Pedagogi : Praktik = Teori
June 1, 2020Dimensi Politik dalam Rekrutmen Guru
June 2, 2020OPINI
Perempuan, Shift Kedua, dan Pandemi COVID-19
oleh Rouli Esther Pasaribu
Baru-baru ini, ada hal yang cukup ramai diperbincangkan di media sosial. Sebuah organisasi yang mendukung pemberdayaan perempuan, Queenrides, menggelar sayembara berbagi pekerjaan rumah tangga dengan hashtag #CowoJugaBisa. Dalam sayembara ini, laki-laki diminta untuk mengunggah video sedang mencuci piring di akun Twitter dengan menggunakan hashtag #CowoJugaBisa dan tag akun Twitter Queenrides pada video tersebut. Pihak Queenrides akan memilih lima orang pemenang dengan total hadiah Rp 500.000.
Di satu sisi, banyak yang menanggapi positif kampanye ini, tetapi banyak juga pihak yang kurang setuju, dengan alasan sayembara seperti ini melakukan glorifikasi terhadap laki-laki yang mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan akibatnya malah semakin menyuburkan pandangan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah bagian dari ranah domestik yang harus dikerjakan oleh perempuan. Sementara, jika laki-laki mengerjakannya, ia hanya membantu saja, bukan yang mengambil inisiatif utama.
Saya tidak akan berpanjang lebar membahas pro dan kontra soal sayembara ini. Tetapi, baik pihak yang setuju maupun tidak setuju dengan sayembara ini tentu sama-sama mengakui pekerjaan rumah tangga memang masih dianggap sebagai pekerjaan yang harus dilakukan oleh perempuan.
Ketika kita memasuki masa karantina mandiri pada bulan Maret lalu akibat pandemi COVID-19, secara halus, konstan dan konsisten, pemikiran bahwa perempuan yang paling bertanggung jawab terhadap kerja perawatan terus terlihat di berbagai media massa.
Pada tingkat negara, misalnya, Kementerian Perempuan, Keluarga dan Pembangunan di Malaysia menghimbau perempuan untuk tidak berbicara dengan nada sarkasme terhadap suaminya terkait pekerjaan rumah tangga, karena laki-laki kerap kali harus diberitahu terlebih dahulu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Himbauan ini mendapat tentangan yang cukup keras dari aktivis gerakan perempuan di Malaysia. Para aktivis mempertanyakan kenapa kementerian tidak membahas isu kekerasan rumah tangga yang semakin bertambah sejak kebijakan diam di rumah ini diberlakukan. Himbauan dari kementerian ini menunjukkan pemahaman bahwa perempuan diasosiasikan dengan ranah domestik dan harus menjadi pemrakarsa pekerjaan rumah.
Dalam level yang lebih kecil, setiap hal yang terkait dengan membantu anak mengerjakan tugas karena harus belajar dari rumah juga diasosiasikan dengan perempuan. Misalnya, beredar meme bergambar dua anak kecil yang sedang menelepon, salah seorang anak bertanya, “Gimana rasanya belajar di rumah?” dan dijawab oleh satu orang anak lagi, “Aku tak sanggup lagi. Mamaku lebih galak dari ibu guru di sekolah…bawaannya marah-marah melulu…” Reaksi pertama, kita akan tersenyum melihat meme seperti ini, tetapi sesungguhnya di balik meme yang kita anggap lucu ini, ada satu kebenaran yang serius: ranah domestik termasuk di dalamnya mengurus anak masih dianggap sebagai ranah perempuan.
Salah satu artikel di koran Kompas daring juga merangkum pengalaman beberapa ibu yang harus mendampingi anak-anaknya mengerjakan berbagai tugas sekolah dari rumah sementara di satu sisi ia juga bekerja. Sekalipun dalam artikel ini kata ‘orang tua’ digunakan untuk menyebut ayah dan ibu yang mendampingi anaknya untuk belajar dari rumah, jika artikel ini dibaca dengan teliti, yang dimaksud dengan ‘orang tua’ di sini diwakili oleh ibu.
Pada tahun 1989, seorang sosiolog Amerika Serikat bernama Arlie Russell Hochschild menerbitkan buku berjudul The Second Shift. Buku ini memuat hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam mengenai pembagian kerja rumah tangga terhadap 50 pasangan suami istri yang sama-sama bekerja.
Hochschild mengemukakan bahwa sekalipun laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja, perempuan tetap menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hochschild mengistilahkan fenomena ini dengan sebutan ‘the second shift’ (shift kedua), dengan pemahaman ‘the first shift’ atau shift pertama adalah pekerjaan profesional perempuan di ranah publik dan ‘the second shift’ adalah pekerjaan perempuan yang kedua setelah selesai jam kantor, yaitu pekerjaan di ranah domestik seperti memasak, membereskan rumah, dan mengurus anak.
Hari ini, lebih dari 30 tahun setelah buku ini diterbitkan, sejauh mana sudah terjadi perubahan kondisi pembagian kerja rumah tangga dalam sebuah keluarga? Bagaimana pembagian kerja perawatan di dalam rumah? Siapa yang punya inisiatif, siapa yang harus bergerak dulu untuk, katakanlah memasak, membersihkan kamar mandi, mencuci dan menjemur baju, menyapu dan mengepel lantai, mengurus anak-anak? Siapa yang menjadi pekerja utama dan siapa yang tugasnya ‘hanya’ membantu dalam tugas-tugas ini?
Jika kondisinya adalah suami yang bekerja dan istri tidak bekerja, wajar jika istri jauh lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Suami memang tersita waktunya dari pagi hingga sore untuk mengerjakan berbagai pekerjaan kantor, jadi tidak mungkin juga ia membolos kerja demi mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga.
Tetapi, bagaimana kasusnya jika suami dan istri sama-sama bekerja penuh waktu? Dalam kondisi normal, suami dan istri yang mampu secara finansial dapat mengusahakan berbagai sistem pendukung, seperti mempekerjakan asisten rumah tangga atau meminta sedikit bantuan keluarga untuk turut mengasuh anak.
Tetapi, pada kondisi pandemi seperti beberapa bulan terakhir ini, di saat kita dianjurkan sesedikit mungkin kontak langsung dengan orang lain, sistem pendukung itu mungkin tidak dapat berjalan sebagaimana biasanya. Tersisa suami dan istri yang sama-sama bekerja penuh waktu. Pertanyaannya, siapa yang mengerjakan berbagai macam pekerjaan rumah tangga ini?
The Jakarta Post menurunkan artikel yang membahas tentang siapa yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga terutama di masa darurat COVID-19. Dalam artikel ini, dikatakan bahwa perempuan yang juga sama-sama bekerja seperti suaminya, bahkan ada yang sedang mengandung, mengerjakan pekerjaan rumah tangga jauh lebih banyak dibanding suaminya. Suami turut mengerjakan, tetapi tidak sebanyak istri. Di artikel ini, Lily Puspasari dari United Nations Women in Indonesia menyatakan bahwa perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga empat kali lebih banyak dibanding laki-laki. Kita mungkin berpikir, mengapa para istri ini tidak protes soal pekerjaan rumah tangga? Mungkin sudah protes, tapi tetap saja kondisi tidak begitu berubah secara signifikan. Suami ambil bagian dalam pekerjaan perawatan, tapi sifatnya lebih ke membantu. Atau, ia mengerjakan tapi harus disuruh dulu.
Sebenarnya, dalam basis harian, yang lebih melelahkan itu adalah mengatur setiap pekerjaan rumah tangga terselesaikan dengan baik, bukan melakukan pekerjaannya itu sendiri. Berpikir tentang baju yang belum dicuci, makan siang yang belum dimasak (atau dipesan), pekerjaan rumah anak yang belum diperiksa, sprei yang belum diganti dan mendelegasikan tugas-tugas tersebut: mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan suami atau anak.
Memikirkan, mendelegasikan dan mengerjakan semua urusan rumah tangga ini sudah satu kegiatan yang menguras energi tersendiri. Ini belum termasuk berbagai pekerjaan kantor. Benarlah apa yang dikatakan oleh Hochschild: Second shift alias shift kedua itu nyata adanya. Bedanya, di masa pandemi ini, first shift dan second shift ini tumpang tindih dan saling bertabrakan pelaksanaannya, karena semua dikerjakan dari rumah. Lebih melelahkan daripada pembagian first shift dan second shift di masa normal.
Pekerjaan rumah tangga adalah sebuah kewajaran bebas gender untuk melangsungkan kehidupan. ~ Rouli Esther Share on XGerakan feminisme memperjuangkan perempuan untuk masuk ke dunia kerja. Dunia kerja yang dikuasai laki-laki, kini dapat dimasuki perempuan. Perempuan berjuang, berkarya, membuktikan diri bahwa ia kompeten dalam bekerja. Tetapi, mengapa fenomena shift kedua ini tidak mengalami perubahan?
Kutipan tulisan Katrine Marcal di bawah ini kiranya dapat membantu kita untuk lebih memahami terus bertahannya fenomena shift kedua: “Perempuan memasuki pasar tenaga kerja tapi laki-laki tidak memasuki rumah dengan taraf yang sama. Gagasan kita tentang batas antara dunia kerja dan kehidupan keluarga belum berubah secara fundamental.”
Setidaknya sampai tulisan ini diturunkan, konflik kerja dan mengurus rumah tetap akan menjadi masalah perempuan saja karena memang hanya perempuan yang dituntut untuk menyeimbangkan segalanya. Jadilah perempuan yang kuat, yang mampu melakukan segalanya. Kerja profesional, anak terurus, rumah pun rapih. Kalaupun bukan kamu yang mengerjakan sendiri, jadilah manajer rumah tangganya. Pastikan semua beres, delegasikan tugas. Singkat cerita, seimbangkan karir dan keluarga. Berstrategilah, berkaryalah, banggalah dengan kemampuan multitasking.
Di mana laki-laki saat perempuan dituntut mampu mengerjakan segalanya? Ia tetap tenang fokus dengan pekerjaannya. Tidak dapat diganggu, tidak dapat diusik dengan pekerjaan rumah tangga. Baik, aku akan melakukan bagianku, sedikit buang sampah dan pasang air mineral galon. Baik, aku akan bantu mengganti popok anak kita. Aku akan mampir ke pasar swalayan untuk membeli susu kaleng yang sudah habis.
Mencuci, menjemur baju, memasak, menyapu, mengurus anak adalah life skill yang memang amat wajar dikerjakan setiap manusia. ~ Rouli Esther Share on XKuncinya ada pada apa yang ditulis oleh Marcal: “Perempuan memasuki pasar tenaga kerja tapi laki-laki tidak memasuki rumah dengan taraf yang sama.” Jadi selama laki-laki tidak berusaha maksimal untuk serius mengerjakan pekerjaan rumah tangga seserius perempuan mengerjakannya, maka fenomena shift kedua akan terus berlanjut.
Menyeimbangkan kerja dan rumah itu harus menjadi isu bersama tanpa melihat jenis kelamin. Konsep laki-laki membantu pekerjaan rumah tangga ini harus diubah. Di sini tidak ada yang membantu atau dibantu, seharusnya siapapun itu yang mau melangsungkan kehidupan, harus mau dan harus mampu mengerjakan berbagai macam pekerjaan keseharian ini. Pekerjaan rumah tangga adalah sebuah kewajaran bebas gender untuk melangsungkan kehidupan.
Mencuci, menjemur baju, memasak, menyapu, mengurus anak adalah life skill yang memang amat wajar dikerjakan setiap manusia. Kita semua butuh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini agar kehidupan harian kita tetap dapat berlangsung dengan nyaman. Tidak perlu berjenis kelamin tertentu untuk mampu mengerjakan semua life skill ini.
Apakah kita semua siap untuk mengikis perlahan fenomena shift kedua? Hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya.
Rouli Esther Pasaribu adalah dosen Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Fokus risetnya adalah sastra perempuan Jepang dan Indonesia dan kajian media dengan perspektif feminis. Kontak: e-mail [email protected], akun instagram @rouliesther atau facebook Rouli Esther Pasaribu.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini