Menjalani Masa Remaja Lebih Mudah Jika Tinggal di Samoa
October 15, 2024Merenungkan Jejak Leluhur melalui Dunia Hewan
October 31, 2024Photo by Tempo
OPINI
Kabinet Besar Prabowo, Akankah Ulangi Kegagalan ‘Kabinet 100 Menteri’ Sukarno?
oleh Virdika Rizky Utama
Kabinet Merah Putih yang baru saja diumumkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto terdiri dari 109 pejabat, berisi menteri, wakil menteri, dan kepala badan setingkat menteri. Komposisi itu sebagian besar diisi oleh politisi dan tokoh-tokoh yang mendukung kampanye Prabowo selama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Langkah Prabowo mengingatkan kita pada masa akhir kepemimpinan Sukarno yang juga pernah membentuk ‘Kabinet 100 Menteri’ untuk memperkuat kekuasaannya. Pembentukan kabinet semacam itu berguna untuk mengakomodasi semua kekuatan politik yang ada. Bagi Sukarno maupun Prabowo, pelibatan hampir semua partai politik dianggap bisa secara efektif meredam oposisi dan menciptakan stabilitas politik.
Meskipun demikian, kompromosi semacam itu sebenarnya menunjukkan kurangnya kepercayaan terhadap perbedaan pandangan, termasuk pandangan politik yang independen. Apa bahayanya kalau pandangan seperti itu yang dipertahankan?
Ancaman bagi Pemerintahan yang Efisien
Pendekatan Prabowo menimbulkan kekhawatiran serius tentang efektivitas pemerintahan. Meski kompromi politik mungkin memberikan stabilitas jangka pendek, hal ini justru berisiko menciptakan pemerintahan yang lamban dan tidak efektif di masa depan. Indonesia, saat ini, menghadapi berbagai masalah mendesak, seperti pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang masih terseok-seok, ketimpangan sosial yang makin melebar, tantangan dalam pembangunan infrastruktur, dan sederet tantangan lainnya. Kabinet yang terlalu besar dan terpecah oleh berbagai kepentingan politik akan kesulitan menangani masalah-masalah itu secara terfokus dengan kecepatan yang diperlukan. Dengan 109 menteri dan wakil menteri yang mewakili beragam faksi politik dan kelompok kepentingan, proses pengambilan keputusan justru terancam tersendat dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan penting berisiko terhambat.
Ukuran kabinet yang terlalu besar membuat tata kelola pemerintahan justru semakin rumit. Pengambilan keputusan menjadi lambat, ketika banyak menteri dengan kepentingan politik berbeda harus dilibatkan. Mencapai kesepakatan di antara kelompok yang sangat heterogen ini dapat menunda kebijakan-kebijakan penting, sehingga menghambat kemampuan pemerintah untuk merespons masalah-masalah mendesak. Menteri-menteri yang bertanggung jawab di sektor-sektor strategis mungkin akan lebih memprioritaskan menjaga hubungan politik mereka, daripada melaksanakan reformasi yang diperlukan.
Pelajaran dari era Sukarno harusnya bisa menjadi pengingat untuk masa kini. Usaha Sukarno dalam mengakomodasi semua kekuatan politik guna mempertahankan kekuasaannya justru memicu terjadinya pertikaian internal dan melumpuhkan pengambilan keputusan yang gesit di pemerintahan.
Prabowo pun berisiko mengulangi kesalahan itu. Keberagaman kepentingan politik dalam kabinetnya bisa memicu konflik internal yang akan melemahkan kemampuan pemerintah dalam menjalankan kebijakan secara efektif. Pengangkatan pejabat yang didasarkan pada loyalitas politik, bukan kompetensi, hanya akan semakin melemahkan pemerintahan, terutama di kementerian-kementerian penting, seperti keuangan, kesehatan, dan pendidikan. Kementerian-kementerian itu, khususnya, membutuhkan pemimpin yang berpengalaman dan memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan yang kompleks.
Sekali lagi, Indonesia memerlukan pemerintahan yang efisien dan fokus serta bebas dari beban negosiasi internal dan pertimbangan faksi politik. Kabinet yang dibentuk atas dasar kompromi politik dapat mengancam akuntabilitas karena para menteri akan cenderung lebih mengutamakan hubungan politik mereka daripada melayani kepentingan publik. Kondisi itu juga menciptakan risiko turunan di mana para menteri enggan mengambil keputusan yang berani karena takut mengganggu keseimbangan politik di dalam pemerintahan.
Nasib Oposisi
Strategi ‘Kabinet Besar’ Prabowo juga mencerminkan upaya Sukarno untuk menekan perbedaan pendapat dan pandangan politik. Dengan melibatkan hampir semua faksi politik dalam kabinetnya, Prabowo menghilangkan peluang munculnya oposisi yang kuat dan independen. Padahal, dalam konteks demokrasi yang sehat, oposisi yang kuat sangat diperlukan untuk menegakkan akuntabilitas (keterbukaan) dan memberikan alternatif perspektif. Tanpa oposisi yang efektif, pemerintah berisiko menjadi tidak terkendali, otoriter, kurang transparan, dan rentan terhadap korupsi. Menekan perbedaan pandangan politik juga dapat menghambat proses berdemokrasi yang sehat dan merusak integritas sistem politik itu sendiri. Sebabnya, perputaran roda demokrasi kita tidak lagi didukung oleh oposisi yang menjadi mekanisme efektif untuk meninjau atau menentang kebijakan pemerintah.
Kehadiran faksi-faksi yang beragam dalam kabinet juga menimbulkan risiko terhadap kohesi (keterikatan) internal yang tak terkendali. Di tengah banyaknya suara yang saling bertentangan, para menteri mungkin akan lebih fokus menjaga posisi politik mereka dalam koalisi, daripada menjalankan tugas mereka dengan baik. Hal itu dapat menyebabkan kebijakan-kebijakan penting tertunda dan reformasi-reformasi krusial bagi pertumbuhan Indonesia, seperti pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, dan pemulihan ekonomi, gagal dilaksanakan.
Kabinet yang dibentuk atas dasar kompromi politik dapat mengancam akuntabilitas karena para menteri akan cenderung lebih mengutamakan hubungan politik mereka daripada melayani kepentingan publik ~ Virdika Rizky Utama Share on XStrategi Prabowo yang merangkul berbagai kepentingan politik, seperti yang dilakukan Sukarno, berisiko menciptakan pemerintahan yang lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan daripada melaksanakan pemerintahan yang baik. Masa akhir pemerintahan Sukarno, yang diwarnai oleh inefisiensi dan represi terhadap perbedaan pendapat, memperlihatkan bagaimana konsolidasi politik yang berlebihan dapat melemahkan proses demokrasi dan menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Sekali lagi, meskipun langkah Prabowo mungkin menciptakan stabilitas jangka pendek, ia berpotensi merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi Indonesia dalam jangka panjang.
Peringatan Terakhir: Kenapa ‘Kabinet Besar’ Berbahaya?
Merangkum pembahasan di atas, risiko dari pendekatan yang diambil Prabowo tidak hanya terbatas pada menghadirkan inefisiensi internal di pemerintahan, melainkan juga melahirkan pemerintahan tanpa oposisi yang kuat. Berbahayanya, kabinet yang lebih berfokus pada dinamika politik daripada pelayanan publik berpotensi menciptakan suasana politik yang pasif dan membuka peluang lebih besar pada terjadinya korupsi. Ketika loyalitas politik lebih diutamakan daripada kompetensi, para menteri akan merasa lebih bertanggung jawab kepada patron politik mereka daripada kepada rakyat. Hal itu dapat merusak integritas institusi pemerintah dan mengurangi efektivitas reformasi yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pada akhirnya, keberhasilan pemerintahan Prabowo akan dinilai dari kemampuannya menyeimbangkan kompromi politik dengan tata kelola yang efektif. Meskipun membentuk koalisi luas dapat memberikan stabilitas politik dalam jangka pendek, hal itu tidak boleh mengorbankan efisiensi pemerintahan. Fokusnya harus beralih dari menyenangkan kelompok-kelompok politik menjadi menyediakan kepemimpinan yang efektif dan berorientasi pada hasil. Jika loyalitas politik terus diutamakan daripada meritokrasi (pemilihan pejabat berdasarkan capaian kinerjanya), pemerintahan ini berisiko terjebak dalam konflik internal dan gagal menangani kebutuhan mendesak bangsa.
Dengan mengikuti jejak Sukarno yang di akhir masa pemerintahannya menekan berbagai perbedaan pendapat melalui kompromi politik, Prabowo menghadapi risiko besar terkait tata kelola pemerintahan yang tidak efektif dan kualitas demokrasi yang menurun. Sekali lagi, meski pendekatan itu dapat meredam konflik politik dalam jangka pendek, saya ingin menekankan berulang kali bahwa itu berpotensi menciptakan pemerintahan yang terlalu lamban dan terpecah untuk berfungsi secara efisien.
Di tengah tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini, Prabowo harus lebih mengutamakan kompetensi dan tanggung jawab daripada mempertahankan kekuasaan. Ukuran sejati kepemimpinannya adalah kemampuan pemerintahannya dalam menghindari kesalahan masa lalu dan membangun pemerintahan yang kompeten serta benar-benar efektif dibutuhkan Indonesia.
Virdika Rizky Utama adalah peneliti di PARA Syndicate dan dosen Ilmu Hubungan Internasional di President University.
Artikel Terkait
Membangun Dinasti di Negara Demokrasi: Geliat Politik Keluarga di Indonesia
Politik dinasti jadi penyakit demokrasi. Bagaimana demokrasi Indonesia bergulat dengan politik dinasti?Mengapa Kita Tak Bisa Jadi Pemilih yang Rasional
Meskipun dalam teori politik dan demokrasi seorang warga negara sering digambarkan sebagai manusia rasional, pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita sering dikuasai emosi. Memikirkan kembali Pemilu 2019 yang baru saja lewat, di Catatan Pinggir kali ini, Laila Achmad membahas mengenai sulitnya menjadi seorang pemilih rasional.Politik: Seni Berpikir Kritis Bukan Apatis
Ini akan terdengar sebagai suatu pembuka bacaan yang klise, namun kata ‘Politik’ sudah menjadi bagian dari makanan sehari-hari kita sebagai masyarakat Indonesia. Namun, apakah Politik itu menjadi asupan yang kita santap dengan penuh antusiasme?