Mengulik Fenomena Fandom di Era Teknologi Komunikasi
May 4, 2021Bukit Algoritma dan Ilusi Techno-Solutionism
May 17, 2021OPINI
Nakba: Petaka yang Tak Berkesudahan bagi Bangsa Palestina
oleh Rahmi Dian Agustino
Sejak dilahirkan pada tahun 1992 di Palestina, Nadia (bukan nama sebenarnya, identitas disamarkan dengan alasan keamanan) sudah menjadi pengungsi. Keluarganya berasal dari sebuah desa kecil di dekat kota Al-Ramla. “Desa ayah saya ini katanya berada di dekat Laut Mediterania, di mana rata-rata orang bekerja di bidang pertanian… Karena saya adalah pengungsi generasi kedua, sepanjang hidup saya tinggal di Ramallah,” jelas perempuan Palestina yang saya kenal saat kami sama-sama menjadi mahasiswa di Amerika Serikat beberapa tahun lalu.
Hari ini (15 Mei), 73 tahun yang lalu adalah hari bersejarah untuk rakyat Palestina. Mereka menyebut hari ini “Nakba” atau petaka. “Nakba bagi saya adalah awal dari penderitaan, yang mengingatkan saya akan hilangnya hak, tanah, dan anggota keluarga, serta dimulainya penyiksaan dan ketidakadilan. Ia mengingatkan saya akan laut yang ingin saya lihat tapi tidak pernah bisa,” tulisnya dalam sebuah email.
Sementara itu, bagi Yael (nama dan identitas disamarkan), perempuan Zionis berusia 34 tahun, 14 Mei 1948 adalah hari bersejarah karena alasan yang berbeda. Menandai hari kemerdekaan negara Israel, hari tersebut biasanya dirayakan dengan kembang api dan makan bersama keluarga dan komunitas. “Sama seperti negara mana pun yang merayakan kemerdekaan mereka,” jelas perempuan yang juga saya kenal selama studi di AS ini.
Nakba dari Dua Perspektif Berbeda
“Hidup di bawah pendudukan (wilayah) sangat terbatas. Kamu cuma bisa melakukan apa yang mereka perbolehkan,” ungkap Nadia. “Kamu tidak bisa bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan bebas. Kamu tidak bisa melakukan perjalanan (kami bahkan tidak punya bandara). Negaramu pun tidak diperbolehkan mendapatkan bantuan. (Bahkan), internet 3G atau 4G baru diperkenalkan di sini beberapa tahun lalu. Untuk mendapatkan visa studi di AS waktu itu, ia harus pergi ke Yerusalem terlebih dahulu. Begitu sampai di sana, ia masih harus melewati pemeriksaan dan proses yang sulit untuk mendapat surat izin. “Saya punya paspor Yordania. dan kali kedua saya membuat visa, saya pergi ke Yordania karena terasa lebih efisien… Jadi bisa kamu bayangkan, kan!”
“Siapa pun yang hidup di OPT (Occupied Palestinian Territory atau teritori Palestina yang diduduki) hidup dalam situasi kompleks (di mana mereka terhimpit) antara kepemimpinan Israel dan PLO (Palestine Liberation Organization atau Organisasi Pembebasan Palestina),” ungkap Yael. “Mereka terperangkap dalam situasi sulit yang seharusnya bersifat sementara tapi (kini) sudah hampir menjadi permanen. Tidak seharusnya seseorang hidup seperti ini, dengan akses kebutuhan dan hak yang terbatas,” lanjutnya.
Yael juga tahu, di saat ia merayakan kemerdekaan Israel, yang baginya menandai keberhasilan bangsa Yahudi melewati berbagai pembunuhan dan persekusi massal, orang Palestina masih harus menghadapi Nakba yang berkepanjangan.
“Saya memahami penderitaan yang mereka lalui dan terus alami. Namun, negara Yahudi yang secara legal didirikan pada 1948 (ini tetap) berhak untuk ada,” kata perempuan yang keluarganya berasal Maroko, yang kini tinggal di Tel Aviv ini. “Negara Yahudi ini, yang terwujud di Israel, yang merupakan tanah leluhur bangsa Yahudi, sejatinya adalah satu-satunya tempat di mana siapa pun yang beridentitas Yahudi bisa merasa aman dan bebas,” tulisnya.
Hari ini (15 Mei), 73 tahun yang lalu adalah hari bersejarah untuk rakyat Palestina. Mereka menyebut hari ini “Nakba” atau petaka. ~Rahmi Dian Agustino Share on XNakba: Hari Penuh Petaka Bagi Palestina
Nakba adalah titik puncak dari tercerabutnya rakyat Palestina dari tanah mereka secara sistematis. Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris di “British Mandate of Palestine,” kelompok Zionis mendirikan negara Israel pada 14 Mei 1948. Keesokan harinya, perang antara negara-negara Arab dan Israel dimulai. Sekitar 750.000 warga Palestina terusir dari tanah air yang sudah menjadi negara asing di mana mereka tidak lagi diterima.
Nakba, yang diperingati setiap 15 Mei, masih terus berlangsung hingga kini.
Dengan deklarasi kemerdekaannya pada tahun 1948, Israel telah merampas 78 persen dari tanah Palestina. Sementara, Palestina sendiri hanya diberikan kurang dari 22 persen sisanya. Wilayah tersebut meliputi Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang berada di bawah kekuasaan Yordania dan Mesir.
Semakin banyak lagi rakyat Palestina yang tergusur akibat Perang 6 Hari antara Israel dengan Mesir, Yordania, dan Suriah di tahun 1967. Setelah kemenangan telaknya, Israel berhasil menduduki teritori Palestina di Tepi Barat dan Gaza (serta merebut Golan Heights dari Suriah dan Semenanjung Sinai dari Mesir). Selain itu, Israel juga menganeksasi Yerusalem Timur di tahun 1980. Meski melanggar hukum internasional, Israel tetap mempertahankan kependudukan dan kendali mereka atas wilayah-wilayah ini (kecuali Semenanjung Sinai yang sudah kembali menjadi wilayah Mesir pada 1982). Bahkan hingga hari ini, Israel masih bebas dari hukum pidana internasional berkat dukungan kuat dari AS.
Saat ini, terhitung ada sekitar lima juta pengungsi Palestina yang tersebar di Yerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan negara-negara tetangga seperti Suriah, Yordania, dan Lebanon. sepertiganya hidup di kamp pengungsi. Sementara itu, sekitar 1,9 juta orang Palestina di Israel (21 persen dari populasi Israel) hidup sebagai minoritas yang dimarginalisasikan.
Saat wilayah-wilayah jajahan negara-negara imperialis Eropa di Asia dan Afrika mulai merdeka di akhir Perang Dunia II, Palestina justru memulai episode baru penjajahan oleh Israel. ~Rahmi Dian Agustino Share on XMenelusuri Asal Nakba
Nakba bermula dari datangnya kelompok asing yang ingin mendirikan ethnostate (negara untuk kelompok etnis tertentu). Tidak menganggap penduduk asli Palestina ada, kelompok asing ini membuat rencana ini tanpa mengikutsertakan dan mempertimbangkan nasib warga Palestina. Meski demikian, rancangan ini berhasil direalisasikan berkat dukungan negara-negara imperialis.
Negara Israel sendiri didirikan kelompok Zionis tak lama setelah tragedi Holocaust, pembantaian yang menargetkan orang-orang Yahudi (beserta kaum LGBT, penyandang disabilitas, bangsa Roma, Saksi Yehovah, dan lain-lain) selama Perang Dunia II di Eropa. Bagi Kaum Yahudi yang berhasil menyelamatkan diri dari Nazi saat itu, tanah Palestina adalah tempat berlindung paling aman yang sudah dijanjikan bagi mereka sejak 2.000 tahun lalu.
“Orang Yahudi tidak punya teritori dan kerajaan. Mereka tidak punya kemerdekaan dan kedaulatan… (untuk menghindari) kepunahan Yahudi… (akan dibutuhkan) solusi radikal: transformasi Yahudi. … (Hal ini) hanya bisa (direalisasikan) di Palestina, yang pernah menjadi tanah air bangsa Yahudi di zaman kuno,” tulis jurnalis Israel Ari Shavit di My Promised Land: The Triumph and Tragedy of Israel.
Masalahnya, tanah Palestina sendiri sudah ditempati penduduk aslinya, bangsa Palestina, selama ribuan tahun.
Benih-benih Israel sudah ditanam jauh sebelum Holocaust. Menurut catatan Charles D. Smith dalam Palestine and the Arab-Israeli Conflict: A History with Document, gerakan Zionisme dibentuk oleh para perantau Yahudi di Eropa, dipimpin Theodor Herzl, pada abad 19. Keinginan mendirikan negara Yahudi ini didorong oleh diskriminasi dan persekusi lewat pogrom (serangan massal) yang dialami orang-orang Yahudi di Eropa Timur. Berkat bantuan dari tokoh-tokoh berpengaruh di Eropa, Zionisme segera mendapatkan dukungan dari negara-negara adikuasa seperti Inggris dan AS. Mereka juga bergerak dengan cepat. Kabarnya, orang-orang Yahudi Eropa sudah mulai bermigrasi ke Palestina sejak tahun 1882.
Balfour Declaration yang dirilis pada 2 November 1917 adalah salah satu tonggak pencapaian cita-cita Zionisme. Surat dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour ini ditujukan kepada Walter Rothschild sebagai pemimpin komunitas Yahudi di Inggris saat itu. Dalam suratnya, ia menjanjikan dukungan pemerintah Inggris untuk menjadikan Palestina negara untuk bangsa Yahudi.
Deklarasi ini tentu melanggar norma dan hukum internasional, karena yang berhak menentukan nasib suatu bangsa dan tanah air adalah bangsa itu sendiri. “Persoalan pemerintah harus diputuskan oleh yang diperintah (rakyat),” tulis filsuf Inggris, John Stuart Mill, dalam Considerations on Representative Government. “Inggris tidak punya hak moral, politik, atau legal untuk menjanjikan tanah milik rakyat Arab kepada bangsa lain,” tegas Avi Shlaim, sejarawan Inggris-Israel dan profesor Universitas Oxford.
Akibat pernyataan dari Inggris ini, saat wilayah-wilayah jajahan negara-negara imperialis Eropa di Asia dan Afrika mulai merdeka di akhir Perang Dunia II, Palestina justru memulai episode baru penjajahan oleh Israel.
“Dengan standar moral atau politik manakah kami diharapkan untuk mengesampingkan hak kami (untuk memiliki) keberadaan nasional, tanah, dan hak asasi manusia? Dunia macam apakah ini sehingga bisa diam ketika ada sebuah bangsa yang dikatakan absen secara yuridis, bahkan ketika tentara digiring untuk melawannya, kampanye dilancarkan untuk melawan namanya, dan sejarah diubah untuk ‘membuktikan’ ketiadaannya?” Edward Said, akademisi terkemuka AS asal Palestina, menjabarkan ketidakadilan ini dalam The Question of Palestine.
Menyaksikan Nakba di Masa Kini
“Let’s burn Arab villages!” “Death to Arabs!” (“Ayo musnahkan desa-desa Arab!” “Matilah Arab!”) Ratusan anggota Lehava, kelompok ekstremis Israel, meneriakkan kata-kata kebencian ini saat protes di Kota Tua Yerusalem, Yerusalem Timur, pada 22 April lalu. Sementara itu, warga Sheikh Jarrakh yang mayoritas Arab Palestina juga mengalami teror pengusiran sejak awal Mei. Di saat yang sama, video seorang laki-laki Israel yang dengan enteng berkata, “Kalau saya tidak mencuri rumah Anda, orang lain akan mencurinya,” dengan logat Amerika Serikat pada seorang perempuan Palestina viral di media sosial. Aksi-aksi teror ini dengan cepat berkembang ke penyerangan Israel terhadap jemaah di Masjid Al-Aqsa. Merespon itu, Hamas, kelompok perjuangan Palestina yang menguasai Gaza, mulai mengirim roket ke Israel sejak 10 Mei. Serangan balasan Israel yang bertubi-tubi dan saat artikel ini ditulis (14 Mei) masih berlangsung sudah melukai lebih dari 500 orang dan membunuh 109 orang, termasuk 28 anak-anak.
Serangkaian kekerasan ini baru sebagian kecil dari pelanggaran HAM rakyat Palestina oleh Israel. Selain yang sudah disebutkan di atas, Israel juga melakukan bentuk-bentuk persekusi lain, seperti pembangunan pemukiman ilegal di OPT, pendirian tembok pemisah antara wilayah Tepi Barat dan Israel, blokade Jalur Gaza yang disebut sebagai “penjara udara terbuka”, serangan-serangan militer, pembunuhan ekstra yudisial (di luar hukum), pemenjaraan semena-mena dan penyiksaan, dan penerapan hukum-hukum yang mendiskriminasi orang Palestina.
Pengungsi Palestina di OPT dan negara-negara tetangga bahkan tak punya hak-hak dasar sebagai warga negara. Sementara, sebagian pengungsi lainnya mengalami diskriminasi sebagai warga kelas dua yang didiskriminasi secara sistematis. Pada tahun 2018, saya sempat mengunjungi Aida Refugee Camp di Betlehem saat study tour ke Palestina-Israel di tahun 2018. Dr. Abdelfattah Abusrour, pendiri organisasi nirlaba Alrowwad Center yang mengajarkan seni pada anak-anak dan orang muda, bercerita bahwa salah satu tema yang sering muncul di karya seni anak-anak asuhan mereka adalah kematian dan keputusasaan. Hal ini disebabkan oleh status pengungsi yang mereka miliki secara turun-temurun. Dr. Abusrour juga menunjukkan kondisi pengungsi di Aida, yang setiap hari hidup dalam kemiskinan dan kelangkaan air.
Menurut Human Rights Watch (HRW) dalam laporan akhir April lalu, penindasan yang dilakukan Israel sudah melewati ambang batas persekusi dan apartheid B’Tselem, organisasi HAM Israel,juga mengeluarkan laporan pada Maret 2021 yang menyatakan bahwa Israel “menjalankan rezim supremasi Yahudi di seluruh wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania” Meski pengakuan ini baru, Istilah apartheid sendiri sudah lama dipakai untuk menggambarkan Israel. Penggunaan apartheid untuk menggambarkan Israel pernah dilakukan oleh Mantan Perdana Menteri Afrika Selatan sekaligus arsitek apartheid, Hendrik Verwoerd. Selain itu, istilah ini juga digunakan Edward Said dalam The Question of Palestine.
Meningkatnya perhatian dan pemahaman publik akan isu ini memberikan secercah harapan baru. “Saya berharap, perhatian publik ini dapat menarik kepedulian untuk membantu perjuangan kami,” ungkap Nadia. “Saya berharap bisa melihat negara dan bangsa saya benar-benar merdeka dan hidup, bukan hanya bertahan hidup,” tandasnya.
BACAAN LEBIH LANJUT:
Beinart, Peter. 2021. Teshuvah: A Jewish Case for Palestinian Refugee Return. Retrieved from: https://jewishcurrents.org/teshuvah-a-jewish-case-for-palestinian-refugee-return/
Bugh, Glenn R. 2021. Palestine. Retrieved from: https://www.britannica.com/place/Palestine
Damen, Rawan. 2008. Al Nakba. Retrieved from: https://interactive.aljazeera.com/aje/palestineremix/al-nakba.html#/17
Davis, Angela Y. 2016. Freedom is a Constant Struggle: Ferguson, Palestine, and the Foundations of a Movement. Chicago: Haymarket Books.
Erakat, Noura. 2019. Justice for Some: Law and the Question of Palestine. Redwood City: Stanford University Press.
Khalidi, Rashid. 2020. The Hundred Years War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917-2017. New York: Metropolitan Books.
Pappe, Ilan. 2007. The Ethnic Cleansing of Palestine. London: Oneworld Publications.
Roy, Sara. 1995. The Gaza Strip: The Political Economy of De-development. Beirut: Institute for Palestine Studies.
Said, Edward W. 1992. The Question of Palestine. New York: Random House, Inc.
Smith, Charles D. 1972. Palestine and the Arab-Israeli Conflict: A History with Documents.
Ninth ed. Boston: Bedford/St. Martin’s.
Rahmi Dian mempelajari penjajahan Israel di Palestina dan mengunjungi kawasan Holy Land ini pada tahun 2018 selama ia studi Master of International Human Rights di Josef Korbel School of International Studies – University of Denver, Colorado, AS, dengan beasiswa Fulbright (baca refleksinya tentang kunjungannya ke Palestina di sini). Penulis sekarang bekerja sebagai praktisi komunikasi di bidang development dan humanitarian assistance.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini