Muhammad Rezky Utama
May 25, 2019Laila Achmad
May 25, 2019Makna
Pengaplikasian Trias Politika di Indonesia
Oleh Muhammad Rezky Utama
Banyak pertanyaan di masyarakat awam ketika harus masuk ke TPS pada Pemilu 2019 lalu, mengapa ada banyak surat suara yang harus dicoblos? Kenapa kita harus memilih DPR, DPD, Presiden, dan sebagainya? Apa beda fungsi tiap lembaga ini? Kemudian, ketika ada sengketa pemilu yang terjadi, mengapa harus ke Mahkamah Konstitusi dan bukan Mahkamah Agung? Dalam artikel ini, semua akan dibahas sebagai bagian dari Trias Politika di Indonesia.
Dalam buku karyanya, De l’Eprit des Lois, Montesquieu menjabarkan pembagian kekuasaan dalam suatu negara dan pemerintahan dapat dibagi menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiganya disebut sebagai Trias Politika.
Lembaga lembaga eksekutif dipimpin oleh kepala pemerintahan dan kabinetnya dalam melaksanakan undang-undang. Lembaga-lembaga ini menjalankan fungsi-fungsi administratif, diplomatik, militer yudikatif, dan legislatif. Kemudian, lembaga-lembaga legislatif adalah lembaga yang berfungsi mengawasi kepala pemerintahan dari tindakan yang sewenang-wenang. Sesuai namanya, lembaga ini juga menjalankan fungsinya untuk membuat hukum. Terakhir adalah lembaga-lembaga Yudikatif, yang berfungsi untuk mengawasi seluruh lembaga kepemerintahan dengan hukum yang berlaku.
Perjalanan penerapan Trias Politika di Indonesia dapat ditarik dari masa Kolonialisme Hindia-Belanda. Penerapan Trias Politika di Hindia Belanda baru dilaksanakan beberapa dekade setelah penerapan Politik Etis. Badan Eksekutif, Gubernur-Jendral, sudah ada sejak masa VOC dan bertindak sebagai administrator, legislator, dan penegakan hukum. Sementara badan legislatif Volksraad baru ada pada tahun 1918 sebagai lembaga penasihat pemerintah, sebelum menjadi lembaga ko-legislatif (karena gubernur jendral juga memiliki fungsi legislasi) pada tahun 1927. Sedangkan lembaga Hoogerechtshoof adalah lembaga pengadilan tinggi yang memiliki wilayah yurisdiksi sejak masa VOC bersama dengan Gubernur-Jendral.
Dalam prakteknya, pembagian kekuasaan ini belum sekompleks era reformasi setelah tahun 1998. Seorang Gubernur Jendral memimpin pemerintahan kolonial, panglima tertinggi KNIL (Kroninlijk Nederlands Indisch Leger) dan menjadi penjelmaan raja atau ratu belanda. Kemudian Hoogerechtshoof atau Pengadilan Tinggi, yang berkedudukan di Batavia (Jakarta), adalah lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif bagi seluruh wilayah kolonial. Dan lembaga terakhir adalah Volksraad atau “Dewan Rakyat” sebagai lembaga ko-legislatif di Hindia Belanda bersama dengan posisi Gubernur Jendral.
Setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, penerapan Trias Politika telah mengalami berbagai penyesuaian agar bisa diterapkan sebagai bentuk pembagian kekuasaan dalam negara ini. Perumusan pembagian kekuasaan pernah mengalami perubahan-perubahan pada awal masa kemerdekaan Indonesia, yang kemudian diwarnai dengan kehadiran partai-partai di dalam DPR. Indonesia juga pernah mengalami masa demokrasi semu yang menitikberatkan kekuasaan hanya pada eksekutif. Banyak sekali perubahan yang telah terjadi dalam sistem pembagian kekuasaan dari tahun 1945 hingga masa pasca-reformasi 1998.
Pada awal mula masa kemerdekaan, Indonesia masih menghadapi pergolakan eksternal dari Belanda dan internal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Bentuk pembagian kekuasaan pun berubah-ubah, dari negara yang Republik Indonesia Serikat yang mengadopsi sistem persemakmuran Inggris, kemudian menjadi demokrasi terpimpin, dan politik nasional yang dikuasai oleh beberapa golongan. Pada awal masa kemerdekaan Indonesia, fungsi eksekutif dilaksanakan oleh presiden dan menteri (dan pernah oleh perdana menteri), legislatif dilaksanakan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Pertimbangan Agung yang sempat menjadi DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat, serta yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hingga pada tahun 1959, konstitusi Indonesia dikembalikan pada UUD 1945.
Dari tahun 1959 hingga 1966, Indonesia mengalami krisis pembagian kekuasaan yang terjadi pada pergantian-pergantian menteri dalam kabinet, dan pembubaran-pembentukan DPR. Dalam rentan waktu ini, iklim politik di Indonesia juga naik turun seiring hadirnya Partai Komunis Indonesia dan kedekatannya dengan Sukarno. Pengaplikasian Trias Politika pada jangka waktu ini tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana fungsinya.
Kemudian pada masa Orde Baru (1966-1988), lembaga-lembaga negara yang memiliki fungsi asli sebagai lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah ada dan secara kelembagaan telah berdiri. Lembaga-lembaga tersebut adalah: Eksekutif: Presiden dan Kabinet; Legislatif: MPR (posisinya di atas presiden), DPA, dan DPR; Yudikatif: Mahkamah Agung. Tapi, pada pelaksanaannya, kekuasaan sangat dititikberatkan pada eksekutif, dan sebagian legislatif yang dikuasai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan Partai Golongan Karya.
Setelah mundurnya Suharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi dan redefinisi pembagian kekuasaan dalam pemerintahan melalui berbagai amandemen UUD 1945 serta undang-undang pendukungnya tentang lembaga pemerintahan. Pengaplikasian Trias Politika di Indonesia saat ini dibagi ke dalam Eksekutif (Presiden dan Kabinet), Legislatif (MPR, DPR, DPD), dan Yudikatif (MA, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial). Selain itu, Indonesia memiliki lembaga pengawas keuangan yaitu BPK yang sudah ada semenjak zaman Indonesia merdeka.
Eksekutif: Presiden dan Kabinet
Presiden, wakil presiden, dan para menteri menjalankan fungsi eksekutif dalam pemerintahan Indonesia. Hal ini diatur dalam Bab III dan Bab V UUD 1945 yang telah diamandemen. Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia dari segi sipil dan militer. Dan kementerian-kementerian adalah lembaga-lembaga pembantu presiden.
Presiden dan wakilnya dipilih secara langsung dalam pemilu dengan ketentuan kemenangan 50% plus satu dan setidaknya 20% di lebih dari setengah provinsi di Indonesia. Lima tahun adalah lama jabatan yang mereka emban dalam satu periode. Presiden adalah panglima tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dia juga memiliki wewenang lainnya sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. Sedangkan presiden dapat diturunkan oleh MPR melalui usulan DPR bila terbukti melakukan pelanggaran konstitusional. Dua jabatan ini adalah jabatan utama dalam pelaksanaan fungsi eksekutif di Indonesia.
Sementara itu, kementerian adalah lembaga yang dipimpin oleh menteri-menteri yang ditunjuk langsung oleh Presiden. Sebagaimana tertulis dalam UUD 1945, para menteri membawahi suatu bidang kekhususan tertentu untuk membantu presiden dalam menjalankan tugasnya yang pembentukannya diatur dalam undang-undang.
Legislatif: Majelis Perwakilan Rakyat
Setelah amandemen UUD 1945 mengenai MPR, MPR kini didefinisikan sebagai lembaga yang beranggotakan DPR dan DPD. Sedangkan sebelumnya, MPR adalah penjelmaan rakyat Indonesia yang berisikan masyarakat dari golongan-golongan dan utusan-utusan daerah di Indonesia. Lembaga ini berwenang untuk mengamandemen UUD, melantik dan memberhentikan presiden dengan aturan yang berlaku. DPR dan DPD kemudian memiliki kewenangan dan tugas yang lebih spesifik dan menjadikan MPR sebagai lembaga legislatif dua kamar.
DPD
DPD adalah suatu badan perwakilan daerah yang sebelumnya bernama “utusan daerah” dan berada di dalam MPR RI. Landasan hukum lembaga ini adalah UUD 1945 yang diamandemen, UU no. 7 tahun 2017, dan UU no. 2 tahun 2018 sebagai pengganti UU no. 17 tahun 2014 mengenai MD3. Lembaga ini memiliki fungsi pengajuan usul pada pembuatan undang-undang tertentu, dan turut serta mengawasi pelaksanaan undang undang melalui perwakilan-perwakilan provinsi.
DPR
DPR Republik Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah panjang hingga sampai pada kedudukannya saat ini. Keberadaan DPR RI saat ini diatur oleh UUD 1945 dan kemudian diatur dalam UU no. 2 tahun 2018 sebagai pengganti UU no. 17 tahun 2014. Anggota DPR RI dipilih langsung oleh rakyat dalam periode 5 tahun sekali. DPR memiliki fungsi legislasi dalam pembuatan undang-undang, fungsi persetujuan anggaran yang diajukan oleh presiden, dan fungsi pengawasan undang-undang dan APBN. Selain itu, DPR juga memiliki beberapa hak. Hak-hak tersebut adalah hak interplasi (hak meminta keterangan atas kebijakan pemerintah), hak angket (hak menjelaskan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah), hak imunitas (hak kekebalan hukum dan bebas dari tuntutan selama tidak melanggar tata tertib dank ode etik), dan hak menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah, tindak lanjut pelaksanaan hak interplasi dan hak angket, dan dugaan atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden atau wakilnya.
Yudikatif
Terakhir, fungsi yudikatif di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung adalah badan peradilan tertinggi di Indonesia yang membawahi badan-badan pengadilan hukum di Indonesia. Kemudian, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga pengawasan perundang-undangan di Indonesia. Dan Komisi Yudisial bertindak sebagai pengawas hakim-hakim di Indonesia.
Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, yang lainnya adalah Mahkamah Konstitusi, dan tidak dipengaruhi oleh eksekutif dan yudikatif. Lembaga ini membawahi peradilan negeri (sipil), peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pengadilan Agama, sebelumnya, berada di bawah Kementerian Agama dan baru diposisikan kembali ke badan Yudikatif pada tahun 2004.
Kekuasaan kehakiman MA diatur dalam UU no. 14 tahun 1970 yang menjadikan MA sebagai pengadilan negara tertinggi atau badan pengadilan kasasi bagi pengadilan-pengadilan yang ada di bawahnya. Dengan demikian, MA juga menjalankan fungsi peradilan, pengawasan, pengaturan, member nasihat, dan administrasi. Dan hal ini kemudian ditegaskan oleh TAP MPR No. X/MPR/1998 dan UU no. 35 tahun 1999 pengganti UU no. 14 tahun 1970 tentang ketentuan kekuasaan kehakiman yang memperkokoh independensi MA dari eksekutif. Dan pada tahun 2004, PTUN dan Peradilan Agama dipindahkan dari eksekutif ke MA.
Mahkamah Konstitusi
Selain MA, Indonesia juga memiliki mahkamah yang bertugas untuk mengawasi legislasi hukum di Indonesia, yaitu MK. Keberadaan MK adalah buntut dari pemikiran panjang konstitusional yang baru dapat terreaslisasi pada masa Reformasi. Diatur dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat 2, MK adalah salah satu kekuasaan kehakiman selain MA. Dan mengacu pada UUD 1945 pasal 24C ayat 1 yang ditegaskan pada UU no. 24 no 2003, kekuasaan MK meliputi pemutusan pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, pemutusan pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakilnya telah melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat seperti yang tertulis dalam UUD 1945. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, MK berhak dan berwenang untuk melaksanakan pembandingan hukum atau Judicial Review terhadap undang-undang yang dikeluarkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif.
Komisi Yudisial
Badan yudikatif terakhir adalah komisi Yudisial. Komisi ini dibentuk dengan tujuan untuk mengawasi hakim-hakim agar tidak melanggar kode etik kehakiman. Keberadaan lembaga ini diatur dalam amandemen UUD 1945 tahun 2001, pasal 24B, dan UU no. 18 tahun 2011 tentang perubahan atas UU no. 22 tahun 2004 mengenai Komisi Yudisial. Selain bertindak sebagai pengawas hakim, komisi ini juga bertugas untuk melakukan seleksi, penunjukkan, dan pengajuan calon hakim agung ke DPR. Keberadaan badan ini adalah wujud pengawasan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum di Indonesia.
Dari perjalanan panjang masa kemerdekaan hingga pasca- reformasi saat ini, karakter trias politika Indonesia memiliki kekhasan sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan, lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki peranannya masing-masing untuk berjalannya sistem pemerintahan di Indonesia. Jika dapat dijalankan tanpa korupsi, negara ini telah memiliki pranata dan instrumen yang kokoh dalam pembuatan hukum, pelaksanaan negara, dan pengawasan pelaksanaan pemerintahan.
Bacaan lebih lanjut
Referensi Budiardjo, M. (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia: Jakarta Kahin, G.M.T. (1952), Nationalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press Montesquieu, C.D., A.M. Cohler, B.C. Miller, H.S. Stone (1989), Montesquieu: the Spirit of Laws, Cambridge University Press http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_17.pdf http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf http://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/authority_and_duties https://mkri.id/index.php?page=web.Mahkamah&menu=2 https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175457/UU%20Nomor%202%20Tahun%202018.pdf |
Bacaan Lanjutan Presiden RI: www.presidenri.go.id MPR RI: www.mpr.go.id DPR RI: www.dpr.go.id DPD RI: www.dpd.go.id MA: www.mahkamahagung.go.id MK: www.mahkamahkonstitusi.go.id KY: www.komisiyudisial.go.id |
Muhammad Rezky Utama. Ketika berada di jenjang S1, Tama sempat tergabung dalam Kelompok Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional, dalam divisi Sentris pada tahun 2012-2014. Seusai kuliah S1, penulis bergabung dengan Metropolitan Toastmasters Club di Jakarta, dan menjadi presiden dalam periode 2017-2018. Tama kemudian menyelesaikan studi S2 pada tahun 2018 di Universitas Indonesia, Jakarta, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam. Setelah lulus, dia aktif menjadi peneliti lepas di Pusat Riset Timur-Tengah dan Islam (IMERC) Universitas Indonesia. Salah satu tulisannya yang pernah dipublikasikan berjudul “Islamic Cultural Center Jakarta: an Iranian Islamic Diplomacy”.