Sejarah, Historiografi, dan Perubahan
September 23, 2021Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
September 27, 2021Makna
Pseudohistory: Masa Lalu yang Keliru
oleh Teuku Reza Fadeli
Pada tahun 2009, Ronald H. Fritze, seorang sejarawan yang kerap menyanggah narasi-narasi pseudo-history (sejarah semu), menerbitkan artikel berjudul On the Perils and Pleasures of Confronting Pseudohistory (Bahaya dan Kenikmatan dalam Menentang Sejarah Semu). Dalam tulisannya, ia mengajak publik untuk membedakan antara sejarah yang diperoleh melalui proses ilmiah dan sejarah semu. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan karena banyaknya narasi sejarah semu yang mendominasi budaya populer. Akibatnya, narasi-narasi tersebut mengaburkan kebenaran dan menurunkan kemampuan berpikir yang ilmiah.
Contohnya adalah perjalanan Laksamana Cheng Ho ke Amerika pada tahun 1421. Peristiwa sejarah yang ditulis oleh Gavin Menzies ini merupakan satu narasi pseudohistory yang terkenal. Cerita tersebut dianggap fiksi oleh para sejarawan karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat.
Selain itu, di Indonesia pun ada contoh pseudohistory yang terkenal. Beberapa tahun yang lalu, beredar narasi yang menyebutkan bahwa Majapahit adalah Kesultanan Islam. Bahkan, Gadjah Mada, salah satu petinggi kerajaan Majapahit, disebut memiliki nama asli Gaj Ahmada. Meskipun narasi ini sudah tersebar luas, banyak sejarawan yang sepakat bahwa klaim tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dari contoh di atas, kita bisa melihat bagaimana pseudohistory menjual fantasi dalam bentuk kisah yang menarik perhatian, memantik emosi, memancing perkembangan imajinasi, serta menghibur pembacanya. Selain itu, narasi pseudohistory juga seringkali digunakan sebagai pembenaran atas kebencian ataupun tindak kekerasan terhadap kelompok tertentu.
Penyajian pseudohistory umumnya didorong oleh kepentingan tertentu. Misalnya kepentingan politik, keuntungan finansial, atau sebagai pembenaran untuk prasangka dan kebencian terhadap kelompok tertentu. ~ Teuku Reza Fadeli Share on XCiri yang serupa juga dimiliki oleh historical negationism (negasionisme sejarah) atau yang juga dikenal dengan istilah denialism (penyangkalan). Pseudohistory maupun historical negationism sama-sama menyusun narasi peristiwa masa lalu tanpa menggunakan metode ilmiah.
Keduanya hadir dalam berbagai bentuk teks maupun visual, dan berpotensi memutarbalikkan kebenaran. Karena itu, dalam tulisan ini, kita akan membahas mengenai pseudohistory dan historical negationism, serta cara untuk mengenalinya.
Apa itu pseudohistory dan bagaimana ciri-cirinya?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pseudo adalah kata sifat yang berarti semu; palsu; bukan sebenarnya, atau tidak nyata. Misalnya, nama samaran yang digunakan seorang penulis untuk menyembunyikan identitasnya disebut pseudonim.
Menariknya, istilah ini juga kerap hadir di dalam diskusi-diskusi sejarah, disiplin ilmu yang seharusnya dibentuk oleh fakta. Dari pemahaman tersebut, kita dapat mulai mengenali ciri-ciri pseudohistory.
Sejarah (history) selalu didasari oleh fakta. Sedangkan, sejarah semu (pseudohistory) umumnya didasari oleh keyakinan. Misalnya, hal-hal mistis yang tidak dapat diukur dan dibuktikan secara ilmiah. Karena itu, gagasan-gagasan dalam pseudohistory pun tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Sementara, ilmu pengetahuan tentu tidak bisa muncul dengan sendirinya, melainkan dibangun secara bertahap oleh unsur-unsur penting. Salah satu unsur penting dari history adalah metode dalam penyampaian suatu gagasan. Gagasan atau argumen yang diutarakan dalam ilmu sejarah harus terlebih dahulu diuji kebenarannya dan terus diperbaharui seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Berbeda dengan pseudohistory yang didasari oleh keyakinan, sehingga gagasannya sulit untuk diuji dan cenderung tidak bisa dikembangkan (stagnan).
Meskipun memiliki cirinya masing-masing, ada beberapa kesamaan pada cara berpikir yang digunakan dalam pseudohistory dan historical negationism. Misalnya, pandangan bahwa sesuatu bisa dianggap benar kalau tidak bisa dibuktikan kekeliruannya. Berbeda dengan cara berpikir sejarah yang hanya menganggap sesuatu benar apabila bisa dibuktikan kebenarannya.
Selain itu, narasi pseudohistory juga umumnya memiliki keterkaitan dengan situasi kontemporer. Narasi pseudohistory cenderung menyederhanakan suatu peristiwa atau fakta sehingga membuatnya tidak utuh, serta menggunakan sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dari sini bisa dilihat mengapa pseudohistory terlihat menarik untuk beberapa orang.
Pseudohistory memiliki pandangan yang cenderung terlalu menyederhanakan masalah sehingga seakan-akan sudah menemukan dan menentukan sumbernya. Membawa publik untuk meninjau suatu peristiwa secara keliru. ~ Teuku Reza Fadeli Share on XKenapa ada pseudohistory?
Bagi kebanyakan orang, dunia ini rumit. Ada banyak pertanyaan mengenai fenomena dan peristiwa yang begitu kompleks sehingga sulit untuk dijawab secara akurat. Pseudohistory, di dalam hal ini, menawarkan jawaban untuk mereka yang tidak puas terhadap penjelasan dan kondisi yang terjadi di sekitar mereka.
Sayangnya, alih-alih memberikan jawaban yang didasari oleh fakta, jawaban yang ditawarkan pseudohistory justru cenderung mengada-ngada dan menjerumuskan pembacanya ke kekeliruan. Karena itu, tidak jarang penjelasan yang ditawarkan oleh pseudohistory terasa terlalu bagus untuk menjadi nyata.
Sejalan dengan meningkatnya peran internet dalam mempercepat penyebaran informasi serta proses mediatisasi di era post-truth (pasca-kebenaran), pseudohistory juga bisa tumbuh subur di berbagai tempat. Pseudohistory bisa hadir dalam bentuk pesan singkat di WhatsApp maupun utas di Twitter. Bentuk yang ditawarkan pun bermacam-macam. Ada yang berbentuk teks, gambar, juga rekaman suara, atau tayangan.
Meskipun demikian, pseudohistory sesungguhnya telah hadir jauh sebelum internet populer. Contohnya adalah penggunaan media dalam propaganda Partai Nazi yang disebarkan di Jerman pada tahun 1930-an. Propaganda tersebut membentuk narasi pseudohistory yang seakan mengkonfirmasi keunggulan ras Arya demi membangun nasionalisme yang sempit. Paham ini disebarkan melalui surat kabar, orasi, pamflet, dan media cetak lainnya semata-mata untuk kepentingan kekuasaan.
Dapat kita simpulkan, penyajian pseudohistory umumnya didorong oleh kepentingan tertentu. Misalnya kepentingan politik, keuntungan finansial, atau sebagai pembenaran untuk prasangka dan kebencian terhadap kelompok tertentu.
Bagaimana cara membedakan pseudohistory dengan sejarah yang tidak diakui negara?
Meski bukan dalam bentuk pseudohistory, sejarah juga dapat disalahgunakan. Pelakunya pun tidak selalu individu, melainkan juga institusi atau lembaga pemerintahan.
Nyatanya, tidak jarang lembaga negara membelokkan sejarah untuk meraih kepentingan kelompok tertentu. Absennya golongan politik berhaluan kiri dalam historiografi Indonesia pada masa Orde Baru, misalnya. Menelusuri akar pemikiran sosialisme di Indonesia jadi begitu sulit karena tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berhaluan kiri begitu jarang dibahas dalam kurikulum sejarah.
Situasi yang sama juga berlaku pada kelompok minoritas lain. Minimnya pembahasan yang tidak utuh tersebut justru memelihara ketakutan tidak berdasar yang dimiliki publik terhadap hal-hal yang dianggap ‘asing’. Publik cenderung tidak menyukai hal-hal yang tidak diketahui.
Pseudohistory memiliki pandangan yang cenderung terlalu menyederhanakan masalah sehingga seakan-akan sudah menemukan dan menentukan sumbernya. Membawa publik untuk meninjau suatu peristiwa secara keliru.
Misalnya, beredarnya narasi ‘elit global’ sebagai pengendali pandemi COVID-19. Narasi ini menyatakan bahwa COVID-19 adalah konspirasi yang dibuat oleh elit global dan vaksinasi dilakukan untuk menanam chip di dalam tubuh manusia.
Contoh lainnya adalah peristiwa unjuk rasa mahasiswa di Indonesia yang terjadi pada tahun 2019. Saat itu, terdapat beberapa pertanyaan yang beredar di masyarakat, seperti, ‘Aksi ditunggangi oleh siapa?’ Atau ‘Siapa dalangnya?’
Pertanyaan-pertanyaan dan asumsi yang menyederhanakan dan mengesampingkan masalah-masalah seperti itu tentu berpotensi mengaburkan kenyataan sosial yang menggerakkan aksi tersebut, misalnya. Akibatnya, publik lupa dengan fakta lain yang perlu dikritisi, seperti kemiskinan struktural atau kerusakan alam yang berasal dari aktivitas sehari-hari manusia.
Karena itu, kita perlu berhati-hati dalam mengambil kesimpulan dan tidak langsung menerima begitu saja informasi yang tersedia, menelusuri sumber penulisan sejarah, dan melihat sesuatu tidak hanya dari satu sisi. Dengan begitu, kita pun dapat terhindar dari perangkap pseudohistory serta memahami dunia secara lebih utuh.
Bacaan Lebih Lanjut
Allchin, Douglas. “Pseudohistory and pseudoscience.” Science & Education 13, no. 3 (2004): 179-195. Carr, Edward Hallett. What is History?. Penguin UK, 2018. Collingwood, Robin George. The Idea of History. Oxford: Oxford University Press, 1994. Fritze, Ronald H. “On the perils and pleasures of confronting pseudohistory.” Historically Speaking 10, no. 5 (2009): 2-5. Gudonis, Marius, and Benjamin T. Jones, eds. History in a Post-Truth World: Theory and Praxis. Vol. 39. Routledge, 2020. Hobsbawm, Eric. On history. Hachette UK, 2011. Nietzsche, Friedrich. The use and abuse of history. Dover Publications, 2019. Regal, Brian. Pseudoscience: A Critical Encyclopedia. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO, 2009. Tosh, John. The pursuit of history: Aims, methods and new directions in the study of history. Routledge, 2013. |
Teuku Reza Fadeli menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia pada 2010 hingga 2013. Setelah lulus, ia melanjutkan studi pascasarjana jurusan sejarah di School of Oriental and African Studies, University of London pada tahun 2014. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan doktoral di University of York, Inggris, mengkaji praktik belanja dan konsumerisme kelas menengah di Asia Tenggara serta hubungannya dengan modernitas pada masa kolonial. Sebelumnya pernah bekerja sebagai dosen tidak tetap di Departemen Sejarah, Universitas Indonesia. Ia juga memiliki ketertarikan terhadap kajian sejarah identitas, kelas menengah, sains, dan teknologi di Indonesia.
Artikel Terkait
Sentimen dalam Konsep Budaya Barat dan Timur
Kesan kalau kehidupan dunia barat dan timur jauh berbeda lahir dari sejarah panjang. Apa saja? Yuk, baca artikel ini.Sejarah, Politik, Masa Lalu, dan Kini
Sejarah kadang dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik kelompok tertentu. Kenapa sejarah punya peran penting dalam politik?Pascakolonialisme Tanpa Tanda Hubung
Meskipun secara formal penjajahan sudah berakhir, warisan sistem kolonial masih bisa kita rasakan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Apa saja efek dari penjajahan di kehidupan kita sekarang?