Di Balik Gempita Hilirisasi Nikel
September 14, 2024Menyoal Perundungan: Sebab, Akibat, dan Pencegahannya
October 8, 2024Photo by Edward Cisneros on Unsplash
OPINI
Jalan Keluar Perempuan dan Orang Hamil dari Norma Aborsi Berkelit
oleh Amalia Puri Handayani
Amplop itu sampai di rumah. Saya buka di depan ibu saya. Isinya dua kotak berisi dua jenis obat: satu butir Mifepristone dan delapan Misoprostol.
“Itu apa?” tanya Ibu. Saya diam sebentar, menata jawaban.
“Obat, Ma.”
“Untuk apa?” Saya tidak bisa menemukan jawaban lain.
“Obat aborsi. Aku mau tahu pengalaman menerima obat aborsi yang dikirim langsung ke rumah.”
“Oh, sekarang bisa pakai obat aja di rumah? Dulu zaman Mama aborsi, belum ada obatnya. Dulu, Mama harus diantar Eyang ke dokter dan dikuret.”
Saya tidak menyangka jawaban yang keluar dari mulut Ibu. Saya dan Ibu nyaris tidak pernah membicarakan tentang ketubuhan, apalagi aborsi. Itu menjadi awal mula kami berbincang tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas secara lebih terbuka.
Aborsi dan Hak Perempuan atas Tubuhnya
Pada tahun 80-an, Ibu saya sudah punya tiga anak. Dengan penghasilan yang ada, Ibu dan Bapak merasa tidak mampu untuk mempunyai anak keempat. Ekonomi, alasannya. Juga, ketidaksanggupan dalam merawat anak keempat di tengah kesibukannya menghidupi ketiga anaknya yang SMA saja belum. Sebenarnya, alasan bukanlah hal penting untuk memvalidasi kebutuhan perempuan dan orang yang bisa hamil untuk melakukan aborsi. Apapun alasannya, mereka punya hak atas tubuhnya.
Berbicaralah Ibu dan Bapak dengan kedua orangtuanya—nenek dan kakek saya dari pihak Bapak. Mereka setuju. Nenek dan Kakek membantu mencarikan dokter yang bersedia memberikan layanan aborsi secara diam-diam. Ibu harus mencari persetujuan dari orang-orang di sekelilingnya untuk tubuhnya sendiri.
Persetujuan dari orang lain, seperti suami atau keluarga maupun wali menjadi persyaratan dalam mengakses layanan aborsi melalui fasilitas kesehatan di Indonesia. Hal ini masih tertuang dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Tindakan aborsi di Indonesia ‘diperbolehkan’ dengan banyak syarat: hanya untuk korban kekerasan seksual dan keadaan situasi darurat bagi kesehatan perempuan hamil. Belum lagi, mereka harus memberikan bukti sebagai korban kekerasan seksual dan/atau harus mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Medis untuk dilayani di fasilitas kesehatan. Perempuan dan orang yang bisa hamil direnggut agensi atas tubuhnya sendiri.
Peraturan tersebut tidak menghentikan kebutuhan perempuan untuk mengakses layanan aborsi aman. Semakin tertutupnya akses layanan aborsi aman, justru semakin tinggi kemungkinan perempuan dan orang yang bisa hamil untuk mengakses layanan aborsi yang tidak aman. Ibu saya bukan satu-satunya perempuan yang melakukan aborsi. Hingga saat ini, Margaret M. Giorgio dkk mengestimasi angka kejadian aborsi di Pulau Jawa pada 2018, yaitu 42,5 aborsi per 1.000 perempuan usia 15-49, dengan total 1.698.230 kasus aborsi per tahun.
Ibu harus bergelut di tengah kepemilikan atas situasi istimewanya. Ia mendapat dukungan dari keluarga terdekat, tinggal di kota besar sehingga mempermudah mengakses layanan aborsi, mempunyai uang untuk mendapatkan layanan, berstatus perkawinan sudah menikah, berusia 30 tahunan waktu itu, dan lapisan hak istimewa lainnya yang tidak dimiliki semua perempuan dan orang hamil.
“Mama dulu prosesnya gimana?” tanya saya selagi kami membahas topik aborsi.
“Masuk ke rumah sakit, kayaknya khusus aborsi. Mama ditaruh di dalam satu ruangan yang nggak ada sekatnya, ada banyak perempuan di ruangan itu yang masing-masing sudah ada di tempat yang kayak singgasana di dokter kandungan itu, lho. Dokternya masuk, dia kasih tindakan satu per satu,” Ibu menerangkan lebih jauh.
“Tindakannya apa?”
“Kuret.”
Aborsi sebagai Alat Kontrol Negara
Pada tahun 1980-an sampai 1990-an, banyak aktivis senior yang menyebutkan akses terhadap layanan aborsi lebih mudah diakses daripada saat ini. Seperti dalam buku Abortion in Asia: Local Dilemmas, Global Politics, akademisi TH Hull dan Ninuk Widyantoro menjelaskan bahwa aborsi dipertimbangkan sebagai alat kontrol populasi negara. Aborsi dianggap sebagai alat politik untuk mengurangi kelebihan populasi negara. Negara melihat perempuan sebagai alat reproduksi, sama sekali bukan karena mereka punya hak atas tubuhnya.
Kembali lagi pada cerita Ibu saya. Saat ini, kuretase tajam sudah tidak dianjurkan lagi untuk digunakan untuk aborsi oleh WHO. Tindakan yang diterima Ibu bukan hanya terjadi pada tahun 1980-an. Dalam penelitian saya bersama PPH Atma Jaya dan Knowledge Hub tentang analisis situasi aborsi di Indonesia pada 2022, masih ada perempuan yang mengakses layanan aborsi dengan cara yang serupa. Saat itu, ia sudah diberi tahu oleh beberapa dokter bahwa kehamilannya berisiko. Namun, para tenaga medis itu enggan untuk melakukan tindakan aborsi seperti kemauannya, bahkan kemauan suaminya juga. Setelah pergi ke beberapa dokter, salah satu dokter merujuknya pada satu klinik. Ceritanya mirip dengan cerita Ibu saya, ia masuk dalam ruangan sendirian. Suaminya tidak diperbolehkan mendampinginya di ruang tindakan. Itu terjadi beberapa tahun sebelum pengambilan data penelitian berlangsung.
Semakin tertutupnya akses layanan aborsi aman, justru semakin tinggi kemungkinan perempuan dan orang yang bisa hamil untuk mengakses layanan aborsi yang tidak aman. ~ Amalia Puri Handayani Share on XPerempuan melakukan aborsi setidaknya dengan empat peta perjalanan dalam mengakses layanan aborsi yang ditemukan dalam penelitian tersebut. Pertama, perempuan dan orang yang bisa hamil pergi ke fasilitas kesehatan. Biasanya, tindakan yang diterima adalah surgical abortion (aborsi melalui operasi) yang bisa berupa vakum aspirasi maupun kuretase. Kedua, mereka memberi tahu pendamping—bisa teman, pasangan, maupun keluarga—untuk mendukung mencarikan mereka informasi mengenai klinik atau membiayai tindakan atau mengantarkan mereka ke klinik. Ketiga, melalui pendamping—termasuk internet dan organisasi yang bekerja dengan fokus hak kesehatan reproduksi dan seksualitas—mereka melakukan aborsi dengan menggunakan pil aborsi. Terakhir, mereka melakukan aborsi dengan metode tertentu, seperti minum jamu, minum ramuan, memukul-mukul perut, atau memasukkan barang asing melalui vagina. Metode terakhir ini justru semakin membahayakan kesehatan perempuan dan orang yang bisa hamil dan bisa meningkatkan angka kematian ibu di Indonesia.
Menyoal Aborsi Aman
Penelitian tentang aborsi sudah banyak dilakukan sejak lama. Dari cerita Ibu saya dan juga hasil penelitian analisis situasi aborsi di Indonesia pada 2022, saya melihat ada dua hal yang berbeda.
Pertama, pil aborsi merupakan salah satu temuan teknologi manjur bagi perempuan atau orang yang bisa hamil dalam mengakses layanan aborsi aman. WHO juga menganjurkan penggunaan pil aborsi tanpa dampingan tenaga medis sampai usia kehamilan 13 minggu. Pil aborsi ini paling efektif jika menggunakan 1 Mifepristone dan setidaknya 4 Misoprostol, tergantung lama kehamilannya.
Mifepristone—yang ditemukan pada akhir 1990-an—akan membantu menghentikan progesterone yang membantu menumbuhkan fetus, sementara Misoprostol akan membantu untuk mengeluarkan sisa produk kehamilan dengan merangsang kontraksi pada rahim. Sayangnya, Mifepristone tidak mudah ditemukan di banyak negara. Jadi, penggunaan 12 Misoprostol saja juga sudah bisa melancarkan proses aborsi, lagi-lagi, dosisnya tergantung lama kehamilannya.
Banyak perempuan sejak kecil tidak dibiarkan mengenali tubuhnya. Apalagi, diperkenalkan dengan teknologi yang bisa membantu mereka dalam mengambil kembali hak kesehatan reproduksi dan seksualitasnya. Padahal, perempuan punya hak memanfaatkan temuan teknologi yang sudah terbukti aman bagi tubuhnya dan melatih agensinya, tanpa campur tangan tenaga profesional yang dianggap lebih tahu tentang tubuhnya, apalagi negara.
Kedua, layanan akses terhadap aborsi aman merupakan aksi solidaritas. Kebanyakan perempuan akan memberitahukan teman, pasangan, keluarga, atau organisasi dampingan untuk mendukungnya mencari layanan akses aborsi aman. Jika kita sudah dibekali dengan informasi tentang akses aborsi aman, kita bisa menjadi sistem dukungan bagi orang-orang yang membutuhkan alih-alih mengakses aborsi tidak aman.
“Ma, cerita Mama boleh aku tulis, nggak?”
“Boleh, dong, biar lebih banyak orang yang tahu dan tidak tabu lagi bicara tentang aborsi.”
Ibu saya memilih untuk meneruskan rantai solidaritas dari pengalaman dan pengetahuannya. Perempuan memiliki pengalaman dan pengetahuannya sendiri. Membaginya menjadi aksi solidaritas.
Jadi, walaupun jalan menuju layanan akses aborsi aman rumit, perempuan tetap membutuhkannya. Dengan kemajuan teknologi dan aksi solidaritas, mereka tetap bisa mengakses aborsi aman dan melatih agensinya.
Amalia Puri Handayani adalah perempuan yang menaruh perhatian pada feminisme, khususnya hak kesehatan reproduksi dan seksulitas, teknologi, dan bahasa. Setelah mengemban pendidikan linguistik Indonesia dan kajian gender di Universitas Indonesia, ia menyelesaikan master bidang Social Policy for Development di ISS, Erasmus University, Den Haag. Saat ini, selain menjadi bagian dari PurpleCode Collective dan Women on Web, ia bekerja paruh waktu sebagai peneliti di PPH Atma Jaya.
Artikel Terkait
Feminisme ≠ Membenci Laki-Laki
Ada kesalahpahaman bahwa feminisme berarti membenci laki-laki. Karena itu, banyak orang yang merasa enggan untuk belajar tentang feminisme. Lewat tulisan ini, penulis berusaha meluruskan miskonsepsi ini dan menjelaskan bahwa feminisme sebetulnya ada untuk semua orang.Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Alam Membongkar Narasi Pembangunan
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah telah melahirkan berbagai gejala kemunduran ekologi. Karenanya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Contoh pemahaman alternatif dapat dilihat dari kelekatan perempuan dengan alam yang melandasi perlawanan perempuan lokal terhadap berbagai aktivitas pertambangan di daerahnya. Apa yang membuat perempuan memiliki kelekatan dengan alam?Feminisme: Mitos, asumsi, dan kenyataan
Feminisme sering disalahartikan sebagai upaya perempuan melawan laki-laki. Dalam konteks Indonesia sendiri, tak jarang pula yang menafsirkan feminisme sebagai gerakan yang tak berterima karena disebut gerakan asing atau “kebarat-baratan.” Namun, apa sebenarnya yang diperjuangkan dalam feminisme?