#BreakTheBias: Agenda Perempuan dalam Mengubah Dunia melalui Pendidikan
April 20, 2022Peniruan Malioboro di Kajoetangan Malang, Kapitalisme Urban, dan Krisis Identitas Kota
May 16, 2022OPINI
Menyetip Feodalisme: Jalan Panjang Menuju Reformasi Pendidikan
oleh Jonathan Kay Christian
Pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk menginvestasikan kecerdasan generasi muda. Masalahnya adalah bagaimana mungkin kelas-kelas belajar yang aktif mengembangkan potensi diri termasuk kecerdasan siswa bisa terwujud, apabila belenggu feodalisme masih kencang mengikat kita? Jawabannya sederhana: mulailah mereformasikan pendidikan Indonesia ke akar-akarnya!
Suatu ketika, diceritakan bahwa ada lima orang tahanan yang terbelenggu dengan rantai dan borgol di dalam sebuah gua sehingga tak bisa bergerak dan hanya mampu melihat bayangan-bayangan dari orang-orang yang lewat. Mereka hanya bisa melihat dinding gua. Seumur hidup, mereka telah dibelenggu oleh rantai dan tak pernah melihat dunia. Satu hari, ada di antara tahanan tersebut yang berhasil meloloskan diri. Orang tersebut akhirnya memberi tahu bahwa sesungguhnya, yang mereka lihat selama ini bukan merupakan realitas. Namun, para tahanan yang tersisa tidak mempercayainya dan malah mengancam untuk membunuhnya.
Itulah ilustrasi dari sebuah kisah “Alegori Gua” yang terkenal dari salah satu pemikir paling berpengaruh di dunia hingga hari ini, Plato. Kira-kira, gambaran cerita tersebut memanifestasikan keadaan kita hari ini di Indonesia. Kita tampaknya menjadi tahanan yang terbelenggu hari-hari ini. Terbelenggu oleh apa? Feodalisme. Ya, feodalisme menggerogoti terutama lingkungan akademis kita.
Berkembangnya Syaraf Feodalisme di Tubuh Lembaga Pendidikan
Mari kita coba untuk memahami apa yang disebut sebagai feodalisme. Feodalisme merupakan terminologi yang lahir di era Romawi. Akar katanya berasal dari Bahasa Latin, yakni feudum. Menurut Dictionary, feodalisme berarti sistem sosial yang berkembang di Eropa pada abad ke-8; bawahan dilindungi oleh tuan yang harus mereka layani dalam perang. Hari ini, feodalisme lebih dipahami sebagai “orang-orang dalam masyarakat dianggap sebagai suatu sistem yang diatur oleh pola karakteristik hubungan.” Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikannya sebagai berikut: sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.
Singkatnya, feodalisme merupakan sebuah praktik yang mengharamkan meritokrasi. Ketika seseorang lebih takut atau segan pada orang yang berjabatan lebih tinggi ketimbang prestasi kerja, di situlah feodalisme mengakar. Hari ini, feodalisme bukan hanya menjangkit sesama kolega dalam suatu lembaga, namun juga hubungan antara siswa dan pengajar. Sebagai contoh, siswa takut untuk menyampaikan pendapat hanya karena ia berhadapan dengan seseorang yang “tinggi” jabatannya. Jika ia berlaku demikian, maka ia akan dicap sebagai murid yang tak tahu tata krama, dsb.
Ketika seseorang lebih takut atau segan pada orang yang berjabatan lebih tinggi ketimbang prestasi kerja, di situlah feodalisme mengakar. ~Jonathan Kay Christian Share on XDalam sebuah survei Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia menduduki peringkat kelima. Kelima dari bawah. PISA menggunakan indikator seperti pencapaian hasil belajar, investasi pendidikan, hasil belajar, dan kesejahteraan siswa Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-72 dari 77 negara yang ada di dalam peringkat. Salah satu indikator kegagalan atau mandeknya pendidikan di Indonesia salah satunya adalah sistem feodal yang merajalela.
Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan sistem yang hierarkis sehingga siswa tidak lagi mampu untuk menjadi siswa yang otonom, yang tidak “didominasi” oleh keberadaan sistem yang tidak menjunjung tinggi prestasi, namun semata-mata karena kuasa.
Baru-baru ini, ada sebuah kasus yang mencoreng nama baik lingkungan pendidikan. Sebuah tindakan kekerasan seksual yang dialami para pelajar. Sialnya, itu semua dilakukan oleh para pendidik “yang terhormat’’. Ini adalah sebuah ironi karena para pendidik yang seharusnya memberi kita teladan, malah melakukan berbagai kebejatan. Ini adalah salah satu wujud dari feodalisme, karena di dalam feodalisme, terkandung sebuah kuasa paternalistik (hubungan orang yang memimpin dan dipimpin) yang mendominasi orang di “bawahnya”. Di dalam kasus pemerkosaan siswi di Bandung, sebelum sang pemerkosa beraksi, ia berkata, “Kamu harus mematuhi guru, ya.”
Jalan Panjang Menuju Reformasi Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk menginvestasikan kecerdasan semua orang di Indonesia, terutama para generasi muda. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Masalahnya sekarang adalah bagaimana mungkin frasa “… terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” bisa terwujud apabila belenggu feodalisme masih kencang mengikat kita? Jawabannya sederhana: mulailah mereformasikan pendidikan Indonesia ke akar-akarnya!
Pertama, para birokrat, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), harus memulai upaya ini dengan menegakkan suatu peraturan yang menghapus semua warisan zaman kolonial agar tercipta sebuah cara baru tentang kesetaraan di dalam sebuah institusi pendidikan. Kemendikbud harus memulai pendidikan yang egaliter. Prinsip ini menjadi penting karena di dalam sebuah lingkungan akademis yang setara, kita berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Hal ini amat dibutuhkan karena di dalam kesetaraan, pasti terkandung suatu semangat akan persatuan yang kuat. Di dalam kelas, seharusnya timbul sebuah dialog dan percakapan antara pengajar dan pelajar, bukan hanya komunikasi satu arah. Di dalam lingkungan egaliter, tak akan ada sebuah kuasa yang lebih tinggi dari yang lainnya. Oleh karena itu, egalitarianisme adalah roh bagi reformasi pendidikan karena menciptakan partisipasi total dari para pengajar maupun pelajar.
Melalui egalitarianisme, ide akan senantiasa bertebaran di dalam lingkungan kelas. Melalui dialog dan percakapan antara pelajar dan pengajar, akan tercipta sebuah diskursus yang menjadi output dari sebuah usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Cara tersebut juga menumbuhkan sebuah usaha agar berpikir kritis dan reflektif. Kelas menjadi ruang yang tidak kaku dan terbatas pada aturan-aturan yang tidak relevan dengan situasi hari ini.
Melalui dialog dan percakapan antara pelajar dan pengajar, akan tercipta sebuah diskursus yang menjadi output dari sebuah usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. ~Jonathan Kay Christian Share on XEgalitarianisme bukanlah sebuah hal yang bisa berhasil dalam satu malam. Tentunya usaha ini akan datang bertahun-tahun, mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang amat luas. Usaha ini dapat dilakukan dengan menerapkan kesadaran kolektif pada pelajar dan pengajar dalam lingkungan akademis apa pun.
Kedua, harus ada usaha untuk mengubah paradigma kita terhadap pendidikan. Hari ini, pendidikan di lingkungan institusi manapun dipandang sebagai sesuatu yang kadang menakutkan sehingga orang tidak berani bersuara di dalam, ini menandakan sebuah kualitas pendidikan yang belum demokratis. Kebebasan berpendapat terhambat karena keberadaan sistem feodalisme. Kita harus senantiasa menghargai usaha-usaha institusi pendidikan yang sudah mulai melepaskan diri dari sistem yang kuno yang menganggap argumentasi adalah sebuah “kekurangajaran” di dalam lingkungan pendidikan.
Mungkin, kita juga sudah terbiasa dengan hal semacam ini sehingga takut untuk berpendapat. Karena apabila kita berpendapat, kita akan dicap sebagai pelajar yang tidak menghormati pengajar. Apabila kita berlaku demikian, kita sudah terjebak dalam ilusi alias realitas palsu yang digambarkan Plato dalam ilustrasi di awal esai ini.
Hal ini juga harus disertai dengan sebuah etika yang menjadi pedoman. Kebebasan tanpa etika adalah kesesatan yang sama sekali tidak bermanfaat. Kebebasan mengandaikan adanya pertanggungjawaban. Itu hanya mungkin jika ada etika sebagai benteng yang membatasi kebebasan itu sendiri, sehingga tidak tercipta suatu anarkisme. Kebebasan kita pasti berbenturan dengan kebebasan orang lain, oleh karena itu etika ada sebagai tapal batasnya. Pendidikan harus kita pandang sebagai suatu pembawa perubahan. Oleh karena itu, partisipasi kita sebagai pelajar harus juga diperhatikan.
Semua ini bukan merupakan sebuah usaha yang mudah untuk dilakukan. Terlebih lagi, sistem feodal ini masih mengakar begitu kuat. Kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk memberangus sistem semacam ini. Mengapa? Karena masa depan kita tidak mungkin kita gantungkan pada sistem feodal yang menjadi warisan kolonial tersebut. Jika kita tidak berperan, kita tidak akan maju.
Di samping itu, kita juga harus mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah seperti Kemendikbud yang berada di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim. Pemerintah akan mereformasi dengan terobosan-terobosan untuk mengentaskan persoalan ini. Memang tidak mudah, namun setidaknya ada niat yang positif. Niat dan usaha tidak akan mengkhianati hasil ketika sudah sedemikian maksimal dilakukan.
Kita tentu menunggu sebuah hasil yang dibawa dari sebuah perubahan. Optimalisasi peran berbagai institusi juga patut kita dukung untuk membuang feodalisme ke dalam keranjang sampah. Kita semua mengharapkan keberadaan orang-orang bijak yang bisa melepaskan belenggu feodalisme sehingga kita bisa bebas dari gua yang memenjarakan kita. Jika semuanya berakhir, kita akan bisa menikmati kebebasan itu.
Jonathan Kay Christian, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @joenathanky
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini