Melihat Kota dalam Gelembung Kenormalan Baru
July 4, 2020Matinya Cendekiawan Kampus
July 18, 2020
OPINI
Privilege Lulusan S1 di Dunia Kerja
oleh Lana Banatulhusna
Aku sedang berusaha menyelesaikan portofolioku ketika menuliskan cerita ini. Sepertinya sudah saatnya aku mencari pekerjaan, hampir empat bulan aku menikmati masa menganggurku setelah berhenti bekerja dari sebuah perusahaan di Jakarta.
Sambil menyusun portfolio, jadi muncul beberapa pertanyaan. Siapa ya yang akan membaca portfolioku? Lalu level apa yang aku cari? Apakah aku sudah memenuhi standar dari perusahaan tersebut? Seperti pengalaman, skill, dan pendidikan. Hal tersebut membuatku mengingat-ingat tentang beberapa kolega di tempatku bekerja sebelumnya. Jabatan mereka, bagaimana mereka melakukan pekerjaannya, sampai apa pendidikan terakhirnya.
Soal pendidikan terakhir. Berdasarkan pengamatanku, beberapa kali aku melihat ada kolega yang masuk kerja langsung menjadi seorang manajer atau memimpin kelompok kerja (lead). Aku jadi membandingkan mereka dengan diriku sendiri. Saat itu, aku sudah bergabung dengan perusahaan selama hampir dua tahun. Menurutku, yang aku lakukan untuk perusahaan sudah banyak. Aku juga bisa secara mandiri mengatur proyek yang masuk dan sudah kenal dengan kebanyakan orang di perusahaan sehingga komunikasi pun sudah lancar.
Setelah kepo tentang pengalaman mereka, perbedaan mencolok di antara kami adalah pendidikan terakhir. Aku lulusan S1 dan mereka lulusan S2. Kalau aku perhatikan, semua manajer dan lead di kantorku saat itu bergelar S2. Walau kadang mereka juga tidak lebih tua, bahkan ada yang lebih muda usianya daripada aku.
Dulu, seminggu sekali kami satu tim berkumpul, tujuannya untuk saling update tentang pekerjaan masing-masing. Namun, sebelum memulai menceritakan perkembangan pekerjaan masing-masing, biasanya lead senior kami akan mengajukan pertanyaan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Tujuannya agar semua team saling mengenal satu sama lain di luar pekerjaan.
Salah satu pertanyaannya meminta kami menceritakan alasan mengambil jurusan waktu kuliah. Kami juga diminta menyebutkan nama universitas kami dan jurusan yang kami ambil.
Beberapa dari rekan kerjaku ternyata kuliah di universitas yang sama walau beda angkatan atau jurusan. Oh, pantas mereka seperti sudah familiar satu dengan yang lain, pikirku. Universitas mereka adalah kampus impianku ketika SMA. Ketika giliranku bercerita, kebanyakan kolegaku belum pernah mendengar nama universitasku. Sampai akhirnya aku harus menjelaskan di mana lokasi kampusku tersebut.
Ingatan itu membuatku membuka tab di Google Chrome kemudian menuliskan di kolom pencarian “apa keuntungan lulusan S2 di dunia kerja?”. Kebanyakan artikel yang keluar menyebutkan kalau salah satu keuntungannya adalah pelamar pekerjaan bisa langsung menjadi manajer.
Aku setuju dengan beberapa penjelasan lain yang aku temukan di internet. Contohnya, kolega dengan pendidikan S2 lebih berani mengungkapkan gagasan berdasarkan pemikirannya sendiri yang digabungkan dengan teori yang sudah ada. Mereka pun cenderung lebih terstruktur dalam bekerja, baik masih dalam persiapan sebelum mengerjakan sebuah proyek, sampai merapikan dokumentasi ketika proyek itu selesai.
Contoh lainnya, ketika kami sedang berdiskusi, beberapa kolegaku cenderung diam, tidak ikut menyuarakan pendapat. Ketika diskusi selesai aku baru tahu kalau kolegaku ini merasa suaranya tidak penting dibandingkan mereka yang punya pendidikan S2 dan lebih vokal ketika berdiskusi.
Sesungguhnya aku pun merasa demikian. Selain itu, kalau memang orang lain sudah menyuarakan apa yang aku juga pikirkan, aku tidak merasa perlu berbicara banyak.
Sebenarnya ada tidak sih keistimewaan atau previlege yang didapatkan orang-orang sepertiku aku yang lulusan S1? Apalagi yang bukan dari universitas lima besar di Indonesia?
Daripada hanya menatap iri mereka yang S2 dan dari universitas terkenal, aku memutuskan untuk melihat beberapa hal yang bisa jadi privilege-ku di perusahaan tersebut.
Pertama, aku punya pertimbangan teori dan praktik sebelum mengambil keputusan. Contohnya ketika membuat sebuah desain, sebagai seorang desainer, aku memang bertanggung jawab dengan estetika dari rancanganku. Di sisi lain, harus ada alasan jelas di balik rancangan itu. Alasannya bisa berupa teori yang sudah ada atau bisa juga berdasarkan fakta yang ada.
Bekerja sama dengan bersekolah, banyak yang bisa dipelajari baik dari teori buku, masalah yang ditemukan saat bekerja, dan juga dari bekerja sama dengan banyak orang. ~ Lana Banatulhusna Share on XKedua, aku merasa aku bisa belajar dari siapapun. Ini salah satu poin yang aku suka. Bertemu dengan kolega yang berpendidikan S2, biasanya mereka senang membicarakan teori. Dari situ, aku bisa secara tidak langsung belajar dari mereka dan mengaplikasikannya di pekerjaanku. Di saat yang sama, aku juga menambah wawasanku.
Ketiga, aku bisa jadi penghubung antara semua kolega. Ingat kan tadi aku sempat bercerita tentang beberapa rekan kerjaku yang cenderung menjadi pasif dan merasa tidak didengar? Biasanya aku selalu memposisikan diriku sebagai pendengar untuk mereka. Aku tidak bermaksud memberikan solusi, tapi mengajak mereka bersama-sama menyuarakan pemikiran saat berdiskusi. Karena, aku yakin, pada dasarnya setiap orang hanya ingin didengar.
Keempat, membuat tantangan untuk diri sendiri. Aku bukan tipe orang yang ambisius, tapi aku selalu punya pertanyaan “what if?”. Hal ini membuatku selalu ingin mencoba banyak hal. Bedanya dengan kolega yang sudah S2, aku harus berusaha menaikkan levelku dengan cara membuat goals untuk diriku sendiri. Biasanya aku menyampaikan tujuan ini kepada lead dan memberitahukan apa saja yang akan aku lakukan untuk mencapainya. Mungkin saat memulainya akan terasa membingungkan. Tapi seiring berjalannya waktu, setiap langkah yang aku kerjakan membantuku mencapai tujuan.
Menurutku, pada akhirnya, bekerja sama dengan bersekolah, banyak yang bisa dipelajari baik dari teori buku, masalah yang ditemukan saat bekerja, dan juga dari bekerja sama dengan banyak orang.
Setelah ini, aku jadi semakin ingin lekas menyelesaikan portfolioku. Selalu ada banyak hal yang bisa dipelajari, yang nantinya bisa menambah nilai (value) untuk diriku sendiri. Satu poin tambahan lainnya yang selalu aku ingat adalah bukan cuma aku yang dinilai oleh perusahaan, tapi aku juga bisa memberi penilaian untuk perusahaan tersebut. Sehingga tidak ada salahnya mencoba melamar untuk posisi yang lebih tinggi dari posisi lamaku di perusahaan sebelumnya. Aku yakin, skill yang aku miliki sekarang sudah berkembang dibandingkan aku empat tahun lalu.
Terima kasih sudah membaca!
Lana Banatulhusna sudah lama menggeluti bidang desain. Pekerjaannya selalu berhubungan dengan komunikasi yang dirangkai dalam sebuah ilustrasi. Sekarang Lana bekerja sebagai Visual Designer yang membuatnya belajar mengenai perilaku manusia dalam perkembangan industri teknologi.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini