Bebas Aktif: Memaknai Kembali Alam Pikiran Bung Hatta
July 11, 2024Laki-laki dalam Cengkeraman Patriarki
August 4, 2024Dukuh Timbulsloko, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, dokumentasi oleh Andi Misbahul Pratiwi
OPINI
Memahami Krisis Lingkungan dari Lensa Feminist Political Ecology
oleh Andi Misbahul Pratiwi
Hari ini, kita semua hampir fasih berbicara mengenai kerusakan lingkungan, krisis iklim, dan energi terbarukan. Secara bersamaan, kita juga fasih berbicara soal keadilan gender dan feminisme. Namun, masih jarang dari kita yang mendengar atau bahkan membaca berbagai literatur ilmiah maupun popular dalam konteks Indonesia untuk menghubungkan keduanya: krisis lingkungan dan keadilan gender.
Meski ada, diskusi soal itu masih sangat sedikit dan hanya terbatas pada kalangan tertentu, katakanlah kalangan ahli kajian gender dan ilmu sosial humaniora yang kebetulan terpapar oleh isu-isu feminisme. Di rumpun ilmu lainnya, nyaris nihil menjumpai upaya untuk melihat keterhubungan antara keduanya. Parahnya lagi, dinamika gender dalam krisis iklim sering kali diabaikan.
Situasi itu pernah dialami oleh Dianne Rocheleau, ahli ekologi politik dan feminisme dari Amerika Serikat, yang pada 1979 memulai risetnya sebagai mahasiswa S3 di Departemen Geografi, University of Florida. Pada saat itu, ia meneliti praktik penggunaan dan pengelolaan lahan di Republik Dominika. Riset Rocheleau, pada mulanya, tidak berfokus pada dimensi gender. Ia mulai menaruh perhatian pada isu itu setelah terjun ke lapangan dan melihat situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ketimbang melihat laki-laki terlibat dalam pengelolaan lahan, ia justru menjumpai banyak perempuan yang bekerja mengolah lahan, sedangkan laki-laki lebih memilih untuk pergi bermigrasi.
Dari situ, terlihat hubungan yang erat antara dinamika pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi politik. Sayangnya, meskipun perempuan lebih erat berhubungan dengan lahan, suara dan kuasa mereka untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan lahan sering kali diabaikan. Rocheleau dan rekan-rekannya pun mulai mengeksplorasi lebih jauh hubungan antara gender dan lingkungan.
Apa itu Feminist Political Ecology (FPE)?
Benih-benih pemikiran Feminist Political Ecology (FPE) mulai tumbuh di berbagai kalangan dan disiplin ilmu sejak Rocheleau pertama kali menginisiasi penelitian doktoralnya. FPE sebagai sebuah alat analisa menjadi popular dan dikembangkan oleh para pemikir karena sifatnya yang terbuka. FPE menempatkan gender dan ekonomi politik sebagai sumbu kritis dalam melihat persoalan sumber daya alam dan lingkungan. Gender, dalam hal ini, tidak hanya berbicara mengenai identitas biologis perempuan, tetapi juga irisannya dengan berbagai identitas lainnya, seperti ras, etnisitas, kasta, usia, kelas, disabilitas, orientasi seksual, dan lainnya.
FPE menekankan bahwa pengalaman, pengetahuan, dan kedekatan perempuan dengan alam tidak selalu berakar pada faktor biologis, melainkan justru mengakar pada konstruksi gender yang dilekatkan pada identitas tersebut. Di sini, FPE berupaya untuk menghindari cara pandang yang esensialis terhadap perempuan dan alam. FPE menjadi jembatan bagi para akademisi, pembuat kebijakan, aktivis, dan organisasi untuk memahami isu lingkungan secara lebih politis melalui lensa yang ia tawarkan. Lensa analisis FPE menawarkan setidaknya tiga cara agar kita tidak terburu-buru untuk melihat persoalan krisis lingkungan, yakni dengan mempertanyakan: 1) siapa yang memiliki pengetahuan dan pengetahuan siapa yang dianggap penting?; 2) siapa yang punya kontrol dan siapa yang dipinggirkan; dan 3) siapa yang melakukan aksi-aksi kolektif?
Mari kita coba pahami satu per satu dengan menyertakan contoh kasus agar lebih mudah memahaminya.
Pertama, siapa yang memiliki pengetahuan dan pengetahuan siapa yang dianggap penting?
