Membaca ‘Gilang Bungkus’ dari Kacamata Ilmu Sosial
September 2, 2020Merangkai Bahasa Visual untuk Ilmu Sosial
September 4, 2020OPINI
Sibuk Tanda Kesuksesan, Tidak Sibuk Tanda Kemalasan?
oleh Ainayya
Saya pernah dinilai oleh teman sendiri malas dan tidak mau berusaha. Memang hanya sebuah lontaran candaan. Tapi saya tidak suka. Saya punya kegiatan, juga sedang melakukan sesuatu yang tentu tak lepas dari kata berusaha. Lantas kenapa saya dicap seperti itu? Tapi, dari sebuah candaan yang tidak saya terima, saya lebih mengenal diri sendiri.
Mahasiswa identik dengan kata aktif. Seperti sekarang sedang jamannya mahasiswa sambil berbisnis. Ada yang sambil bekerja, atau mahasiswa ahli nongkrong demi menambah pertemanan. Dan banyak lagi mahasiswa ‘sambil–sambilan’. Di luar dari tujuan keharusan dan kebutuhan hidup, mahasiswa dengan segudang aktivitas dan kesibukannya dinilai sebagai contoh pencapaian yang baik. Dalam masyarakat kita, kesibukan menjadi pencapaian bahkan penilaian individu yang hebat. Bahkan sering kali kesibukan diartikan sebagai tanda kesuksesan. Akhirnya kesibukan menjadi suatu nilai tolak ukur.
Saya mungkin setuju jika dianggap malas dan tidak mau berusaha. Hanya karena saya jarang memposisikan diri saya sebagai orang sibuk. Apakah pantas kesibukan dipakai sebagai tolak ukur pencapaian dan kesuksesan, bahkan dijadikan tolak ukur kemalasan dan tidak mau berusaha?
Sebagai mahasiswa penerima beasiswa, tentu tuntutan kuliah saya lumayan berat. Hal ini memberikan saya fokus tersendiri. Seperti di waktu aktif kuliah, saya lebih mementingkan beberapa prioritas untuk segera diselesaikan. Kemudian mengerjakan hal yang lain lagi. Sedangkan kebanyakan teman saya sesama penerima beasiswa memilih untuk memiliki banyak prioritas. Hal ini menjadikan saya terlihat malas dan tidak mau berusaha. Karena saya minoritas, perbandingan inilah dasar dari candaan tersebut. Padahal ini hanyalah perbedaan cara manusia mengerjakan sesuatu.
Contohnya, jika diberikan 10 hal, saya tipikal yang akan memilih 2 dari 10. Memilih hal paling prioritas, kemudian mengerjakannya hingga selesai. Baru kemudian saya mengambil lagi yang lain, seperti mencicil. Jika sisa hal tersebut tidak bisa saya dapatkan, setidaknya saya sudah melakukan hal yang menurut saya pantas diprioritaskan. Tapi, saya dikelilingi banyak orang yang akan mengiyakan 10 hal secara langsung dan memiliki keinginan untuk menyelesaikannya secara bersamaan. Nyatanya selesai dengan instan hanyalah mitos kalau kita tidak mengerti prioritas dan manajemen waktu yang baik.
Ada riset yang menunjukan perbedaan orientasi manusia dalam mengerjakan sesuatu: orang produktif dan orang sibuk. Yang selama ini kita tahunya kesibukan itu produktif. Ternyata bukan. Orang sibuk dan orang produktif itu berbeda, tapi sama–sama menunjukkan produktivitas. Kalau ditanya, saya lebih mirip dengan tipe orang produktif.
Mungkin akan ada yang bilang saya punya 1001 alasan membela diri supaya nggak dibilang malas. Menjadi orang produktif dengan beberapa prioritas justru sudah cukup membuat kita terlibat banyak kegiatan. Fokus mengerjakan sesuatu membuat orang produktif peka terhadap detail dan menghargai dengan baik apa yang sedang dikerjakan. Sedangkan bagi orang produktif yang sudah terbiasa dengan detail, menjadi sibuk mungkin merupakan hal yang sulit.
Seperti yang dikemukakan David Strayer dan Jason Watson, psikolog dari University of Utah: otak manusia pada dasarnya tidak bisa melakukan banyak hal di saat bersamaan (multitasking). Manusia diciptakan untuk fokus. Pelaku multitasking membuat manusia tidak bisa menolak memikirkan hal yang tidak dikerjakan. Hasilnya? Menjadi tidak fokus. Kita bisa bertanya: Berapa banyak orang yang sibuk, tapi benar–benar menyelesaikan semuanya sesuai dengan tenggat waktu dan hasil yang maksimal? Kalau ada, seberapa sering itu terjadi? Atau apakah dia benar–benar melakukannya sendiri? Yang paling penting, seberapa besar mereka memaknainya?
Sebuah studi di Amerika Serikat dalam Journal of Experimental Psychology memperlihatkan bahwa multitasking memperlambat 40% kinerja. Contohnya, saat saya sudah menyelesaikan tugas dari beberapa hari sebelumnya dan tinggal menunggu tanggal pengumpulan. Banyak teman golongan orang sibuk baru sempat mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam sebelum besoknya dikumpulkan. Perbedaannya tentu terlihat dari bagaimana kita memaknai tugas tersebut. Tugas bermanfaat untuk mengasah pengetahuan bukan sekedar ‘yang penting ngumpulin’.
Pada akhirnya, tidak ada yang lebih dan kurang karena hidup akan selalu ada yang datang dan akan ada yang pergi, tinggal bagaimana kita memaknainya.” ~Ainayya Share on XBuat saya, orang sibuk dengan banyak hal memberikan pengalaman yang baik. Tapi hanya untuk mereka yang benar–benar memaknainya. Bukan sekedar ingin dinilai keren dan hebat. Seperti salah seorang teman yang dengan cepat mengenal banyak teman atau dosen di kampus karena dia memaknai kesibukannya untuk memperluas koneksi. Namun sebagai makhluk yang tercipta untuk fokus, kesibukannya untuk memperluas koneksi juga membuat dia harus meninggalkan beberapa kelas atau tidak fokus di kelas karena lelah. Semua ini terjadi karena akan selalu ada hal yang dikorbankan untuk mendapatkan hasil yang baik.
Sayangnya, kebanyakan orang egois dengan diri mereka sendiri. Maksud hati memilih untuk memiliki banyak kesibukan karena tidak mau kehilangan kesempatan ini dan itu. Tapi membuat mereka meninggalkan kelas, tidak fokus kelas, dan tentu akan mempengaruhi nilai. Karena mereka selalu mudah tertarik dengan hal besar di depan mata. Orang produktif lebih sering mempertimbangkan hal sebelum mereka mengerjakannya. Mungkin beberapa mahasiswa terlihat hanya menjadi kupu–kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang) karena beberapa orang sadar ada prioritas lain yang harus ditanggung, seperti tugas banyak, kelas banyak, kuliah mahal, dan akhirnya percaya akan ada kesempatan di lain waktu yang pas.
Memang terkadang orang produktif terlihat seperti tertinggal dari orang sibuk. Pada akhirnya, tidak ada yang lebih dan kurang karena hidup akan selalu ada yang datang dan akan ada yang pergi, tinggal bagaimana kita memaknainya. Saya harap orang lebih peka dalam memahami dan menghargai perbedaan pola pikir, karakter, bahkan kemampuan masing-masing orang. Kalau baik menurut kita belum tentu cocok untuk orang lain. Kita harus bisa menerapkan pepatah yang bilang “banyak jalan menuju Roma” di kehidupan sehari-hari.
Aku Ainayya dipanggil Nayya. Mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwista Trisakti penerima beasiswa unggulan Kemendikbud tahun 2017, jurusan perhotelan. Saya suka di dunia pastry dan berharap bisa jadi pastry chef. Suka dengan hal – hal tentang sosial manusia. Karena hal itu menjadikan kita lebih menghargai sesama mahluk hidup. Harapan kedepannya bisa membuat Mama bangga karena aku sayang Mama.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini