Tidak Ada Pengungsi yang Ilegal
April 28, 2021Mengulik Fenomena Fandom di Era Teknologi Komunikasi
May 4, 2021OPINI
Tumbal Penegakan Pilar Ekonomi Negara dalam Pandemi
oleh Muhammad Zaky
“Kita tahu cara membangkitkan ekonomi. Yang kita tidak tahu adalah cara membangkitkan orang mati.” – Nana Akufo Addo, Presiden Republik Ghana
Setelah menantang Harvard dan mengeluarkan beberapa guyonan terkait pandemi Corona, pemerintah Indonesia akhirnya mengambil langkah serius dalam menghadapi pandemi ini. Keseriusan ini ditunjukan dengan pembuatan kebijakan, mulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), hingga PPKM mikro. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah membatasi kegiatan di masyarakat. Uniknya, pada kebijakan-kebijakan tersebut terdapat ketidakseimbangan dalam pembatasan kegiatan. Pekerjaan yang berbasis perekonomian harus tetap dilakukan di lapangan, sedangkan di luar kegiatan yang berbasis perekonomian tidak diperbolehkan. Contohnya, pemerintah mewajibkan para pekerja untuk melakukan 75% pekerjaannya di rumah secara daring (yang mana dalam penerapannya justru kurang dari itu. Nyatanya, jalanan di Jakarta masih dipadati oleh kendaraan pekerja setiap hari kerja) dan selebihnya baru boleh untuk dilakukan di kantor. Proyek pembangunan harus tetap berjalan 100%, begitu juga dengan layanan kebutuhan pokok masyarakat. Sementara itu, untuk kegiatan dalam bidang pendidikan, sosial dan budaya dilarang pelaksanaannya secara tatap muka. Dari sini, saya melihat bahwa pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dengan hanya memprioritaskan aspek perekonomian demi menguntungkan kelas atas. Apalagi, kekurangan-kekurangan dalam kebijakan ini dengan mudahnya ditambal dengan jargon “patuhi protokol kesehatan” yang terkesan mengesampingkan keselamatan masyarakat Indonesia hanya untuk mempertahankan perekonomian.
Bukan masalah kalau jargon tersebut diikuti dengan standar perilaku sadar kesehatan yang mumpuni. Sayangnya, jargon tersebut hanyalah sebatas kata-kata. Menurut data dari www.covid19.go.id, terdapat ribuan orang yang terpapar virus Corona setiap harinya. Data tersebut juga menunjukan bahwa mayoritas masyarakat yang terjangkit Corona adalah mereka yang termasuk dalam rentang umur 19-45 tahun, dengan kata lain; kelompok pekerja. Sayangnya, tidak terdapat data mengenai kelas sosial mana yang lebih rawan terpapar virus Corona. Maka dari itu, dalam artikel opini ini, saya mencoba mengkritisi kebijakan pemerintah tersebut dengan konsep ruang (space). Dalam tulisan ini, saya akan membahas tentang bagaimana kelas sosial memiliki andil dalam perbedaan kerentanan terhadap virus Corona, beserta argumen mengenai pengaruh ruang terhadap penyebaran virus.
Kekurangan dalam kebijakan ini dengan mudahnya ditambal dengan jargon “patuhi protokol kesehatan” yang terkesan mengesampingkan keselamatan masyarakat Indonesia hanya untuk mempertahankan perekonomian. ~Muhammad Zaky Share on XKelas Sosial dan Ketimpangan Fasilitas Ruang pada Pandemi
Dalam bukunya yang berjudul Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, Benny H. Hoed menulis tentang empat lapis makna ruang. Dua di antaranya adalah ruang publik terbatas dan ruang publik terbuka. Ruang publik terbatas adalah ruang terbuka yang hanya dapat dikunjungi oleh sebagian orang; terdapat aturan dan syarat agar dapat memasuki ruang tersebut. Misalnya, untuk memasuki ruang ibadah, seseorang harus berpakaian rapi dan bersih. Sementara ruang publik terbuka adalah tempat umum yang dapat dimasuki oleh siapapun, tanpa harus memenuhi syarat dan ketentuan khusus.
Dengan konsep ini, bisa disimpulkan bahwa ruang yang aman dan nyaman tentu hanya bisa diakses oleh orang-orang dengan hak istimewa–mereka yang berasal dari kelas atas. Misal, hanya masyarakat dengan latar belakang ekonomi yang serba berkecukupan bisa tinggal dalam perumahan elit dengan penjagaan yang ketat. Orang yang ingin memasuki perumahan atau kavling tersebut pun akan ditanya identitas dan tujuannya. Sistem keamanan yang ketat seperti ini tentu dapat meminimalisir kemungkinan mereka terpapar virus Corona. Sebaliknya, masyarakat yang berasal dari kelas pekerja atau kelas menengah ke bawah biasanya tinggal di pemukiman padat yang minim penjagaan. Dengan kondisi seperti ini, tentunya mereka harus berusaha lebih untuk menjaga diri mereka dari virus Corona.
Ketimpangan ruang ini juga berlaku di transportasi umum. Mereka yang berkecukupan tentu bisa dengan mudah bepergian menggunakan mobil pribadi. Penggunaan mobil pribadi ini tentu meminimalisir kontak fisik dengan orang banyak, sehingga melindungi mereka dari paparan virus Corona. Berbanding terbalik dengan mereka yang setiap harinya harus menggunakan moda transportasi umum. Walaupun kuota penumpang dalam transportasi umum sudah dibatasi, tentu kebijakan tersebut tidak menjadi jaminan penggunanya akan selamat dari virus Corona. Menurut Kompas yang mengutip dari BBC, masyarakat yang menggunakan transportasi umum lebih rentan untuk terpapar virus. Sayangnya, petaka yang dialami oleh kelas pekerja belum berhenti disitu. Kebijakan pembatasan kuota nyatanya berdampak pada kenaikan tarif pada transportasi umum, terutama bis. Sebagai seseorang yang tinggal di pinggiran Jakarta dan harus menggunakan transportasi umum setiap harinya, saya merasakan kenaikan tarif yang signifikan. Pada akhirnya, para pekerja harus merogoh kocek lebih dalam untuk bekerja di lapangan demi ‘mempertahankan pilar ekonomi negara’.
Hal yang sama juga terjadi di tempat kerja. Seseorang dengan jabatan tinggi tentu memiliki ruangan pribadi yang hanya bisa dimasuki oleh orang tertentu. Hal ini tentu berbeda dengan pekerja dengan jabatan lebih rendah, yang ruang kerjanya digunakan bersama pekerja lainnya. Dari beberapa contoh ruang tersebut, dapat terlihat bahwa saat bekerja di rumah maupun di lapangan, individu yang memiliki jabatan tinggi, privilese, dan berlatar belakang ekonomi yang tinggi–mereka yang berada di kelas atas–mempunyai ruang yang lebih aman dari virus Corona. Sangat berbeda dengan mereka yang berasal dari kelas menengah atau pekerja yang jauh lebih rentan terhadap paparan virus tersebut. Mereka harus berusaha lebih ekstra agar tidak terpapar dan tetap bisa bekerja untuk mempertahankan perekonomian negara. Menurut Louis Althusser terdapat beberapa jenis aparat yang dapat mengatur tubuh dan pola pikir manusia. Salah satu jenis aparat tersebut adalah repressive state apparatuses (Aparatur Negara Represif) yang terdiri dari tentara dan polisi. Jika direfleksikan dengan pembahasan sebelumnya, saya melihat bahwa aparat-aparat tersebut cenderung memihak kepada yang berkuasa. Misal, pejabat-pejabat negara seperti Presiden dan mentri mempunyai perlindungan yang kokoh dari aparat yang ada disekitarnya sehingga tidak mungkin sembarang orang bisa mendekati mereka. Dengan kata lain, diciptakan ruang publik terbatas untuk pejabat-pejabat tersebut melalui adanya perlindungan yang dibangun oleh aparat. Sayangnya, fungsi penjagaan keamanan oleh aparat negara tersebut tidak berjalan dengan baik di ruang publik terbuka. Tidak ada perlindungan yang cukup bagi kelas pekerja. Kami seperti dibebaskan begitu saja sambil diberikan jargon “patuhi protokol kesehatan”. Mungkin ada beberapa media yang memberitakan tentang ketatnya penjagaan oleh aparat di ruang publik terbuka. Namun hal ini hanya terjadi di saat-saat dan tempat-tempat tertentu saja. Maka dari itu, terlihat perbedaan perlindungan antara petinggi negara dan kelas pekerja.
Masyarakat kelas pekerja tidak seharusnya dijadikan tumbal untuk menegakan dan mempertahankan perekonomian Indonesia. ~Muhammad Zaky Share on XKetimpangan dalam Produksi Ruang
Seperti yang Henry Lefebvre tulis dalam bukunya The Production of Space, secara tidak sadar, kelas pekerja sedang dijajah oleh pemegang kuasa. Para pemegang kuasa dan kelas atas menciptakan ruang publik beserta regulasinya agar mereka bisa menarik keuntungan sebanyak-banyaknya. Frasa “untuk mempertahankan perekonomian” digunakan oleh kelas penguasa agar para pekerja tetap turun ke lapangan. Frasa “mematuhi protokol kesehatan” juga dapat digunakan untuk memberikan kesan perlindungan dari pemerintah. Padahal, nyatanya kami para pekerja justru harus melindungi diri sendiri, sementara para pejabat beraktivitas dengan aman dan nyaman di bawah perlindungan aparat. Kelas pekerja seperti dikorbankan begitu saja untuk mempertahankan perekonomian negara. Dari sini, saya berkesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah sebetulnya cenderung menguntungkan pihak penguasa. Dengan modal jargon tanpa tindakan yang cukup untuk memastikan keamanan kelas pekerja, para petinggi dapat tetap menarik untung tanpa perlu banyak keluar dari ruang terbatasnya yang aman.
Memperkuat Demokrasi adalah Kunci
Masyarakat kelas pekerja tidak seharusnya dijadikan tumbal untuk menegakan dan mempertahankan perekonomian Indonesia. Dalam penelitiannya, Andi Setiawan menyarankan hal yang sama seperti yang David Harvey jelaskan dalam bukunya yang berjudul Rebel Cities. Harvey menyarankan masyarakat kelas pekerja untuk memperkuat demokrasi. Hal ini penting agar kita semua mendapatkan hak yang sama berupa perlindungan dan kenyamanan seperti yang didapat oleh para pejabat dalam ruang terbatasnya. Masyarakat dapat mengkritik pemerintah agar keputusan yang diambil tidak berlandaskan kepentingan golongan tertentu. Bagaimanapun, semua orang di Indonesia mempunyai hak yang setara untuk mendapatkan perlindungan dari paparan virus Corona. Jika kita tidak bersuara, bukankah kita hanya menunggu giliran untuk terpapar virus Corona?
Muhammad Zaky baru saja selesai menempuh studinya di peminatan Cultural Studies Universitas Indonesia. Dari sini, Zaky menemukan kesenangan tersendiri untuk mendokonstruksi struktur dan relasi kuasa yang ada.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini