Serunai dan Seni
August 11, 2019Budaya dan Konstruksi Sosial: Bagaimana Kita Memahami Dunia
October 17, 2019OPINI
Jomblo: Sebuah Interpretasi Kemanusiaan
oleh Dadi Setiadi
Tulisan ini dibuat sebagai protes untuk membalas argumen bahwa jomblo sebagai komoditas wacana kekinian selalu dimaknai sindiran bagi orang yang tak laku. Tidak berhenti di situ, bahkan yang dicap jomblo seringkali dikasihani oleh orang-orang terdekat. Jomblo dianggap sebagai yang belum laku. Menurut saya, ‘belum’ itu bukan diksi yang mati, ia bergerak dan menuntut akan adanya proses, perjuangan dan waktu. Tapi kenapa stigma jomblo sebagai orang tak laku melekat erat tak kenal waktu? Tak kenal siapapun, bahkan tanpa ampun?
Bagi beberapa orang, bisa saja jomblo adalah pilihan warasnya, suatu keputusan yang ia ambil dalam proses penuh kesadaran. Termasuk saya, jomblo setidaknya ialah sikap amor fati yang berarti mencintai hidup dan karenanya memperjuangkan pilihan hidup. Jika benar demikian, bukankah upaya untuk memasung kesadaran penjomblo ini adalah hal yang tidak dapat dibenarkan?
Kesadaran penuh para penjomblo (mohon maaf) bukan untuk tidak mencinta. Para jomblo juga sejatinya pecinta. Lantas, mengapa jomblo? Pernah ada syair Arab mengatakan kira-kira begini:
“Aku berharap kau menjadi milikku, di masa yang tak menindas mawar dan puisi, tidak pula nay dan kewanitaan, tetapi sayang sekali kita datang terlambat, kita cari mawar cinta, di masa yang tak mengenal apa itu cinta.”
Cinta telah berubah, persona dan keindahannya kadung hilang melayang mengikuti arus kesukaan kita yang cenderung bangga padahal merusak. Karena itu, jomblo adalah salah satu pilihan atas kesadaran ini. Untuk itu, mari ketengahkan dulu konsep ‘cinta’.
Robert Stenberg dalam Triangular Theory of Love mengemukakan bahwa cinta yang paripurna (consummate) mesti melibatkan tiga kekuatan utama, passion, intimacy dan commitment.
Tiga kekuatan tersebut memang harus saling terkait dalam ikatan yang kita sebut ‘cinta’. Jika semata intimacy (keakraban), cinta yang lahir hanya sekedar rasa suka dan persaudaraan. Passion (gairah) yang menggebu hanya akan mementingkan hubungan fisik. Pun commitment atau komitmen dapat dihantui perselingkuhan karena tergoda dengan gairah yang dimulai dari keakraban dengan orang lain.
Hanya dengan komitmen yang jelas suatu hubungan dapat dimulai. Perlahan saling mengakrabkan diri terhadap mimpi dan segala angan, untuk lantas mencapai gairah ketika hubungan serius dengan komitmen penuh tercapai. Komitmen penuh ini biasanya berujung ke pernikahan.
Pusaran panasnya api cinta itu bukan mainan, ragam dan intensitasnya membuat kepala geleng-geleng karena bisa mengarah ke kekerasan. ~ Dadi Setiadi Share on XTapi, apakah sesederhana itu dalam kenyataannya? Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Aaron Ben Zeev, prioritas pernikahan masa kini justru cenderung menekankan cinta dan gairah sebagai prioritas. Lebih lanjut dikatakan, ketika cinta-gairah dianggap sebagai esensi pernikahan, sesungguhnya ia adalah pengalaman jangka pendek semata.
Pernikahan adalah sebuah kerangka kehidupan bersama yang melibatkan banyak faktor. Dengan kata lain, terkadang pasangan dalam pernikahan perlu bertahan bersama karena anak-anak, uang dan takut menghadapi kesepian. Pernikahan adalah menyoal untuk menghabiskan waktu bersama dalam sebuah hubungan yang rawan akan perselisihan. Karenanya, pernikahan bukan melulu soal bahagia atau tidak, bergairah apa tidak, melainkan sikap untuk memandang persoalan hidup secara bersama dengan kooperatif atau non kooperatif.
Dengan begitu, cukup beralasan lah bagi para penjomblo untuk belum berkelindan dalam cinta. Entah masih mempersiapkan diri atau belum cukup mampu menanggungnya.
Menjomblo berarti enggan memantik cinta dalam bara, didekatinya saja sudah panas apalagi digenggamnya. Pusaran panasnya api cinta itu bukan mainan, ragam dan intensitasnya membuat kepala geleng-geleng karena bisa mengarah ke kekerasan. Laporan yang disampaikan oleh Komnas Perempuan melalui catahu misalnya, disebut bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi adalah pacar, disusul ayah dan paman. Lingkaran kekerasan ini muncul tanpa ujung, sebab hadir dengan paradoks di dalamnya. Motif awalnya muncul ketika, misalnya, seorang laki-laki yang memohon maaf atas kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi. Sialnya, sebagaimana diaminkan oleh Psikolog Inez Kristanti, perempuan Indonesia cenderung percaya akan permintaan maaf tersebut meskipun kelak pasangannya melakukan berbagai ragam tindak kekerasan (lagi).
Dalam pengalaman pribadi pun, panasnya api cinta sering saya rasakan. Misalkan tatkala kami (sesama lelaki) berkumpul dengan kawan lain, termasuk mereka yang sudah punya pacar perempuan. Hal pertama yang sering saya dapat adalah tindak laku bully verbal atas kesadaran jomblo sebagai pilihan ini. Selain itu, tak jarang beberapa kawan malah membanggakan diri atas pacarnya yang telah ‘dirusak’. Merusak anak orang yang diurus mati-matian, apanya yang mesti dibanggakan?
Tubuh perempuan yang seringkali jadi korban eksploitasi fisik ini dianggap sebagai komoditas duniawi belaka. Alibinya ragam rupa. Atas nama cinta, mereka memberanikan diri menjamah tubuh orang.
Lelaki pun tak luput, di masyarakat dengan tradisi yang patriarkis ini seolah menjadi alat tekan untuk laki-laki agar lebih unggul dalam berbagai hal. Secara finansial, misalnya. Karenanya, sudah menjadi hal yang lumrah, ketika kencan laki-laki tak pelak merasa diembani tanggung jawab untuk mengeluarkan hasil kerja payahnya. Mereka ikhlas mengeluarkan hasil kerja lembur untuk cinta yang sesungguhnya juga mungkin berakhir entah di mana, apakah berlabuh di pelaminan atau justru kandas di tengah jalan.
Para jomblo berjuang untuk menjaga kemanusiawian perempuan dan laki-laki. Paling tidak berusaha untuk tidak saling berdekatan dalam wujud cinta yang tak jelas maknanya itu. Alasannya jelas. Gairah akan meningkat dan kian berpotensi tinggi melakukan ragam perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Memilih jomblo berarti mengambil dimensi lain dalam perjuangan untuk mengejar cinta sejati: the one. Ibarat kontemplasi dan memperbaiki diri, saya yakin jodoh ada dalam urusan Tuhan yang Maha Tahu dengan segala misterinya yang sempurna. Apakah misteri Tuhan itu termasuk merusak seorang perempuan atau laki-laki dalam hubungan asmara bernamakan pacaran itu? Oh, semoga maksud tulisan ini tidak diartikan sebagai gerakan anti pacaran.
Tulisan ini tidak bisa menerka misteri Tuhan dalam urusan cinta asmara dua manusia. Tapi yakinlah bahwa Tuhan tidak akan membenarkan perbuatan tercela, termasuk ‘merusak’ sebagaimana kebanggaan pacaran yang orientasi cintanya kadang jelas, tapi seringkali tidak.
Sebagai penutup saya teringat ada istilah dalam bahasa Belanda: eigenrichting, yang berarti main hakim sendiri. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan tindak-perilaku kekerasan secara inkonstitusi atau barbarian. Masalahnya, apakah kekerasan itu selalu dimaknai sebagai fisik dengan lemparan batu saja misalkan? Zaman telah berubah, gaes, begitu juga dengan jiwanya (zeitgeist). Barangkali kekerasan dalam bentuk verbal, psikis, pun fisik dalam kasus ini ‘merusak’ sebagaimana kebanggaan orientasi cinta-pacaran itu. Atau juga dengan memasung kesadaran untuk memilih jomblo. Itu kan kekerasan juga ya? Karenanya, tidak seperti pem-bully yang mengaku manusiawi, mereka hanya belum sadar, memasung pilihan jomblo dengan cap nggak laku-nya justru jauh tidak manusiawi.
Dadi Setiadi berdomisili di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Ia dapat dihubungi melalui media sosial Instagram di @dadihystoria_ . Dadi bekerja sebagai pendidik diperbantukan (guru honorer) di SMA Negeri 1 Kuningan, sebagai guru mata pelajaran Sejarah. Di samping menjadi tenaga honorer, ia juga menulis dan berharap dapat membagikan catatannya itu dalam berbagai media, baik media massa dan sosial. Beberapa tulisannya yang pernah dimuat adalah untuk kolom Wacana di Harian Pikiran Rakyat dengan tema “Menggali Inspirasi dari Jalan Siliwangi” serta “Sekolah, Militer dan Paradoks Bela Negara” di kolom opini detik.com pada tahun 2019.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini dan email kami di [email protected].