Jalan Keluar Perempuan dan Orang Hamil dari Norma Aborsi Berkelit
September 24, 2024Komunikasi Risiko: Membantu atau Membebani?
October 9, 2024Photo by Jerry Zhang on Unsplash
OPINI
Menyoal Perundungan: Sebab, Akibat, dan Pencegahannya
oleh Lintang Mardayati
Seakan tak ada habisnya, kasus perundungan kembali viral di media sosial. Salah satunya, mahasiswi kedokteran yang melakukan bunuh diri karena mengalami perundungan yang dilakukan oleh seniornya. Baru-baru ini, kasus mahasiswa Binus Simprug juga ramai diperbincangkan karena terduga menjadi korban perundungan di lingkungan kampusnya.
Kedua kasus di atas hanyalah contoh kecil. Kasus perundungan juga rentan dihadapi anak-anak dan berdampak nyata bagi kesehatan dan kesentosaan mereka. Pada 2015, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa 18 juta anak berusia 13-15 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan oleh rekan sebayanya di sekolah.
Sebenarnya, apa itu perundungan? Apa akibat perundungan? Dan, hal-hal apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah perundungan?
Ketika Empati dan Kecerdasan Emosional Absen
Perundungan atau bullying merupakan suatu perilaku agresif yang terjadi karena ada ketidakseimbangan kuasa (power). Perundungan biasanya dilakukan oleh seseorang atau suatu kelompok secara intens dan berulang kepada orang lain. Menurut UNICEF, perilaku perundungan memiliki tiga karakteristik dasar, yaitu dilakukan secara intens, berulang, dan ada relasi kuasa yang tidak seimbang. Bentuk perundungan cukup bervariasi dari intimidasi, pengucilan sosial, hinaan verbal, menyebar rumor/gosip, hingga serangan fisik.
Umumnya, perundungan juga terjadi karena dipicu oleh dinamika kelompok yang tidak sehat, seperti keinginan untuk mengekspresikan diri lewat cara yang negatif, atau melakukan eksperimen sosial yang dapat merugikan orang lain. Dalam banyak kasus, anak-anak atau orang dewasa yang terlibat sebagai pelaku perundungan tidak selalu menyadari dampak negatif yang ditimbulkan terhadap korban. Kebutuhan untuk divalidasi dan diakui kelompok atau masyarakat juga menjadi salah satu dorongan terbesar dalam perilaku perundungan (bullying). Penyebab lain terjadinya perundungan adalah pelaku yang kurang atau bahkan tidak memiliki empati sama sekali.
Dalam bukunya Empathy: Why It Matters, and How to Get It, filsuf Roman Krznaric mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk memahami konsep berpikir, perspektif, dan perasaan orang lain secara lebih mendalam. Artinya, empati bukan sekadar kemampuan untuk mengerti perasaan orang lain, melainkan juga kemampuan untuk mendalami kondisi orang lain melalui kacamata berpikir orang tersebut. Sikap ini lebih bisa dikategorikan sebagai projecting atau kemampuan untuk memposisikan diri dengan kondisi orang lain dengan menanggalkan sejenak pandangan dan value (nilai) yang kita anut. Sikap ini sangat penting untuk dimiliki semua orang, khususnya untuk mereka yang memiliki masalah dalam mengerti posisi orang lain dan rentan menjadi pelaku perundungan.
Selain ketidakhadiran empati, manajemen emosi yang buruk, seperti kemarahan (anger issue), juga menjadi salah satu pemicu terjadinya perundungan. Orang yang tidak mampu mengelola emosinya dengan baik cenderung akan menyalurkan emosi negatif mereka pada orang lain. Emosi tersebut sering kali berakhir dalam bentuk perilaku agresif seperti siksaan emosional yang merupakan bagian dari perilaku perundungan.
Psikolog Daniel Goleman, melalui bukunya yang berjudul Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ, juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional melibatkan empat komponen utama, yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan. Seseorang yang memiliki kesadaran diri yang baik mampu mengenali emosi negatif yang muncul dan mengelola respons mereka dengan bijak. Hal itu membuat mereka tidak perlu menyalurkan kemarahan atau rasa frustrasi yang dialami olehnya kepada orang lain, salah satunya melalui aksi perundungan. Artinya, persoalan manajemen emosi juga bisa menjadi penyebab dari adanya sikap agresif perundungan.
Sikap agresif perundungan juga bisa disebabkan dari pola asuh dan lingkungan tempat seseorang bertumbuh. Anak yang tumbuh dengan penuh tekanan, baik tekanan secara fisik maupun emosional, memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku sekaligus korban perundungan. Sebuah penelitian bahkan juga menyebutkan bahwa 11% pelaku perundungan berasal dari keluarga dengan pola asuh otoriter. Dalam beberapa kasus, pelaku perundungan juga berasal dari lingkungan keluarga yang memiliki masalah pengelolaan emosi yang negatif. Misalnya saja, anak laki-laki yang terbiasa melihat ayahnya melakukan kekerasan kepada sang ibu akan memiliki kecenderungan lima kali lipat lebih besar untuk melakukan kekerasan, bukan hanya pada pasangannya kelak, melainkan juga pada sejawatnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perundungan tidak hanya berkaitan dengan masalah psikologis-–ketiadaan empati dan pengelolaan emosi—melainkan juga masalah struktural dan kultural tentang bagaimana anak diasuh dan dibesarkan serta bagaimana lingkungan tempat tinggalnya memungkinkannya melakukan aksi perundungan.
Jika menjadi korban perundungan, kita harus bagaimana?
Menjadi korban perundungan tentu saja tidak mengenakkan. Praktik itu membuat korban menjalani hari-harinya dengan tidak tenang dan tentu saja memecah fokus serta konsentrasi yang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk kegiatan lain.
Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu lakukan apabila menjadi korban perundungan.
1. Catat insiden perundungan
Sebagai barang bukti, kamu bisa mencatat secara detail, seperti tanggal, waktu, tempat kejadian, dan kronologi kejadian perundungan yang kamu alami. Jika memungkinkan, kamu juga bisa melakukan dokumentasi, baik dalam bentuk foto maupun video, tentang kejadian perundungan tersebut.
2. Bicarakan dengan orang yang bisa kamu percaya
Setelah mengumpulkan bukti, kamu bisa mengkomunikasikannya pada orang yang benar-benar kamu percaya, seperti sahabat terdekatmu atau orang tua. Hal tersebut berfungsi sebagai bentuk upayamu untuk memperoleh dukungan emosional, sehingga kamu bisa menemukan solusi yang lebih baik dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
3. Laporkan ke pihak berwenang
Dalam menyelesaikan kasus perundungan, tentu saja kamu tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri. Kamu juga harus melibatkan pihak-pihak berwenang dalam menyelesaikan masalah tersebut, seperti dengan melaporkannya ke kepala sekolah, bagian akademik kampus, atau bagian SDM (Sumber Daya Manusia) di kantor, tergantung di mana aksi perundungan tersebut terjadi. Namun, jika tidak ada orang dalam lingkungan tersebut yang memungkinkanmu untuk membantu, kamu juga bisa melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib, seperti kepolisian. Seandainya tidak bisa juga, kamu bisa melakukan pelaporan pada LBH (Lembaga Bantuan Hukum), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) jika kamu masih di bawah umur, dan Komisi Perlindungan Perempuan jika kamu seorang perempuan.
4. Jangan merespons perundungan dengan kekerasan
Merespons perundungan dengan sikap kekerasan bisa menambah runyam masalah. Balasan dalam bentuk kekerasan semacam itu malah bisa diputarbalikkan oleh pelaku perundungan. Berhati-hati dalam merespons perilaku perundungan sangat perlu dilakukan. Dengan beberapa cara sebelumnya fokus mengumpulkan bukti itu sudah cukup bisa menjadi solusi yang mujarab ketimbang membalas dengan kekerasan.
5. Cari bantuan profesional
Setelah dalam kondisi yang lebih tenang, kamu bisa menyelesaikan trauma yang kamu alami dengan datang ke profesional, seperti psikolog atau psikiater. Hal ini bisa membantu kamu dalam meregulasi ulang kondisi mental kamu, sehingga kualitas hidupmu bisa menjadi lebih baik lagi.
Langkah-langkah di atas mungkin terlalu sulit dilakukan, mengingat pada kenyataannya, bertahan sebagai korban perundungan saja sangat sulit dilakukan. Terlebih lagi, kesadaran lembaga pendidikan dan lapangan pekerja mengenai perlindungan dari tindakan perundungan juga masih cukup rendah. Namun, langkah-langkah di atas membantu kita untuk berusaha menghadapi dan melawan perundungan ketimbang tidak melakukan apa-apa dan pasrah dengan keadaan.
Upaya Jangka Panjang Cegah Perundungan
Dalam kasus-kasus perundungan, sering kali banyak warganet (netizen) yang melakukan shaming kepada pelaku. Hal itu tidak jarang juga berubah menjadi cyberbullying. Hal yang perlu digarisbawahi adalah perundungan terjadi akibat adanya kegagalan dalam pola asuh maupun institusi pendidikan dan lingkungan sosial yang gagal dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk hidup dan bersosialisasi. Jadi, ikut-ikutan melakukan cancel culture atau cyberbullying malah semakin memperburuk keadaan yang berdampak negatif, baik pada korban maupun pelaku.
Untuk menyikapi berita terkait tindak perundungan, kita bisa menggunakan konsep ‘empathy’ yang dicetuskan oleh filsuf Roman Krznaric. Dalam buku itu, berempati bisa dilakukan dalam empat langkah sederhana, yaitu menumbuhkan rasa ‘penasaran’ tentang orang lain, mencoba membayangkan berada di posisi orang lain (projecting), berkomunikasi dengan orang yang ingin kita pahami, menyadari bahwa kita tidak sepenuhnya bisa memahami orang lain.
Dengan memahami konsep tersebut, kita bisa lebih fokus pada upaya pencegahan perilaku agresif perundungan di lingkungan tempat kita berada, baik itu di tempat tinggal, maupun pekerjaan.
Menyelesaikan masalah perundungan tidak hanya membutuhkan upaya individu, melainkan juga institusi. ~ Lintang Mardayati Share on XNamun, perlu diingat pula bahwa menyelesaikan masalah perundungan tidak hanya membutuhkan upaya individu, melainkan juga institusi. Di lingkungan pendidikan di mana anak kerap menjadi korban perundungan, melarang tindak perundungan dan menghukum sang pelaku saja rupanya tidak cukup jika tanpa disertai dengan alternatif solusi jangka panjang. Sekolah perlu merancang program atau aktivitas yang memungkinkan sikap positif dapat dipupuk dan tumbuh subur, seperti tolong-menolong, menerima keberagaman, dan kerjasama. Selain itu, sekolah perlu terus mengajarkan siswa-siswinya untuk menyelesaikan masalah melalui resolusi konflik yang positif dan tanpa kekerasan. Hal itu dapat dicapai apabila seluruh penghuni sekolah, termasuk guru dan staf, memiliki bekal untuk mendengarkan dan berdiskusi dengan anak dalam membangun disiplin yang positif.
Lintang Mardayati adalah penulis lepas yang suka bebas. Ia suka minum cafe latte tanpa gula dan jajan di Famima. Tertarik bidang filsafat, walau baru ngerti quotes nasihat. Penikmat comfort zone dan hidup seperti ‘Larry’.
Artikel Terkait
Menjadi Admin Akun Psikologi: Bukan Sekadar Berbagi, Tapi Juga Menerima
Di Catatan Pinggir ini, Ayu Yustitia berkisah tentang pengalamannya menjadi admin media sosial Pijar Psikologi. Ayu tersadar bahwa bahwa banyak orang di luar sana yang merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Pengalaman ini mendorong Ayu untuk mendorong kita semua untuk lebih baik kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita.Tanya Kenapa
Di usianya yang muda, Putri Hasquita Ardala sudah mengenyam banyak pengalaman tentang pentingnya kesehatan mental. Di Catatan Pinggir ini, Putri mengingatkan kita semua tentang panjangnya jalan menghadapi depresi dan bagaimana kita semua perlu meminta bantuan.Kamu Tidak Sendiri
Wajar saja kalau banyak orang merasa seperti berada di titik terendah saat menjalani sebuah fase hidup. Mereka yang sedang berada di titik terendah juga tak jarang merasa ‘tenggelam’ dalam masalahnya sendiri. Fase kritis tersebut menggambarkan kondisi psikologis yang sedang tidak stabil akibat stres yang sangat tinggi di waktu tertentu.