Selamat Hari Bumi!

Bumi yang memperbersar pemukiman

Ide Utama

Dalam setahun mungkin banyak sekali hari-hari yang dapat kita rayakan. Pertanyaannya adalah hari-hari spesial apa saja yang akhirnya kita rayakan? Semua bergantung pada diri kita masing-masing dan mungkin dipengaruhi oleh visi-misi hidup, kepentingan yang sedang diperjuangkan, pengalaman hidup, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Sederhananya, kalau aku diberi pilihan harus merayakan Hari Musik Nasional atau Hari Pasar Modal Indonesia, aku mungkin akan memilih merayakan Hari Musik Nasional. Walaupun tidak terlalu ahli bermain musik, setidaknya aku merasa punya ketertarikan pada musik sehingga aku lebih mungkin merayakannya. Dari logika sederhana itu, apakah mungkin ada yang tidak merayakan Hari Bumi?

Secara fisik, hampir semua orang menghabiskan seluruh hidupnya di bumi. Seluruh siklus kehidupan manusia juga terjadi di bumi. Jadi, siapa yang benar-benar merayakan Hari Bumi? Sayangnya, tidak semua orang merayakannya. Dan buktinya adalah diriku sendiri. Selama 20 tahun tinggal dan dibesarkan di bumi, tahun lalu adalah pertama kalinya aku benar-benar merasa merayakan Hari Bumi.

Tidak hanya merayakan Hari Bumi pada tanggal 22 April, aku mencoba merayakannya setiap hari dan menghidupi makna sesungguhnya dari perayaan ini. Proses menuju kesimpulan bahwa setiap hari adalah Hari Bumi bukan jalan yang instan tetapi tidak begitu dramatis juga. Saat itu, misiku sebenarnya tidak semulia menyelamatkan bumi dari kehancuran, tapi lebih fokus pada rasa tidak nyaman pada kebiasaanku sendiri. 

Segala pengetahuan seadanya yang kupunya tentang lingkungan akhirnya berubah menjadi aksi setelah kegelisahanku mencapai titik puncak. Setiap kali datang bulan aku harus bergelut pada nilai yang ditanamkan ibuku dan ketidakrelaanku untuk lebih lagi menimbulkan masalah sampah. Sejak pertama kali datang bulan, ibuku selalu mengingatkanku untuk tidak membuang pembalut sembarangan. Aku harus mencucinya sampai bersih, membungkusnya dengan baik sebelum akhirnya dibuang. Setelah merantau hal itu mulai menggangguku. Setiap kali datang bulan aku harus menyiapkan banyak kantong plastik untuk membuang pembalut datang bulanku, belum lagi air yang terbuang karena aku harus mencuci pembalut yang akhirnya dibuang juga.

Setiap kegelisahan kita tentu mencari jalan untuk mendapatkan penyelesaian. Apakah kita memutuskan untuk mencari solusi atau menimbunnya dengan pikiran lain, hal-hal lain.  Keputusan yang kuambil saat itu (untungnya) adalah mencari solusi. Hal itu yang menuntunku untuk mencari tahu dan disitulah mataku seakan terbuka.  

Aku sangat setuju dengan pendapat langkah awal yang paling baik untuk menjaga bumi adalah mencari tahu keadaan bumi. Ketika kita tahu, semua akan menjadi lebih masuk akal. Perjuangan orang-orang terdahulu untuk memperjuangkan kepentingan lingkungan tidak akan terasa berlebihan lagi. Pengetahuan itu mungkin tidak akan membuat kita menjadi ahli lingkungan, tetapi pengetahuan tentang keadaan bumi saat ini akan membuat kita lebih ikhlas dan rela melakukan perubahan-perubahan kecil untuk menjaga lingkungan.

Semakin banyak yang kita ketahui akhirnya membawa kita kepada kegelisahan lain. Prosesnya tetap sama: Apakah kita menghadapinya dengan sebuah solusi atau mengabaikannya. Akhirnya semakin banyak solusi-solusi yang aku lakukan untuk memperbaiki bumi. Awalnya kukira ini hanya demi bumi, tetapi secara tidak sadar sebenarnya yang aku lakukan adalah memperbaiki diriku sendiri. 

Ada beberapa solusi yang dapat aku tawarkan berdasarkan pengalaman pribadi untuk menjadikan bumi lebih layak untuk ditinggali. Mungkin kegelisahan kita berbeda, tetapi untuk kegelisahan yang sama, kuharap kita akan mendapat jawabannya segera. 

Mengganti pembalut sekali pakai (disposable menstrual pad) dengan pembalut yang dapat digunakan kembali (reusable menstrual pad). 

Dengan segala resiko yang mungkin terjadi kedepan, saat itu aku dengan mantap memesan reusable menstrual pad pertamaku secara online. Hal yang kutahu saat itu, ini adalah pilihan seumur hidup. Aku tidak akan  mundur di tengah jalan dengan kembali memakai disposable menstrual pad. Keputusan ini tentunya dengan pertimbangan yang cukup panjang. Setelah melalui masa percobaan, memilih beralih memakai reusable menstrual pad tidak pernah menjadi penyesalan. 

Tidak membeli tisu lagi.

Tidak membeli tisu sebenarnya bukan berarti aku tidak pernah memakai tisu lagi. Tetapi aku hanya menggunakan tisu seperlu dan seadanya saja. Kini tisu kuganti dengan membawa sapu tangan. Setidaknya tidak ada drama tisu bertebaran saat aku sedang galau dan menangis sendirian (haha). 

Menolak plastik sekali pakai. 

Selain berdiri di depan kasir untuk menunggu struk kini aku punya kegiatan dan  kata-kata ampuh lainnya, ‘Tidak perlu pakai plastik ya, mbak.” Lalu menyerahkan tas kantong (totebag) kuning terang kebangganku. Hal yang ingin kugarisbawahi dengan perilaku menolak plastik sekali pakai adalah bersiap sebelum menolak plastik, pastikan kita membawa wadah untuk barang kita atau kita dapat membawanya tanpa wadah dan tidak kelihatan terlalu dipaksakan. Jangan sampai agar terlihat seperti pahlawanan, kita menolak plastik sekali pakai dan membeli totebag setiap kali berbelanja. Pada akhirnya totebag tersebut juga akan menumpuk di tempat kita dan kembali menjadi sampah. Bersiaplah selalu sebelum berbelanja. 

Membawa botol minuman sendiri. 

Selain untuk kepentingan bumi, membawa botol minum sendiri juga terbukti ampuh membantuku berhemat Ya, setidaknya diakhir bulan. Di acara-acara tertentu pun aku sering menolak minuman kemasan plastik. Hal itu sebenarnya bukan karena aku anti plastik, tetapi karena aku membawa minumanku sendiri. Lagi-lagi, hal tersebut membuat aku belajar, aku tidak hanya sekedar mengurangi sampah, tetapi juga berusaha menolak apa yang tidak diperlukan karena aku sudah merasa ‘cukup’. Selain itu, tidak membeli air kemasan bukan berarti aku tidak percaya dengan program perusahan air mineral dan janji mereka menjaga lingkungan, tetapi karena tidak satupun yang dapat menjamin sampah-sampah botol kemasan itu dapat berakhir ditempat daur ulang. Takutnya, dengan kebiasaan membuang sampah tanpa dipilah masyarakat Indonesia, botol-botol dan plastik kemasan ini malah nyasar di perut hewan-hewan menggemaskan seperti paus dan lumba-lumba. 

Secara fisik, hampir semua orang menghabiskan seluruh hidupnya di bumi. Seluruh siklus kehidupan manusia juga terjadi di bumi. Jadi, siapa yang benar-benar merayakan Hari Bumi? ~ Ivena Apulina Share on X

Kebiasaan mengurangi sampah ini kemudian membuat aku belajar banyak. Mulai dari membuat aku lebih sadar akan setiap tindakan dan keputusan yang hendak aku lakukan, selalu mencari alternatif yang tidak merusak lingkungan, sampai untuk hal yang lebih heroik, mencoba mengajak lebih banyak orang untuk lebih mencintai bumi dan segala isinya. Ketika berupaya untuk melindungi bumi, bumi lebih dulu membuat kita secara tidak sadar melindungi diri kita sendiri. Selamat Hari bumi kini juga berarti selamat mencintai diri sendiri!


Selamat Hari Bumi!

Ivena Apulina Br Ginting adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Ivena mencoba menggiati gaya hidup zero-waste sejak akhir 2018. Di semester dua perkuliahan Ivena ini, dia berkesempatan menjadi bagian dari BEM UI 2020 tepatnya di Departemen Lingkungan Hidup. Organisasi itu membuat dia merasa semakin dapat mengaktualisasikan dirinya. Isu lingkungan selalu menjadi ketertarikan tersendiri baginya. Ivena sering membagikan ketertarikannya pada isu lingkungan di Instagram @gadisssbumi yang dikelolanya untuk menjadi wadah bagi orang-orang yang tertarik pada isu lingkungan, perempuan, dan pendidikan. Selain itu Ivena juga aktif di instagram pribadinya @ivena.apulina dalam upaya mengedukasi dan menyebarkan isu lingkungan. 

Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini

This site is registered on portal.liquid-themes.com as a development site. Switch to production mode to remove this warning.