Nago Tejena
March 22, 2020Selamat Hari Bumi!
April 22, 2020OPINI
Modernitas yang Mengungkung Kartini, Modernitas yang Dituju Kartini
oleh Christopher Reinhart
(Asisten Peneliti Guru Besar pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University)
Kehidupan dan ide Raden Ajeng Kartini (setelah menikah bergelar Raden Ayu Kartini, 1879-1904) selalu dirayakan oleh masyarakat Indonesia setiap tanggal 21 April. Perayaan ini selalu penuh dengan pengutaraan ide emansipasi, hak, dan penghormatan terhadap sosok perempuan. Kartini selalu kita anggap sebagai seorang pejuang ide yang pada masa itu dikerdilkan oleh keadaan sosial yang mengungkungnya. Tapi, apakah kita pernah bertanya tentang asal mula alasan Kartini harus melawan? Apa yang menghadirkan tatanan sosial yang membelenggu perempuan Jawa pada masa itu?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat kita cari pada kisah hidupnya. Tatanan sosial masyarakat Jawa pada akhir abad kesembilan belas yang menjadi musuh Kartini itu adalah hasil dari perubahan sosial yang terjadi selama berabad-abad di Kepulauan Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mundur setidaknya enam hingga sepuluh abad.
Perempuan di Kepulauan Nusantara pada mulanya tidak berada pada posisi yang berbeda secara signifikan dibandingkan dengan laki-laki. Tetapi, kedudukan perempuan memang kemudian mengalami penurunan hingga pada tingkat yang akhirnya dialami oleh Kartini. Merosotnya kedudukan perempuan terjadi dari masa ke masa dan berjalan seiringan dengan modernitas yang berkembang. Dengan begitu , perkembangan modernitas di Nusantara menjadi paralel dengan penurunan kedudukan perempuan. Untuk memahami hal tersebut, saya akan memaparkan terlebih dahulu kondisi kedudukan perempuan dari masa ke masa.
Masa | Kondisi kedudukan perempuan |
Nusantara pra-Hindu-Buddha (sebelum abad ke-5) | Perempuan dianggap memiliki kualitas yang lebih (reproduksi) dan menikmati posisi tawar yang lebih tinggi dari laki-laki. |
Masa Hindu-Buddha (abad ke-5 hingga 15) | Mulai ada ide bahwa laki-laki memiliki keunggulan. Namun, perempuan masih memiliki posisi penting. Saya menduga tercipta kesetaraan pada masa ini. |
Kedatangan Islam dan perkembangan awal (Abad ke-15 hingga 17) | Ide tentang posisi unggul laki-laki mulai menguat dan kedudukan perempuan merosot secara drastis ketika Islam berkembang cepat (sebagai ideologi kontra dari datangnya bangsa Eropa) |
Datangnya kongsi dagang dan terbentuknya negara kolonial (Abad ke-17 hingga 20) | Posisi unggul laki-laki mengkristal menjadi kelaziman. |
Pascakolonial (setelah 1945) | Ketidaksetaraan menjadi standar, namun muncul usaha untuk mengubahnya. |
Sebelum pengaruh India menjadi kuat di kepulauan ini, perempuan menempati posisi vital dan sangat penting. Steven Warshaw menyebutkan bahwa kebudayaan yang dibawa masyarakat Melayu kuno dari Asia bagian tengah, menaruh hormat yang sangat tinggi kepada sosok perempuan. Penghormatan ini disebabkan oleh kapasitas reproduksi perempuan yang dianggap suci dan tentu tidak dapat disaingi oleh laki-laki. Karena itu, perempuan memiliki posisi tawar dan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Bahkan, karena kualitasnya yang tidak dapat ditandingi itu, perempuan bukannya memiliki posisi yang setara, melainkan justru lebih superior dibandingkan laki-laki pada zaman tersebut.
Pengaruh India di Nusantara
Perubahan kedudukan perempuan yang pertama kali terjadi ketika pengaruh India mulai menguat di Nusantara. Periode penetrasi kebudayaan India ini terjadi kira-kira pada abad ke-lima hingga sembilan Masehi. Pemikiran Hinduisme dan Buddhisme menaruh laki-laki pada kedudukan yang lebih superior. Sekalipun tidak secara tegas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang berbeda untuk mencapai tingkat Buddha, Buddhisme selalu menggambarkan seorang Buddha dalam wujud yang serupa laki-laki. Dengan demikian, terdapat kesan bahwa kebudayaan India tersebut jelas menaruh perbedaan di antara kedudukan laki-laki dan perempuan.
Pengaruh kebudayaan India ini masuk dan memengaruhi tatanan masyarakat Nusantara. Tetapi, masuknya pemikiran baru ini tidak serta merta mengubah kedudukan perempuan secara signifikan. Perempuan masih menikmati kebebasan yang luas dalam kehidupan sosial. Lebih lagi, kedudukan perempuan di dalam rumah tangganya tampak tidak berubah. Perempuan dapat menceraikan suaminya atas kehendaknya dan memiliki hak yang sama dalam hukum. Salah satu fakta terkuat yang menunjukkan bahwa posisi perempuan masih belum tergusur sepenuhnya pada masa ini adalah bertahtanya Dyah Gitaraja atau Tribhuwana (bertakhta, 1328-1351) sebagai raja wanita Kerajaan Majapahit. Melalui sumber epigrafi (ilmu tentang prasasti), kita melihat bahwa setidaknya perempuan memiliki kedudukan politik dan militer pada masa Majapahit. Tribhuwana sempat berperan sebagai raja wanita, komandan pembasmi pemberontak, dan anggota dewan pertimbangan raja. Kita dapat menyimpulkan bahwa laki-laki pada masa ini mulai menikmati suatu peningkatan kedudukan karena pengaruh kebudayaan India, namun kedudukan perempuan juga masih kuat. Dapat diasumsikan bahwa pada masa Hindu-Buddha ini tercipta suatu posisi yang setara di antara kedua jenis kelamin.
Kedatangan Islam
Perubahan lanjutan terhadap kedudukan perempuan terjadi ketika Islam menjadi sangat kuat pada abad kelima belas hingga tujuh belas. Tetapi, sekali lagi kebudayaan asing ini harus melalui negosiasi kebudayaan yang ketat dengan tradisi dan budaya Nusantara yang telah mapan.
Anthony Reid menjelaskan secara panjang lebar dalam bukunya bahwa kedudukan perempuan di wilayah ini pada abad ke-15 justru berkebalikan dengan kondisi yang terjadi di Eropa. Perempuan Nusantara menikmati kebebasan dalam bidang sosial-ekonomi maupun rumah tangga. Dalam bidang sosial-ekonomi, perempuan memiliki kedudukan yang tinggi sebagai saudagar dan kepala perdagangan. Jumlah perempuan yang tercatat sebagai pemilik bisnis di wilayah ini besarnya tiga kali lipat dibandingkan laki-laki. Selain itu, perempuan juga memiliki superioritas yang hebat dalam bidang seksual. Berkebalikan dengan Eropa yang menampilkan kenyataan bahwa perempuan dijadikan objek seksual bagi laki-laki, Nusantara justru menunjukkan fakta bahwa laki-laki merupakan objek seksual bagi perempuan. Namun demikian, kebudayaan Islam yang masuk semakin kuat secara perlahan mengubah kebiasaan-kebiasaan ini. Perempuan yang pada mulanya tidak berbeda dengan laki-laki dalam hal kebudayaan fisik (pakaian, aksesoris, dan lainnya), kini mulai diberi pembeda. Perubahan yang paling mencolok terlihat pada mulai tertutupnya pakaian perempuan dibandingkan pakaian laki-laki. Tapi, pada perkembangan awal Islam ini, kedudukan perempuan tidak secara drastis mengalami perubahan. Perubahan kedudukan itu hadir secara perlahan dan memang menyebabkan kebebasan perempuan pada akhirnya tidak seluas laki-laki.
Ketika perubahan kedudukan perempuan yang disebabkan oleh masuknya Islam tidak sedemikian drastis, apa yang kemudian membuatnya terdegradasi sepenuhnya pada abad kedelapan belas hingga dua puluh?
Penjajahan bangsa Eropa
Islam yang perlahan-lahan bernegosiasi dengan kebudayaan lokal sejak abad kelima belas tampaknya mengalami percepatan yang signifikan ketika bangsa Eropa berusaha menguasai perdagangan Nusantara pada abad ketujuh belas. Ketika bangsa Eropa mulai merangsek masuk, Islam dinilai sebagai antitesis yang dapat mempersatukan masyarakat untuk melawan ‘penyusup’ ini.
Bernard H. M. Vlekke jelas menyebutkan bahwa laut Nusantara dan pelabuhan-pelabuhannya adalah bandar bebas yang terbuka untuk segala bangsa. Namun demikian, kekuatan Eropa menjadi tidak diterima di wilayah ini karena menuntut konsesi, hak istimewa, dan monopoli. Penetrasi kekuatan asing yang dibawa Eropa tersebut pada akhirnya disambut dengan defensif oleh masyarakat. Hal ini membuat Islam berkembang dan mempenetrasi kebudayaan yang terdampak kekuatan Eropa dengan sangat cepat.
Dampak turut campurnya kekuatan Eropa dalam proses negosiasi kebudayaan yang terjadi antara Islam dan lokal ini menciptakan pula degradasi kedudukan perempuan. Kita harus melihat bahwa kebudayaan Nusantara, terutama Jawa menjadi sangat defensif pada masa ini. Kebudayaan ini menjadi defensif tidak hanya pada aspek komersil, tetapi juga pada aspek sosial yang di dalamnya mengandung posisi perempuan. Saya tidak dapat memberikan jawaban pasti atas apa yang menjadi penyebab degradasi posisi perempuan pada masa ini, tetapi bersamaan dengan masuknya kekuatan Eropa, posisi perempuan di Jawa mengalami kemerosotan yang signifikan.
Namun demikian, sangat mungkin bahwa perkembangan Islam yang sedemikian cepat sebagai reaksi atas kedatangan dan pengaruh Eropa turut serta membawa pengetahuan yang terbatas dan menjungkirbalikkan kedudukan perempuan. Bila kita setia pada argumen ini, kita akan melihat bahwa pengaruh Eropa adalah variabel yang tidak dapat dikesampingkan sebagai sebab kemerosotan kedudukan perempuan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kedudukan perempuan di Aceh yang tidak mengalami kemerosotan hingga penaklukan Aceh oleh Hindia Belanda pada 1905. Berbeda dengan kasus Aceh, kedudukan perempuan di Jawa telah mengalami kemerosotan sejak abad kedelapan belas, saat yang sama dengan turut campurnya Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) dalam kehidupan di Jawa.
Perempuan dan Modernitas
Lalu, apa hubungan antara kemerosotan ini dengan modernitas seperti yang saya singgung pada awal tulisan ini?
Dalam sejarah Indonesia, masa modern dimulai dengan masuknya pengaruh Eropa. Dengan demikian, sekalipun dapat diperdebatkan, modernitas diciptakan atas persentuhan dengan budaya Eropa. Hal ini pada akhirnya membuat sentuhan modernitas pada kebudayaan Nusantara yang paralel dengan masuknya pengaruh Eropa menyebabkan kebudayaan lokal bersikap defensif dan mengakibatkan kemerosotan kedudukan perempuan. Dengan kata lain, tanpa sentuhan modernitas Eropa tersebut, kedudukan perempuan di Nusantara tidak akan merosot secara drastis.
Sekalipun modernitas Eropa tidak secara langsung menyebabkan kemerosotan kedudukan perempuan, ia menjadi variabel yang penting. Tanpa hadirnya modernitas, kebudayaan lokal tidak akan menyelesaikan negosiasi budayanya dengan Islam secara sangat cepat dan dangkal hingga menciptakan tatanan masyarakat yang dialami Kartini.
Kamu sekarang memiliki akses yang luas terhadap informasi seperti ini, kan? Bukankah ini berarti perjuanganmu seharusnya lebih efektif daripada Kartini? ~ Christopher Reinhart Share on XDalam surat-suratnya, Kartini menyatakan ide persamaan hak antara perempuan dan laki-laki yang ia referensikan sebagiannya pada kenyataan sosial dan modernitas Eropa. Menjadi amat menarik bila kita memperhatikan bahwa modernitas yang dituju olehnya merupakan modernitas yang juga menjadi penyebab terciptanya tatanan masyarakat yang mengungkungnya.
Dengan demikian, modernitas merupakan dua sisi mata pedang yang dapat membawa kebaikan dan kemalangan. Selain memikirkan keunikan dua sisi modernitas ini, saya menjadi terpikir sebuah cara yang mungkin akan mengubah sejarah perjuangan Kartini pada masa itu. Seandainya Kartini memiliki akses yang luas terhadap catatan sejarah, ia akan dapat menyampaikan ide kesetaraan ini dengan lebih baik pada masyarakat sekitarnya. Kartini akan dapat menyampaikan bahwa perempuan-perempuan Jawa dari zaman kuno telah berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Dengan demikian, Kartini tidak akan dipandang membawa ide asing modernitas Eropa tentang persamaan gender, tetapi justru ide lokal Nusantara yang telah berakar selama berabad-abad.
Sayang sekali, akses terhadap informasi semacam itu tidak tersedia pada masa Kartini. Tapi, kamu sekarang memiliki akses yang luas terhadap informasi seperti ini, kan? Bukankah ini berarti perjuanganmu seharusnya lebih efektif daripada Kartini?
Daftar Sumber dan Bacaan Lanjutan
- Hall, D. G. E. 1955. A History of Southeast Asia. London: Macmillan.
- Lapian, Adrian B. 2017. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu.
- Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Owen, Norman G (ed.). 2005. The Emergence of Modern Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, 1450—1680: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor.
- Steinberg, David Joel (ed.). 1987. In Search of Southeast Asia: A Modern History. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Vlekke, Bernard H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.Warshaw, Steven. 1975. Southeast Asia Emerges: A Concise History of Southeast Asia from Its Origins to the Presents. Beverly Hills: Benziger.
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Sejak tahun 2019, ia menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University. Selain itu, kini ia terlibat dalam proyek penulisan trilogi sejarah Madiun di bawah Prof. Peter Carey. Minat utama penulisannya adalah sejarah sosial dan sejarah politik yang memiliki refleksi terhadap isu-isu kekinian. Ia dapat dihubungi melalui surel [email protected]
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini