Kekuatan Nostalgia dalam Marketing & Desain
February 9, 2022Memahami Autisme Secara Lebih Dalam, Membangun Kesadaran yang Lebih Inklusif
February 21, 2022OPINI
Orang-orang Religius dan Wasiat Kematian Dorce
oleh Abdullah Faqih
Campur tangan otoritas keagamaan atas identitas gender dan seksualitas Dorce Gamalama sebenarnya bukanlah fenomena baru. Negara dan otoritas keagamaan di Indonesia, sepanjang sejarahnya, kerap menekan kelompok queer dengan justifikasi moralitas agama.
“Saya perempuan. Saya punya kelamin perempuan. (Ketika saya meninggal), mandikan saya dengan pakaian perempuan”, demikian wasiat kematian Dorce Gamalama, seorang transpuan cum selebriti Indonesia yang karyanya tersohor melintasi zaman.
Wasiat kematian Dorce memunculkan polemik di muka publik. Otoritas keagamaan pun ramai mengutuk keinginan itu. Ketua MUI, Cholil Nafis, mengatakan bahwa transpuan harus dikebumikan sebagaimana identitas seksual ‘asli’ mereka ketika pertama kali lahir ke dunia. ‘Orang-orang religius’ juga beramai-ramai mengutuk wasiat sang pesohor sebagai perbuatan yang menyalahi takdir Tuhan dan melawan syariat Islam. Ustaz Zacky Mirza, Ustaz Adi Hidayat, hingga Gus Miftah menegaskan kembali konsep fitrah, takdir, dan ‘hukum alam’.
Bagi saya, sikap ‘orang-orang religius’ dan otoritas keagamaan atas pilihan Dorce Gamalama sangatlah problematis. Tekanan religiusitas Islam itu meneguhkan kembali diskusi dominan tentang Islam dan queer yang selama ini dianggap saling bertentangan (dikotomis). Hal ini amat berbahaya karena berpotensi semakin meminggirkan kelompok queer dengan legitimasi agama. Padahal, narasi alternatif yang melihat hubungan keduanya sebagai hal yang dapat dikompromikan sudah mulai banyak didengungkan oleh para ilmuwan, agamawan, dan aktivis pro-queer (queer allies). Narasi alternatif tersebut relatif humanis dalam memandang kelompok queer, dengan menekankan bahwa queer juga memiliki ruang dalam religiusitas Islam.
Artikel ini akan mendiskusikan kembali posisi queer di tengah religiusitas Islam, dengan argumentasi utama bahwa narasi tentang queer dan Islam yang saat ini mendominasi merupakan produk pengetahuan (tafsir atas ayat suci) yang tidak pernah lepas dari kepentingan, unsur politik, dan kekuasaan (power). Oleh karenanya, selalu ada ruang untuk dapat menentang dominasi tersebut. Narasi alternatif yang humanis akan membantu kita melihat bahwa queer dan Islam bukanlah sesuatu yang saling bertentangan, melainkan dua hal yang sangat mungkin berkompromi. Wasiat kematian Dorce Gamalama semestinya bisa kita maknai sebagai sesuatu yang dapat diterima dalam religiusitas Islam.
Narasi alternatif yang humanis akan membantu kita melihat bahwa queer dan Islam bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. ~Abdullah Faqih Share on XSeksualitas dalam Basis Moralitas
Campur tangan otoritas keagamaan atas identitas gender dan seksualitas Dorce Gamalama sebenarnya bukanlah fenomena baru. Negara dan otoritas keagamaan di Indonesia, sepanjang sejarahnya, kerap menekan kelompok queer dengan justifikasi moralitas agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, pernah mengeluarkan fatwa haram atas keberadaan kelompok queer. Queer dianggap layak untuk dihukum mati karena perilaku seksualnya yang ‘menyimpang’ dinilai tidak kompatibel dengan konstitusi dan norma agama.
Pemerintah daerah pun mengekspresikan hal yang tak jauh berbeda. Pada 2018 lalu, Pemerintah Kota Pariaman, Sumatera Barat mengesahkan peraturan daerah yang berisi penolakan terhadap keberadaan pasangan sesama jenis dan waria. Penolakan yang didasarkan pada justifikasi agama itu lagi-lagi mengonfirmasi hubungan dikotomis antara Islam dan queer.
Lebih jauh lagi, organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam juga secara konsisten menunjukkan upaya resistensi terhadap keberadaan kelompok queer. Organisasi perempuan muslim bernama Aliansi Cinta Keluarga (ALIA) misalnya, pada 2017 lalu, mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk memasukkan hubungan sesama jenis sebagai tindakan kriminal yang memiliki konsekuensi hukum. Selain ALIA, organisasi Front Pembela Islam (FPI) juga melakukan berbagai upaya peminggiran terhadap kelompok queer dengan membangun wacana bahwa queer merupakan produk Barat, ‘tidak Indonesia’, dan berpotensi merongrong nilai-nilai moral ketimuran.
Posisi saling asing antara queer dengan religiusitas Islam itu menjebak kelompok queer pada dua pilihan dikotomis: menjadi queer atau Muslim? Menjadi queer sekaligus Muslim seolah adalah pilihan yang mustahil. Dorce Gamalama contohnya. Ketika ia memilih dikuburkan sebagai perempuan (sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan identitas biologisnya sebagai laki-laki ketika dilahirkan), ia menerima kecaman dari ‘orang-orang religius’ sebagai seorang pelanggar takdir Tuhan. Bahkan, sekalipun negara telah mengakui secara hukum bahwa ia adalah seorang perempuan, wasiat kematiannya tetap tidak dibenarkan. Padahal, banyak transpuan di luar sana yang memilih menjadi transpuan tanpa mengubah identitas seksual (kelamin) mereka. Dalam hal itu, tentu saja, posisi mereka semakin terhimpit oleh religiusitas Islam.
Hari ini, 16 Februari 2022, Dorce Gamalama menghembuskan nafas terakhirnya. Polemik wasiat kematiannya pun menemui titik akhir, yaitu keluarga besarnya memilih memakamkan sang pesohor sebagai seorang laki-laki, sebagaimana yang selama ini dianjurkan oleh ‘orang-orang religius’. Keputusan tersebut, menurut kacamata saya, mengerdilkan pengalaman hidup Dorce yang sepanjang hayatnya bergulat dengan identitas gender dan seksualitasnya sebagai seorang perempuan. Juga, seolah mereduksi dan menyepelekan perjuangan panjangnya dalam membela kelompok minoritas gender dan seksualitas di Indonesia. Padahal, Dorce dengan bangga menyebut dirinya sebagai seorang ratu (queen) dan ibu (mother)—sesuatu yang semestinya kita hargai sebagai bentuk pilihan seorang individu yang utuh.
Dorce barangkali menjadi representasi atas kelompok queer lain di luar sana: ketika hidup, queer sulit memperoleh akses dan kesempatan yang setara dengan kelompok cis-heteroseksual. Naas, hingga liang lahat pun, mereka terus dikejar oleh berbagai aksi opresi dan peminggiran atas nama moralitas agama.
Religious People, Are You Okay?
Penelitian saya menginterogasi kehidupan seorang transpria di Indonesia dalam menegosiasikan identitasnya sebagai queer dengan religiusitas Islam. Saya membuktikan bahwa queer dan Islam bukanlah dua hal yang selalu dianggap bertentangan, melainkan sesuatu yang sangat mungkin untuk dinegosiasikan. Narasumber penelitian saya menunjukkan bagaimana dia mampu menubuhi identitasnya sebagai queer dengan mengubah performativitas tubuhnya melalui serangkaian operasi dan terapi hormon. Di sisi lain, dia juga mampu menubuhi identitasnya sebagai Muslim yang saleh melalui berbagai praktik keagamaan berbasis religiusitas Islam.
Kemampuan untuk menegosiasikan queer dan Islam semacam itu berangkat dari adanya pemahaman bahwa tafsir tentang Islam dan queer yang saat ini mendominasi merupakan produk interpretasi manusia biasa, tidak bermakna tunggal, dan bukan mutlak datang dari Tuhan. Oleh karenanya, sangat mungkin bagi kita untuk menghadirkan tafsir-tafsir tandingan dalam memandang queer dan Muslim secara lebih humanis.
Misalnya, kisah umat Nabi Luth, kaum Sodom dan Gomora, dalam kacamata tafsir dominan dianggap sebagai pendosa karena melakukan praktik homoseksualitas. Dari kacamata Islam humanis, labelisasi tersebut sebenarnya tidak melekat pada orientasi seksualnya, melainkan pada perilaku yang merendahkan pasangannya.
Selain itu, para pemikir Islam klasik sebenarnya juga sudah mengilhami keberadaan identitas gender non-biner (bukan laki-laki dan bukan perempuan). Salah satu contohnya adalah keberadaan mukhannats (waria), yaitu seseorang berjenis kelamin laki-laki, tapi berdandan menyerupai perempuan. Kiai Husein Muhammad menunjukkan bahwa para ulama membagi mukhannats ke dalam dua kategori, yaitu mukhannats khalqi (mukhannats kodrati) dan mukhannats takallufi (mukhannats yang dibuat-buat). Para ulama kemudian menjelaskan aspek hukumnya bahwa mukhanntas khalqi tidak boleh direndahkan maupun dicela, sedangkan mukhannats takallufi boleh dihukum. Hal itu menunjukkan bahwa Islam sangat mengapresiasi keberagaman gender dan seksualitas.
Narasi Islam humanis semacam itu penting untuk terus dipromosikan. Tujuannya adalah untuk membantu kita mengurai kekusutan hubungan antara Islam dan queer yang selama ini cenderung dipandang dikotomis dan tidak humanis. Sudah semestinya, produksi pengetahuan melalui tafsir agama mampu memberikan ruang dan rasa aman pada mereka yang ‘bisu’ dan terpinggirkan. Jika ayat Tuhan justru digunakan untuk membelenggu dan menyepelekan pilihan hidup mereka yang termarjinalkan, saya jadi bertanya-tanya, religiusitas semacam apa yang sebenarnya dipeluk oleh ‘orang-orang religius’ itu?
Sudah semestinya, produksi pengetahuan melalui tafsir agama mampu memberikan ruang dan rasa aman pada mereka yang ‘bisu’ dan terpinggirkan. ~Abdullah Faqih Share on XPengungkapan
Saya bukanlah seorang transpuan. Saya juga tidak hidup dalam konteks yang berdekatan dengan kehidupan transpuan. Saya mengakui bahwa isi pikiran saya di dalam tulisan ini memiliki keterbatasan dan tidak mampu menggambarkan perasaan serta pengalaman hidup transpuan dengan sebenar-benarnya. Saya percaya bahwa tidak ada kelompok yang dapat membicarakan hal-hal yang menyangkut dirinya selain kelompok itu sendiri. Tulisan ini semata-mata merupakan bentuk perhatian dan dukungan saya terhadap transpuan dan kelompok minoritas gender dan seksualitas lainnya.
Abdullah Faqih adalah ‘sosiolog magang’ di The SMERU Research Institute, Jakarta. Ia senang lari pagi sambil sesekali ngobrol dengan kucing di jalan.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @anaknyaodin
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini