Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan: Ironi Pembangunan yang Berkelanjutan
March 9, 2021Nenek moyangku adalah masyarakat tangguh: Kearifan Lokal dalam adaptasi perubahan iklim
March 18, 2021OPINI
Politik dalam Desain
oleh Yoel Sumitro
Pada September 2011, di sebuah ruang kuliah di kota Seattle, AS, ada sekitar 30 orang mahasiswa yang sedang berdiskusi tentang sifat asli dari desain. Apakah objek desain itu netral? Atau apakah desain itu berpihak dan berkubu?
Pihak yang pertama merasa bahwa desain itu netral seperti benda mati. Layaknya sebuah gergaji, ia tidak mungkin berpolitik. Siapa yang menggunakan gergaji lah yang bisa berpolitik. Apakah orang tersebut akan menggunakannya untuk membangun rumah, atau untuk menjadi seorang pembunuh berantai seperti di film Saw(2004), itu adalah pilihan masing-masing pengguna gergaji. Duduk di bangku kelas itu, gue adalah salah satu orang yang lebih percaya mazhab mulia ini. Gue percaya bahwa desain itu netral. Sistem, organisasi, lingkungan, dan pelaku di sekitarnya lah yang menentukan kepada siapa sebuah desain akan berpihak. Secara pembawaan asli, desain (baik nilai produk, proses, maupun metodenya) bersifat putih dan non-blok. Namun, dalam 10 tahun terakhir, gue pun mulai hijrah ke mazhab yang berada di kutub seberangnya yang percaya bahwa desain itu berpolitik–bukan hanya itu, politik yang dimainkan pun terkadang kotor.
Walaupun secara halus, setiap metode atau proses di desain menunjukkan keberpihakannya. ~Yoel Sumitro Share on XBukti yang gue, sebagai “mualaf” yang pindah kepercayaan atas sifat desain, sering pakai sebagai contoh adalah mitos tentang jembatan buatan Robert Moses. Konon Moses, yang membuat desain jembatan menuju pulau Long Island di New York, Amerika Serikat, sengaja memenuhi sebuah agenda politik dengan cara membuat rencana jembatan dengan batasan tinggi kendaraan yang pendek. Kata orang, hal ini dilakukan supaya bus umum tidak bisa melewatinya. Ketika hanya kendaraan pribadi yang bisa menuju pulau tersebut, voila! pantai-pantai di pulau tersebut otomatis menjadi tempat rekreasi eksklusif untuk kaum menengah ke atas yang dominannya berkulit putih. Kaum menengah ke bawah yang dominan berkulit hitam (yang biasanya menggunakan bus umum) secara efektif dipersulit untuk bisa mengakses tempat-tempat ini. Dengan ini, negara bagian New York berhasil “membersihkan” suatu area dari anggota ras dan kelas ekonomi tertentu tanpa perlu menunjukan bahwa mereka ternyata masih sama rasisnya dengan negara bagian-negara bagian di bible belt (negara bagian-negara bagian di Amerika Serikat yang penduduknya dominan Kristen Protestan Evangelis konservatif)– sebuah desain yang ciamik walaupun kotor.
Tentu saja, mitos di atas belum cukup untuk memberikan hidayah buat gue untuk percaya bahwa desain itu tidaklah suci–bahwa ia bisa bermain kotor dalam metode, narasi, nilai, pendidikan, dan komunitasnya. Gue akan coba untuk memberi dua contoh permainan kotor desain, khususnya dalam metode dan nilai.
Walaupun secara halus, setiap metode atau proses di desain menunjukkan keberpihakannya. Sebagai ilustrasi, kita ambil sebuah metode yang paling populer di dunia desain: design thinking atau pola pikir desain. Di dokumen resmi “Dasar Pengadaan & Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia“ yang disusun oleh Kemenparekraf Indonesia, pola pikir desain didefinisikan sebagai “metode berpikir yang secara dinamis mendorong ragam pendekatan dan tindakan yang didasari keinginan untuk menciptakan inovasi sebagai solusi”. Keberpihakan jelas ada di definisi ini. Dalam kasus ini, yang dapat dilihat dengan paling mudah adalah keberpihakan pada inovasi dan solusi. Keberpihakan ini mendukung pendekatan tekno-solusionis (sebuah pendekatan yang melihat desain yang baru atau inovatif akan selalu bisa menjadi Mesias (penyelamat). Mazhab ini lebih terkesan patriarkis, karena solusi yang baru akan lebih dihargai (mendominasi yang dianggap lebih tidak berharga) daripada nilai-nilai matriarkis dimana menjaga, merawat, dan mendukung sesuatu yang mungkin sudah dimiliki dari lama terkadang dianggap sebagai solusi yang lebih baik (memanfaatkan power from within).
Terlebih lagi, pola pikir desain ini juga menunjukkan keberpihakannya pada sebuah kepercayaan bahwa desainer adalah kaum elit dan ahli yang mampu memecahkan semua masalah calon pengguna produk mereka. Dalam 10 halaman penuh, manuskrip yang ditulis oleh gabungan asosiasi desain di Indonesia ini mencoba menjelaskan secara runtut tahapan-tahapan dalam pola pikir desain. Namun, dalam 5 tahapan tersebut, peran calon pengguna direduksi hanya sebagai objek riset dan testing, Tidak ada satupun kalimat yang menyatakan (secara tersurat atau tersirat) bahwa calon pengguna bisa menjadi subjek (pengambil tindakan) dalam proses desain tersebut. Dalam teks di atas, desainer adalah ahli, bukan fasilitator.
Jelas, metode ini adalah mimpi buruk untuk bapak desain segala bangsa, Victor Papanek, yang mengatakan bahwa “Semua orang adalah perancang desain”. Dalam pandangan Papanek, semua orang turut merancang dalam proses desain dan tidak ada pemisah antara siapa yang hanya bisa berperan sebagai objek atau subjek. Pola pikir desain memang sering dikritisi sebagai sebuah metode elitis dimana desainer bekerja layaknya bouncer di depan sebuah klub malam. Mereka boleh menentukan kapan dan di mana calon pengguna dirasa layak dan cukup pintar untuk berpartisipasi dalam proses desain. Siapakah metode penentang mazhab politik elitis ini? Ada bermacam-macam. Mulai dari metode design dari Nordic yang berpusat pada cara co-creation (kreasi bersama) sampai designerly thinking yang berfokus pada kerangka berpikir dan kemampuan desainer.
Dari sisi nilai produk, permainan politik kotor desain bisa lebih kasat mata. Jembatan-jembatan Robert Moses abad 21 bisa ditemukan di aplikasi-aplikasi dalam smartphone di genggamanmu. Beberapa bulan lalu di Twitter gue sempat melempar sebuah pertanyaan; Pantaskah gue meminta seorang pengemudi Gojek untuk mengemudi sejauh 12 kilometer cuma supaya gue bisa makan sebungkus nasi dengan daging maling? Setelah itu, gue juga ajukan pendapat bahwa ada beberapa praktik gig economy (sistem dimana orang mendapat pekerjaan secara sementara, salah satu contoh pekerja dalam gig economy adalah pekerja lepas) yang sebetulnya adalah sebuah bentuk perbudakan modern. Langsung saja, smartphone gue penuh dengan risakan dari pengicau di Twitter. “Dasar SJW lu!” “Hidup dibikin rumit banget, sih!” “Kan mereka dibayar, Bambang!”.
Desain aplikasi berbagi-tumpangan ini ternyata sudah berhasil membuat mayoritas penggunanya kapalan ketika menekan tombol pesan sehingga kehilangan sensitivitas atas hubungan interseksionalitas dari pembeli dan mitra pengemudi. “Karena gue sudah bayar, ya nggak apa apa gue minta tolong mitra pengemudi untuk mengantri minuman bola tapioka berjam-jam. Mitra pengemudinya bisa memilih kok. Kalau mereka tidak mau mengambil pesanan dari gue ya tinggal tolak!”
Ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada di antara pembeli dan mitra pengemudi ini dilegalkan, diperbesar, dan dibuat normal oleh desain aplikasi ini. Sebuah kenyataan pahit di mana desain yang kita lempar ke dunia bisa memberikan penyebaran manfaat dan mudharat yang tidak merata bagi penggunanya. Lebih parah lagi, seringkali desain kita hanya akan mereplika, meneruskan, atau memperbesar ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik yang sudah ada di masyarakat pengguna desain kita–Menjadikan kita Moses-Moses junior di tahun 2021.
Pindah ke tahun tahun 2017. Gue baru saja menyelesaikan sebuah presentasi di kantor salah satu perusahaan aplikasi berbagi tumpangan di Ho Chi Minh, Viet Nam. Premis utama dari presentasi satu jam yang gue berikan adalah bagaimana perusahan tempat gue bekerja waktu itu telah memberikan harapan ekonomi palsu bagi para mitra pengemudi, memanipulasi pilihan mereka, dan menjebak mereka dalam sebuah kondisi pekerjaan yang tidak layak. Country Manager perusahaan tersebut untuk Viet Nam lalu bertanya, “Did you just say that our design actually abuses our driver-partners (Maksudmu desain kita sebetulnya menyalahgunakan dan memanipulasi mitra pengemudi kita)?”.
Dari nada bicaranya, dia terdengar tersinggung. Gue ambil waktu beberapa detik sebelum menanggapi pertanyaannya, “Yes, I think so. Our design does abuse them (Ya. Saya pikir begitu. Desain kita beneran memanipulasi mereka).” jawab gue.
NB: Kalau gue berhasil mengganti satu dua worldview kamu tentang desain, artinya gue berhasil membuktikan juga kalau desain bisa berpolitik dalam narasinya. 😀
Bacaan Lebih Lanjut
- Ruined by Design (Mike Monteiro)
- Decolonizing Methodologies (Linda T. Smith)
- Research as Resistance (Leslie Brown)
- So You Want to Talk About Race (Ijeoma Oluo)
Yoel Sumitro pertama kali belajar bahwa desain suka bermain politik saat ia masih duduk di bangku kuliah University of Washington, Seattle. Tetapi, ia baru banyak melihat praktek kotornya secara langsung di jalan-jalan penuh asap dan debu di Bangkok, Jakarta, Hanoi, dan Kuala Lumpur ketika ia bekerja sebagai Senior UX Researcher untuk Uber. Pada 2018, ia pulang kampung ke Indonesia dan mulai memimpin tim desain di perusahaan kapitalis Bukalapak dan tiket.com. Impiannya adalah untuk suatu hari menjadi penulis seperti Elizabeth Pisani yang mengatakan “Iya” untuk semua ajakan yang ditujukan padanya. Penulis bisa dihubungi melalui twitter @SumitroYoel
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini