kata “pembangunan“ (development) dalam pidato Truman. Paham developmentalisme itu membuat sains atau ilmu pengetahuan menjadi pondasi utama pembangunan untuk mencapai kemakmuran ekonomi.
Gagasan soal pembangunan membuat modernisasi dan transfer teknologi berlangsung begitu masif dari negara-negara ‘maju’ (mayoritas pemenang perang dunia kedua) ke negara dunia Selatan. Jurnalisme-sains, pada saat itu, dimanfaatkan untuk memopulerkan sains ala negara dunia Utara ke negara dunia Selatan. Paradigma itu menjadikan sains pada masa itu menjadi konten populer yang menyajikan lompatan manusia ke bulan, dalam konteks perlombaan senjata ala Amerika Serikat dan Uni Soviet. Konten-konten lain juga seputar adu kuat senjata nuklir, sensasionalitas sains sebagai bentuk propaganda intelijen, dan lahirnya teori konspirasi, seperti asal mula virus HIV/AIDS. Negara-negara dunia Selatan hanya menikmati produk jurnalisme-sains yang nyatanya tidak berkorelasi langsung dengan kehidupan keseharian mereka. Mereka ibarat wadah kosong yang siap diisi dengan pengetahuan ilmiah dari negara-negara ‘maju’, tanpa mempertimbangkan konteks lokal mereka sendiri.
Namun, bukan berarti upaya untuk mengurangi dominasi negara-negara dunia Utara tidak diupayakan sama sekali. Dalam artikelnya yang terbaru pada Mei 2024 misalnya, An Nguyen menulis artikel berjudul “Journalism Between Science and Development—A Decolonised and Dewesternised Normative Framework” di jurnal Journalism Studies. Beberapa tulisan An Nguyen juga dapat ditemui di Insight on Science Journalism. Ia mengulas persinggungan antara sains, jurnalisme, dan pembangunan dari perspektif historis serta menyampaikan argumen untuk pengembangan jurnalisme-sains di dunia Selatan.
Bercermin pada argumen An Nguyen, kita juga bisa mendorong keterlibatan jurnalisme-sains untuk membangun iklim ilmu pengetahuan yang inklusif di Indonesia. Upaya itu dapat dilakukan dengan mengupayakan empat dimensi utama, yaitu glokalisasi (glocalization), dekolonisasi (decolonisation), indigenisasi (indigenisation) dan de-westernisasi (dewesternisation). Upaya merekonstruksi ulang jurnalisme-sains, dengan sendirinya, juga berarti melakukan upaya untuk membenahi praktik sains yang masih dirasakan belum terbebas dari dominasi negara-negara dunia Utara. Jurnalis dan ahli pengetahuan seharusnya juga punya kesadaran bersama untuk membangun kolaborasi demi mendorong sains sebagai komoditas yang inklusif bagi masyarakat.
Namun begitu, upaya kolaborasi itu juga terkendala oleh tekanan ekonomi media yang tidak sehat. Kompleksitas lanskap komunikasi sains di Indonesia juga mempunyai hambatan terkait kebebasan akademik dan pers. Sumber informasi ilmiah sering kali memiliki ruang gerak yang terbatas, sehingga jurnalis-sains menghadapi hambatan ganda. Di sisi regulasi pers, jurnalis berpotensi mendapatkan pemberangusan kebebasan pers melalui Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang dapat membatasi ruang gerak mereka dan menyebabkan bias dalam liputan media, termasuk peliputan sains yang sudah minim. Selain itu, kurangnya kolaborasi antara pewarta dan ahli pengetahuan serta ketergantungan pada sumber informasi yang terbatas juga dapat memengaruhi kualitas dan keseimbangan liputan media
Ilham Akhsanu Ridlo adalah asisten profesor di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, dan Mahasiwa doktoral LMU Munich, Jerman. Fokus disertasinya adalah kolaborasi ilmuwan dan jurnalis dalam membantu pengambil keputusan untuk memahami ketidakpastian ilmiah dalam darurat kesehatan masyarakat. Selain riset, ia aktif menulis tentang kebijakan kesehatan, kebijakan publikasi ilmiah (open access) dan sains terbuka (open science). Artikel populer ilmiah dapat ditemui di The Conversation Indonesia, berbagai media massa elektronik/cetak, serta di blog https://sciencewatchdog.id. Dia dapat mudah ditemui di X (Twitter) @iaridlo
Artikel Terkait
Antara Baik dan Jahat: Mempersoalkan Dualitas Sifat Dasar Manusia
Sifat baik dan buruk manusia perlu dipandang secara dinamis dan fleksibel sebagai cara menyeimbangkan hidup.Hakikat Pendidikan yang Hampir Terlupakan
Pendidikan adalah suatu upaya terencana yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik tentunya bermacam-macam sehingga para pendidik hendaknya mampu melihat dan mengasah beragam potensi yang dimiliki peserta didiknya. Dengan penerapan pendidikan yang sesuai dengan hakikat pendidikan itu, peserta didik diharapkan bisa berkembang menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.Membangun Netizen Kritis dan Tangguh, Tugas Siapa?
Di Catatan Pinggir ini, Dr. Ni Made Ras Amanda G., Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana dan Pegiat Literasi Digital dari Japelidi, berbagi tentang pentingnya menjadi warganet yang bijak dan kritis. Bagaimana caranya?