Gemulai pun Tak Pernah Cukup
December 7, 2024Berita AI di Indonesia: Jurnalis Cenderung Memihak Bisnis dan Tidak Seimbang
December 22, 2024Photo by Kenny Eliason on Unsplash
OPINI
Seragam Profesi untuk Anak PAUD: Edukasi atau Indoktrinasi?
oleh Wahyu Agil Permana
Coba perhatikan, ketika pagi hari para orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), pernahkah kamu melihat mereka mengenakan seragam tentara atau polisi? Saya yakin kalau kita semua, masyarakat Indonesia, baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional, pernah melihat pemandangan itu, meskipun hanya sekali.
Tetapi, pernahkah kamu secara sistemik dan integral berpikir tentang urgensi dan relevansi penggunaan seragam profesi seperti itu? Atau, pernahkah kamu sekadar berburuk sangka bahwa itu adalah bentuk hegemoni warisan Orde Baru (pemerintahan Soeharto pada 1965-1998)?
Saya sedang berburuk sangka, tetapi bukan kepada Orde Baru, melainkan kepada fenomena penggunaan seragam tentara atau polisi oleh anak-anak PAUD di Indonesia. Dari sudut pandang budaya, saya menganggap itu sebagai ‘erosi kebudayaan’ dan dari sudut pandang pendidikan saya memandang itu sebagai ‘pembajakan karakter’.
Mengapa? Begini penjelasannya.
Eksistensi Seragam Profesi di PAUD
Dari pengamatan saya, penggunaan seragam profesi di PAUD itu mulai populer sejak 2010-an. Pada awalnya, penggunaan kostum profesi itu diperkenalkan sebagai bagian dari kegiatan tematik. Eksistensinya adalah sebagai seragam tambahan, selain seragam batik dan olahraga. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengenalkan berbagai profesi kepada anak secara variatif, seperti dokter, pilot, nakhoda, astronaut, termasuk juga tentara dan polisi.
Selain itu, kostum itu juga kerap digunakan ketika karnaval atau festival hari nasional. Di samping mengenalkan profesi kepada anak, tujuan lainnya adalah untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan serta untuk mengembangkan minat dan bakat anak sejak dini.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, formalitas penggunaan kostum atau seragam profesi di PAUD semakin meluas, tidak terbatas pada hari-hari besar tertentu. Beberapa PAUD, khususnya di daerah saya—di Lampung—bahkan secara rutin menetapkan hari khusus untuk memakai seragam profesi.
Hal itu diperjelas oleh mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, yang menggariskan aturan terkait seragam pendidikan di berbagai tingkatan, termasuk tingkat PAUD. Dilansir dari klikpendidikan.id, khusus untuk jenjang PAUD ditetapkan ada empat jenis seragam, yakni batik, pakaian putih-putih, pakaian olahraga, dan seragam tentara atau polisi.
Meski tujuannya adalah untuk menanamkan cita-cita bangsa dan mengenalkan profesi, saya tetap mempertanyakan: mengapa kostum profesi yang muncul dan ‘laris’ dipakai hanya yang itu-itu saja—tentara dan polisi?
Edukasi Profesi atau Pembajakan Karakter?
Pertanyaan di atas dapat kita jawab melalui sebuah pengamatan. Saya menilai bahwa hal itu menunjukkan peran guru PAUD dan orang tua yang terbilang ‘gagal’ dalam menanamkan pendidikan karakter kepada anak, karena hanya berfokus pada pengenalan profesi, bahkan profesi yang itu-itu saja. Coba kita perhatikan, berapa banyak guru atau orang tua yang mau berpikir lebih kreatif untuk memilihkan kostum di luar profesi mainstream—tentara dan polisi—tersebut? Hal itu berpotensi membuat imajinasi sang anak jadi tersempitkan menjadi dua pilihan saja: kalau bukan tentara (angkatan darat, laut, dan udara), ya polisi.
Kekacauan sistemik semacam itu semakin diperparah oleh pasar yang lebih banyak menyediakan kostum-kostum klise tersebut. Akibatnya, para orang tua, mau tidak mau, menempuh jalan instan dengan memilih kostum yang tersedia di pasaran.
Hal itu akan berimbas kepada pembentukan karakter anak yang seharusnya melibatkan pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai macam profesi lainnya. Anak-anak, sejak kecil, seolah ‘dipaksa’ untuk menjadi sama dan diseragamkan, sehingga menjadi berbeda terlihat seperti sebuah dosa.
Masyarakat kita, termasuk yang terjadi di dunia pendidikan, masih kerap menganggap mereka yang memiliki ketertarikan pada hal-hal di luar kebiasaan kultural sebagai hal yang tidak menjanjikan dan tidak ada masa depannya. Padahal, sebagai guru dan orang tua, penting bagi mereka untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak-anak mengenai kemuliaan profesi yang tidak bergantung pada seragam atau kostum semata.
Misalnya, profesi di bidang seni, sastra, atau yang lainnya dianggap kurang prestisius dibandingkan pekerjaan yang lebih bergengsi, seperti TNI, Polisi, dan lain-lain. Padahal, setiap profesi memiliki perannya masing-masing dalam membangun peradaban. Dengan mengajarkan anak-anak untuk menghargai keragaman profesi, kita sebenarnya sedang menanamkan benih empati, kreativitas, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Hal ini juga membantu menciptakan generasi yang tidak hanya fokus pada hasil material, tetapi juga mampu melihat nilai-nilai intrinsik dalam pekerjaan yang mereka pilih.Maka, tidak heran jika mayoritas anak-anak yang ketika ditanya, “Kalau sudah besar ingin jadi apa?” jawaban mereka pasti—tidak akan melesat—kalau bukan tentara, ya polisi.
Erosi Kebudayaan
Selain dapat menyempitkan pemahaman anak akan berbagai profesi lain yang tak kalah penting dalam masyarakat serta mempersempit ruang mereka untuk mengeksplorasi minat, bakat, dan kemampuan kreatif di luar profesi mainstream, ada urgensi dan dampak yang mesti dipertimbangkan secara kritis dari esensi kebijakan penggunaan seragam profesi ini.
Apabila aturan itu terus diberlakukan, ancaman akan terjadinya erosi kebudayaan menjadi tak terhindarkan lagi. Situasi itu bisa mengaburkan atau menganaktirikan peran dan nilai-nilai profesi lain yang memiliki peran penting bagi kelestarian budaya di masyarakat. Profesi-profesi itu antara lain pengrajin, seniman, pemangku adat, dan budayawan. Tanpa adanya pengenalan representasi profesi yang beragam di kalangan siswa PAUD, identitas dan profesi penting tersebut berisiko akan terpinggirkan, bahkan dianggap tidak lagi bernilai
Padahal, kita semua paham bahwa profesi yang berkaitan dengan isu kebudayaan itu penting untuk menjaga kelestarian budaya lokal kita, berikut kearifan dan khazanah yang menyertainya. Maka dari itu, penting bagi anak-anak untuk dapat mengenal profesi yang lebih beragam, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan, untuk memastikan mereka memiliki pengetahuan dan sensitivitas terhadap kebudayaan nasional.
Penggunaan Baju Adat: Bisakah Menjadi Solusi?
Ketimbang mengarahkan anak-anak mengenakan kostum profesi tertentu—tentara dan polisi—saya lebih setuju mereka mengenakan baju adat atau pakaian tradisional. Inisiatif ini sebenarnya sudah tercantum dalam Permendikbud 50/2022 yang menganjurkan para siswa mengenakan pakaian adat pada acara adat atau hari tertentu, berlaku sejak 7 September 2022. Meskipun harus diakui baru bersifat simbolis—bukan substantif—saya meyakini bahwa inisiatif ini lebih relevan untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan lokal.
Penggunaan seragam profesi polisi dan tentara di PAUD dapat menyempitkan pemahaman anak akan berbagai profesi yang tak kalah penting dalam masyarakat serta mempersempit ruang mereka untuk mengeksplorasi minat, bakat, dan kemampuan… Share on XKendati demikian, masih berkaitan dengan sifatnya yang simbolik semata, kebijakan itu terancam hanya akan menjadi ajang peragaan busana (fashion show) dan tidak secara efektif mampu menumbuhkan rasa nasionalisme yang memang konsepnya sangat abstrak. Selain itu, kondisi sosial-ekonomi siswa dan orang tua yang beragam juga perlu menjadi perhatian, mengingat membeli seragam atau pakaian adat sama artinya dengan mengeluarkan biaya tambahan di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini. Hal itu belum lagi diperparah dengan risiko pungutan liar (pungli) di sekolah yang selama ini merajalela berkat alibi pengadaan seragam sekolah.
Terakhir, perlu kita ingat bahwa pendidikan bukan untuk membentuk kita menjadi manusia pekerja (profesi), melainkan untuk memberikan pemahaman akan budi pekerti, nilai, kebijaksanaan, kemanusiaan, dan keadilan, serta cinta kasih universal, juga kebahagiaan.
Wahyu Agil Permana gemar menulis kegelisahan perihal fenomena sosial, kendati hanya dalam bentuk judul.
Artikel Terkait
Antara Baik dan Jahat: Mempersoalkan Dualitas Sifat Dasar Manusia
Sifat baik dan buruk manusia perlu dipandang secara dinamis dan fleksibel sebagai cara menyeimbangkan hidup.Hakikat Pendidikan yang Hampir Terlupakan
Pendidikan adalah suatu upaya terencana yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik tentunya bermacam-macam sehingga para pendidik hendaknya mampu melihat dan mengasah beragam potensi yang dimiliki peserta didiknya. Dengan penerapan pendidikan yang sesuai dengan hakikat pendidikan itu, peserta didik diharapkan bisa berkembang menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.Membangun Netizen Kritis dan Tangguh, Tugas Siapa?
Di Catatan Pinggir ini, Dr. Ni Made Ras Amanda G., Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana dan Pegiat Literasi Digital dari Japelidi, berbagi tentang pentingnya menjadi warganet yang bijak dan kritis. Bagaimana caranya?