Selama ini, pengetahuan mengenai lingkungan masih mengandung berbagai bias yang sering kali membuatnya tidak efektif untuk menyelesaikan masalah. Sistem pengetahuan warisan kolonialisme masih melihat alam sebagai alat, tak jarang solusi atas persoalan lingkungan pun sering kali dianggap tunggal dan cukup diselesaikan dengan cara teknokratik yang mengandalkan pengetahuan dan pendapat sekelompok ahli. Selain itu, sistem pengetahuan lokal juga didominasi oleh kelompok elit laki-laki dan diteguhkan oleh keberlangsungan feodalisme, yaitu sistem sosial politik yang memberikan keistimewaan pada golongan kelas tertentu. Sistem pengetahuan tersebut mengabaikan pengetahuan yang berasal dari tubuh dan abstrak. Lensa FPE membantu kita memahami dan mengakui bahwa sistem pengetahuan tidaklah tunggal, melainkan majemuk dan melekat.
Kedua, siapa yang punya kontrol dan siapa yang dipinggirkan?
Pertanyaan itu berkaitan dengan hak untuk mengakses dan mengendalikan berbagai sumber daya lingkungan. Kelompok perempuan, dengan ragam identitasnya, sering dipinggirkan dari proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan lingkungan. Sumber daya lingkungan di sini mencakup tanah, air, hewan, dan pohon, baik di tingkat rumah tangga maupun komunitas. FPE melihat bahwa di berbagai level—rumah tangga, komunitas, negara, dan pasar—terdapat pembagian kerja seksual yang menyebabkan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya. Pembagian kerja seksual itu bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai faktor historis, seperti kolonialisme, rasisme, kapitalisme, feodalisme, dan relasi kekuasaan lainnya di dalam masyarakat.
Ketiga, siapa yang melakukan aksi-aksi kolektif?
Lensa FPE bertujuan untuk mengungkapkan keberdayaan perempuan, baik secara individu maupun kolektif, dalam gerakan lingkungan. Secara historis, perempuan telah terlibat dalam aksi kolektif untuk perubahan lingkungan dan berada di garis depan kelompok akar rumput, gerakan sosial, dan organisasi politik lokal yang memperjuangkan keadilan sosial-ekonomi dan lingkungan. Pengakuan terhadap aktivisme perempuan sangat penting karena dapat menghubungkan aktivisme lokal dengan politik global dan menunjukkan keragaman perjuangan perempuan. Aktivisme lokal juga berfungsi sebagai upaya untuk memasukkan pengetahuan dan pengalaman perempuan ke dalam politik global dan menghindari generalisasi berlebihan tentang situasi perempuan sebagai korban (inherently victim).
Memahami Dinamika Gender dan Krisis Iklim dari Lensa FPE
Saat ini, saya sedang melakukan riset doktoral mengenai gender dan krisis iklim di wilayah pesisir Pantai Utara Jawa Tengah. Di wilayah itu, banjir rob telah menjadi makanan keseharian warga. Kenaikan muka air laut secara global setiap tahunnya menjadi salah satu penyebab banjir rob, meskipun bukan satu-satunya. Saya menemukan hubungan yang politis antara pembangunan ekstraktif, ketiadaan sistem pengelolaan sampah, dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yang semuanya berkontribusi menyebabkan terjadinya banjir rob. Kini, banjir rob telah menenggelamkan beberapa desa di Pantai Utara, sementara beberapa desa lainnya akan menuju tenggelam apabila tidak ada upaya adaptasi dan mitigasi segera. Dalam konteks ini, FPE membantu saya dalam melihat persoalan lingkungan dengan lebih politis dan menempatkan dinamika gender sebagai sumbu kritis.
Pertama, siapa yang memiliki pengetahuan dan pengetahuan siapa yang dianggap penting?
Dalam forum-forum diskusi warga di berbagai tingkatan, perempuan sering kali tidak diikutsertakan. Ada anggapan kultural dan interpretasi nilai keagamaan di dalam masyarakat bahwa urusan desa (publik) adalah urusan laki-laki. Mereka menganggap bahwa perempuan seharusnya menjaga rumah. Padahal, ketika banjir rob datang, perempuanlah yang selalu membersihkan rumah, menjaga anak, dan memastikan kebutuhan pangan tersedia. Pengalaman itu tidak dianggap sebagai pengetahuan penting dan justru sengaja dipinggirkan. Walhasil, proses adaptasi krisis iklim hanya berfokus pada hal-hal yang sifatnya teknis, seperti pembangunan jalan dan meninggikan rumah. Sementara itu, isu seperti ketersediaan air untuk sanitasi, penanganan kekerasan dalam rumah tangga, dan kesehatan reproduksi berada di urutan paling akhir.
Kedua, siapa yang punya kontrol dan siapa yang dipinggirkan?
Saya menemukan bahwa keputusan di ranah keluarga dan komunitas didominasi oleh suara laki-laki. Di dalam rumah, keputusan untuk merenovasi rumah, menjual aset, dan menyekolahkan anak menjadi dominan pilihan laki-laki. Padahal, di wilayah pesisir, perempuan juga berkontribusi terhadap ekonomi keluarga. Mereka pergi melaut, menangkap ikan, serta menjual hasil tangkapan dan mengolahnya. Sayangnya, kerja-kerja perempuan tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan, melainkan sekadar membantu sang suami. Di level komunitas, suara, pengalaman, dan pengetahuan perempuan mengenai pembangunan infrastruktur juga dianggap tidak penting.
Misalnya, perempuan nelayan dan pekerja di sektor perikanan setiap hari mengunjungi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Morodemak untuk memutar roda perekonomian. Tragisnya, bencana banjir rob membuat air laut menutupi seluruh jalan di wilayah tersebut dan mengganggu ruang gerak perempuan. Sayangnya, pembangunan infrastruktur yang layak, aksesibel, dan adaptif bencana yang berpihak pada kepentingan perempuan tidak menjadi prioritas utama. Perempuan, baik di dalam rumah tangga, komunitas, dan pembangunan desa, hanya ditempatkan sebagai objek penerima manfaat (beneficiaries), bukan sebagai subjek pembangunan.
Ketiga, siapa yang melakukan aksi kolektif?
Di tengah bencana perubahan iklim yang mengerikan–banyak pekerjaan hilang, pendapatan menurun, dan kebutuhan semakin meningkat—kelompok perempuan terus mencari cara untuk keluar dari kondisi sulit tersebut. Di beberapa desa di pesisir Demak misalnya, saya menemukan kelompok perempuan aktif mengorganisasi diri, mengelola koperasi, dan membantu korban kekerasan berbasis gender.
Lensa FPE bisa menjadi jendela dan jembatan yang dapat kita gunakan untuk melihat persoalan lingkungan secara lebih kompleks dan tidak sederhana dengan menempatkan gender sebagai sumbu kritis dan variable politis. ~ Andi Misbahul… Share on XMembentuk koperasi adalah upaya mereka untuk keluar dari jeratan hutang sambil menumbuhkan rasa solidaritas bersama. Kelompok perempuan itu saling menginspirasi perempuan di wilayah pesisir lainnya untuk saling bersolidaritas di tengah bencana. Itu menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya sebagai korban, tetapi juga punya tawaran upaya yang berkelanjutan. Negara perlu belajar dari aksi-aksi kolektif di akar rumput dan berkolaborasi dengan komunitas untuk menghindari program adaptasi iklim yang bersifat ceklis dan tidak tepat sasaran.
Lensa FPE bisa menjadi jendela dan jembatan yang dapat kita gunakan untuk melihat persoalan lingkungan secara lebih kompleks dan tidak sederhana dengan menempatkan gender sebagai sumbu kritis dan variable politis. Meskipun begitu, sebagai sebuah teori, FPE juga tidak luput dari kritik dan terus membuka diri untuk dikembangkan dengan berbagai konteks ekonomi politik dan ekologi politik yang khas. Hal itu memberikan jalan pada penulis-penulis selanjutnya untuk membahas aspek kritik tersebut secara lebih mendalam.
Andi Misbahul Pratiwi adalah mahasiswa doktoral di University of Leeds, Inggris, yang penelitiannya berfokus pada gender dan perubahan iklim di negara-negara Selatan. Riset doktoralnya merupakan bagian dari Gender, Generation and Climate Change (GENERATE): Creative Approaches to Building Inclusive and Climate-Resilient Cities in Uganda and Indonesia. Saat ini, Andi juga merupakan peneliti di Pusat Riset Gender, Universitas Indonesia.
Artikel Terkait
Feminisme ≠ Membenci Laki-Laki
Ada kesalahpahaman bahwa feminisme berarti membenci laki-laki. Karena itu, banyak orang yang merasa enggan untuk belajar tentang feminisme. Lewat tulisan ini, penulis berusaha meluruskan miskonsepsi ini dan menjelaskan bahwa feminisme sebetulnya ada untuk semua orang.Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah telah melahirkan berbagai gejala kemunduran ekologi. Karenanya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Contoh pemahaman alternatif dapat dilihat dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan perempuan lokal terhadap berbagai aktivitas pertambangan di daerahnya. Apa yang membuat perempuan memiliki kelekatan dengan alam?Feminisme: Mitos, asumsi, dan kenyataan
Feminisme sering disalahartikan sebagai upaya perempuan melawan laki-laki. Dalam konteks Indonesia sendiri, tak jarang pula yang menafsirkan feminisme sebagai gerakan yang tak berterima karena disebut gerakan asing atau “kebarat-baratan.” Namun, apa sebenarnya yang diperjuangkan dalam feminisme?