Bukit Algoritma dan Ilusi Techno-Solutionism
May 17, 2021Seks dalam Sejarah Budaya Jawa
May 27, 2021OPINI
Nakba: Hak untuk Kembali dan Menentukan Nasib Sendiri Punya Siapa?
oleh Rahmi Dian Agustino
Di tengah meningkatnya kekerasan dan gempuran Israel di Jalur Gaza selama 11 hari (10-21 Mei 2021), yang menewaskan setidaknya 232 warga Palestina termasuk 65 anak-anak, Palestina memperingati hari Nakba atau petaka yang ke-73 pada 15 Mei. Hari ini menandai bencana yang membuat mereka tercerabut mereka dari tanah air tanpa kewarganegaraan dan merampas hak-hak mereka. Pada peringatan Nakba tahun ini, penting bagi kita untuk mengingat bahwa Palestina berhak untuk kembali ke tanah air mereka dan menentukan nasibnya sendiri, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia.
Bagi sebagian orang Yahudi, terutama kelompok Zionis, Israel mungkin adalah bentuk penerapan hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination). Namun, kita tidak bisa melupakan bahwa kebebasan, hak, bahkan hak asasi manusia (HAM), tidaklah selalu bersifat absolut.
Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri
Hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri telah ditentukan dalam Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai salah satu tujuan PBB. “Semua bangsa memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri; dengan hak ini mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.” Deklarasi Pemberian Kemerdekaan terhadap Negara-Negara dan Bangsa-Bangsa Kolonial mengaitkan hak ini dengan bangsa-bangsa yang dijajah. Diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) 14 Desember 1960, deklarasi ini menyatakan bahwa “subjugasi, dominasi, dan eksploitasi asing merupakan penyangkalan terhadap HAM yang mendasar.” Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada 1966 juga menyatakan bahwa, “Semua bangsa punya hak menentukan nasib sendiri. Dengan hak tersebut mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan dengan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.”
Berbagai resolusi PBB, dari tahun 1970 hingga 2020, sudah menegaskan hak-hak bangsa Palestina, khususnya dalam menentukan nasib sendiri dan kesetaraan.
Menurut Deklarasi Hubungan Persahabatan 1970, sebuah bangsa dapat dianggap sudah mendapatkan perwujudan hak ini apabila mereka sudah: 1) mendirikan negara berdaulat dan merdeka, 2) dengan bebas berasosiasi dengan negara lain, atau 3) terintegrasi dengan negara lain setelah dengan bebas (tanpa tekanan) mengemukakan niat mereka untuk melakukannya.
Para pemikir liberal maupun kiri sepakat bahwa ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan apabila suatu bangsa hendak menentukan nasibnya sendiri. Menurut John Stuart Mill, dalam mendirikan suatu pemerintahan, dibutuhkan kebangsaan yang homogen, kesepakatan publik, serta pembangunan sosial dan ekonomi. Dalam The National Question and Autonomy, Rosa Luxemburg mengatakan bahwa demi menghindari dominasi kepentingan bangsa-bangsa lain, ekonomi negara tersebut harus mandiri. Menurut Frantz Fanon di The Wretched of the Earth, sebuah bangsa yang ingin merdeka harus memiliki infrastruktur politik, “sebuah doktrin tentang pembagian kekayaan dan hubungan sosial”, dan “sebuah ide tentang manusia dan masa depan kemanusiaan”.
Ketika tidak dipraktikkan dengan tanggung jawab terhadap satu sama lain dan komunitas internasional, hak untuk menentukan nasib sendiri berisiko membahayakan bangsa itu sendiri dan bangsa-bangsa lain. Dalam bukunya yang berjudul The Right of Nations to Self-Determination, Vladimir Lenin mendukung perlawanan terhadap penindasan dan menentang ide nasionalisme yang bisa mengarah ke penindasan bangsa lain. Ia juga menegaskan bahwa hak ini hanya bisa dibenarkan apabila negara didirikan demi membebaskan bangsa yang terjajah dari penindasan. Eleanor Roosevelt, yang berperan penting dalam penyusunan Deklarasi Universal HAM dan mendukung pendirian negara Israel, menegaskan bahwa walaupun ini adalah salah satu hak fundamental, kebebasan juga harus dibatasi oleh tanggung jawab. “…(H)uman freedoms can find their fullest expression only in the context of responsibility (…kebebasan manusia hanya dapat diungkapkan sepenuhnya dalam konteks tanggung jawab),” katanya.
Dilihat dari sejarah penindasannya terhadap Palestina, berdirinya negara Israel tentu bukanlah penerapan hak menentukan nasib sendiri yang bertanggung jawab. Alih-alih menentukan nasib sendiri, yang dilakukan oleh kelompok Zionis saat mendirikan Israel justru merupakan penjajahan dan pelanggaran HAM bagi bangsa Palestina.
“Mengusir orang dari rumah mereka adalah kejahatan perang. Begitu juga dengan mencegah mereka untuk pulang. Israel… terus melakukan kejahatan perang hingga ini,” tegas Salman Abu Sitta, penulis Atlas of Palestine, 1948.
Pada peringatan Nakba tahun ini, penting bagi kita untuk mengingat bahwa Palestina berhak untuk kembali ke tanah air mereka dan menentukan nasibnya sendiri, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia. ~Rahmi Dian Agustino Share on XHak untuk Kembali
Bangsa Palestina, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia, berhak untuk memiliki kedaulatan. Selain itu, pengungsi Palestina juga berhak untuk pulang ke tanah air mereka. Right of return (hak untuk kembali) diatur dalam Deklarasi Universal HAM pasal 13 ayat 2 yang berbunyi, “Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya”. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik juga menegaskan kebebasan untuk berpindah-pindah (freedom of movement) baik di dalam maupun di luar negeri, dan kembali ke negaranya sendiri. Konvensi dan Protokol Mengenai Status Pengungsi mengakui hak orang tanpa kewarganegaraan untuk kembali ke negara yang menjadi “former habitual residence (tempat kediamannya sebelumnya).”
Hak orang Palestina untuk pulang sendiri telah diakui oleh Resolusi Majelis Umum No. 194 tahun 1948 yang menyatakan bahwa, “pengungsi yang ingin kembali pulang dan hidup damai dengan tetangganya harus diizinkan untuk melakukannya secepat mungkin, dan bahwa kompensasi harus dibayarkan atas properti mereka yang memilih untuk tidak kembali dan atas kehilangan atau kerusakan pada properti.”
Yang tak kalah penting adalah memahami bahwa isu Palestina dan Israel bukanlah isu agama atau ras, melainkan isu kemanusiaan dan kolonialisme. ~Rahmi Dian Agustino Share on XJalan Panjang Palestina Menuju Pemenuhan Hak-Hak
Upaya Palestina mencapai pemenuhan hak-hak ini sampai sekarang dihalangi oleh Israel dan komunitas internasional yang mendukungnya. Pengungsi Palestina masih tidak diperbolehkan Israel untuk kembali ke negeri dan rumah mereka (yang kemungkinan besar sudah tidak ada lagi karena dirampas atau dihancurkan). Alasan yang sering dikemukakan, seperti yang pernah dijelaskan Peter Beinart, jurnalis Amerika Serikat keturunan Yahudi, di artikelnya di the Guardian adalah “jika terlalu banyak pengungsi Palestina kembali, orang Yahudi mungkin tidak akan lagi menjadi mayoritas (di Israel).” Tak hanya menolak Resolusi 194, Israel mengeluarkan Law of Return pada tahun 1950 yang memberikan hak kewarganegaraan Israel pada semua orang Yahudi.
Sungguh ironis di saat Israel menerima jutaan orang Yahudi dari berbagai belahan di dunia lewat program Aliyah, jutaan rakyat Palestina yang terusir dari rumahnya justru tidak bisa pulang. Bukan hanya itu, keturunan mereka pun banyak yang belum pernah menginjak tanah air mereka. “Jika orang Palestina tidak punya hak untuk kembali ke tanah air mereka, maka kita pun tidak berhak,” tegas Peter Beinart.
Sementara itu, meski mendiang Yasser Arafat, ketua Palestine Liberation Organization (PLO), mendeklarasikan kemerdekaan Palestina dengan sebuah pernyataan yang ditulis penyair tersohor Palestina Mahmoud Darwish pada 15 November 1988, hingga kini Palestina belum juga merdeka. Resolusi Majelis Umum PBB 43/177 yang mengakui proklamasi tersebut, yang disetujui 104 negara termasuk Indonesia, ditolak oleh Israel dan Amerika Serikat. Status Palestina di PBB pun baru sebatas “negara pengamat non-anggota.”
“Proses Palestina menuju penentuan nasib sendiri secara penuh itu luar biasa sulit. …(M)ereka (bangsa Palestina) luar biasa tidak beruntung karena (selain harus) melawan penjajahan kolonial (untuk hak atas) tanah air mereka… dalam panggung internasional dan moral, (mereka juga dihadapkan dengan) musuh yang paling kompleks secara moral, (yaitu) Yahudi yang memiliki sejarah viktimisasi dan teror yang panjang di belakang mereka,” keluh Edward Said, akademisi terkemuka AS asal Palestina di buku klasiknya The Question of Palestine.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Setelah 73 tahun, peringatan hari Nakba tidak hanya penting bagi rakyat Palestina, tapi juga bagi kita semua. Sebagai bangsa yang pernah mengalami dan masih bergulat dengan sisa-sisa dampak penjajahan bangsa asing, Indonesia sangat memahami perjuangan Palestina dalam melawan kolonialisme.
Soekarno, presiden pertama Indonesia yang terkenal dengan sikap anti-kolonialismenya, menolak untuk mengakui kedaulatan Israel. Bahkan, Presiden Soekarno pernah dengan tegas berkata, “selama kemerdekaan bangsa Palestina masih belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.” Sikap penolakan ini masih Indonesia pegang sampai sekarang, bahkan saat Israel mendekati Indonesia (dan negara-negara Arab lewat perjanjian Abraham Accords) untuk normalisasi hubungan. Meski demikian, Indonesia ternyata sudah punya kerja sama dagang dengan Israel selama berpuluh-puluh tahun.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung Palestina? Kita bisa memulainya dengan memahami sejarah Palestina dan Israel terlebih dahulu, dan kemudian ikuti perkembangannya. Selanjutnya, kebebasan berbicara yang kita miliki juga bisa digunakan untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk terus mendukung Palestina dan lembaga-lembaga internasional agar mengeluarkan kebijakan terkait situasi yang dialami Palestina. Penggunaan hak suara ini dapat dilakukan baik lewat media sosial, forum-forum internasional, atau metode lainnya. Mendukung gerakan Boycott, Divest, and Sanction (BDS) juga bisa jadi pilihan. Kita tidak perlu takut untuk menyuarakan hak-hak Palestina dan dan mengecam penjajahan Israel.
Yang tak kalah penting juga adalah memahami bahwa isu Palestina dan Israel bukanlah isu agama atau ras, melainkan isu kemanusiaan dan kolonialisme. Israel dan Zionisme tidaklah mewakili semua orang Yahudi. Banyak orang Yahudi yang dengan lantang membela bangsa Palestina dan kritis terhadap Zionisme dan Israel; mulai dari Albert Einstein, Noam Chomsky, Norman Finkelstein, hingga kelompok-kelompok Yahudi Orthodox. Demografi penduduk Palestina juga beragam—ada yang Muslim, Kristen, dan Yahudi (penganut Yudaisme)—seperti halnya dengan Israel. Karena itu, mengkritisi Israel, selama dilakukan tanpa menyinggung ras atau agama, berarti membela kemanusiaan. Menentang ketidakadilan Israel bukanlah bentuk dari radikalisme agama ataupun “anti-semitisme”. Semites sendiri adalah orang-orang yang berbicara bahasa Semit kuno seperti Arab, Ibrani, dan Aram. Istilah “anti-semit” ini sering disalahgunakan untuk merujuk hanya pada diskriminasi terhadap orang Yahudi, khususnya sejak dipakai Wilhelm Marr di Jerman pada tahun 1879.
Penjajahan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Selama praktik usang ini masih ada di abad 21 ini, selama itu pula kita harus terus melawannya. Seperti yang dikatakan Nelson Mandela, “Kita semua paham betul bahwa kemerdekaan kita tidak lengkap tanpa kemerdekaan bangsa Palestina.”
Rahmi Dian Agustino mempelajari penjajahan Israel di Palestina dan mengunjungi kawasan ini pada tahun 2018 selama ia studi Master of International Human Rights (spesialisasi Gender dan Humanitarian Assistance) di Josef Korbel School of International Studies – University of Denver, Colorado, AS, dengan beasiswa Fulbright (baca refleksinya tentang kunjungannya ke Palestina di sini). Penulis sekarang bekerja sebagai praktisi komunikasi di bidang kesehatan reproduksi, gender, dan humanitarian assistance, sambil memimpin sebuah mini project yang fokus pada kekerasan berbasis gender.
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini