Level Baru Cyberbullying: Cancel Culture
August 1, 2022Pelecehan Seksual: Dampak Relasi Kekuasaan Asimetris
August 9, 2022OPINI
Pesantren: Wadah Pencetak Agamawan atau Wadah Pelecehan Seksual?
oleh Muhammad Amin Azis
Santri yang kerap kali dianggap sebagai objek dan komoditas akhirnya menjadi korban pelecehan seksual yang oknumnya adalah para pengasuh pesantren. Untuk melancarkan tindakannya, para pelaku menjual agama atau memakai nilai agama. Pelecehan seksual yang terjadi dengan modus mengamalkan nilai dan ajaran agama bisa saja disebut dengan “menjual agama” atau seperti yang dikatakan oleh Karl Marx: “Agama adalah candu bagi masyarakat.”
Pesantren merupakan institusi pendidikan berbasis agama yang sejak awal memiliki peran mengembangkan dan menyebarkan ajaran agama Islam di Indonesia. Institusi ini mulanya berasal dari surau, langgar, padepokan, ataupun masjid yang melakukan halaqah dan majelis. Hadirnya pesantren merupakan wajah awal pendidikan Islam di Indonesia. Seiring dengan perkembangannya, pesantren kemudian diformalkan menjadi institusi pendidikan tempat belajar dan bermukim para santri (siswa pesantren): melakukan kegiatan sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Pesantren dengan perannya menyebarkan dan mengajarkan agama Islam, dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, juga memiliki fungsi strategis sebagai kawah candradimuka untuk membentuk dan mencetak para pemimpin, intelektual, serta tokoh bangsa yang memiliki pengetahuan berbasis agama dan kemudian melakukan dakwah sebagai metode penyebaran dan pengajaran pengetahuan keagamaannya. Dalam sejarah bangsa dan negara, pesantren banyak melahirkan tokoh dan pemikir bangsa, seperti Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Ma’arif, Din Syamsudin, Nurcholish Madjid, dan Emha Ainun Najib.
Pelecehan Seksual di Pesantren
Akhir-akhir ini kita kerap mendengar berita tidak mengenakkan yang datang dari pesantren. Berita pelecehan seksual kini menjadi topik hangat perbincangan masyarakat Indonesia. Pasalnya, pengasuh yang dipercaya untuk menjaga dan mengasuh para santri sendirilah menjadi aktor dari tindakan asusila ini. Sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan pesantren selama enam tahun, saya tidak merasa heran bahwa hal ini dapat terjadi dan bukan berarti menjadikannya sebagai pemakluman, melainkan pemahaman terhadap kondisi sosio-antropologis dari pesantren itu sendiri. Menurut saya, pelecehan yang terjadi disebabkan oleh tabunya pembahasan seks di pesantren, yang hanya membahasnya dalam pelajaran Biologi maupun Fiqih Munakahat.
Kajian-kajian pesantren yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama-ulama dan pemikir-pemikir Islam terdahulu juga sering kali ditafsirkan secara tekstual. Selanjutnya, realitas pesantren yang selalu mengedepankan penghormatan kepada pengasuh merupakan bentuk dari ketimpangan relasi kuasa. Pada akhirnya, para santri sering hanya dijadikan sebagai objek maupun komoditas, baik itu objek konsumsi, objek produksi, objek afirmasi, ataupun objek pelampiasan nafsu birahi.
Santri yang kerap kali dianggap sebagai objek dan komoditas akhirnya menjadi korban pelecehan seksual yang oknumnya adalah para pengasuh pesantren. Untuk melancarkan tindakannya, para pelaku menjual agama atau memakai nilai agama. Pelecehan seksual yang terjadi dengan modus mengamalkan nilai dan ajaran agama bisa saja disebut dengan “menjual agama” atau seperti yang dikatakan oleh Karl Marx: “Agama adalah candu bagi masyarakat.” Sebagaimana sifat candu yang dapat melenakan manusia, demikian juga nilai ataupun doktrin-doktrin agama yang ditafsirkan secara tekstual sering kali melenakan manusia dan tak jarang juga digunakan sebagai bahan untuk menipu orang lain.
Sebagaimana sifat candu yang dapat melenakan manusia, demikian juga nilai ataupun doktrin-doktrin agama yang ditafsirkan secara tekstual sering kali melenakan manusia dan tak jarang juga digunakan sebagai bahan untuk menipu orang… Share on XBeredarnya kasus pelecehan seksual menimbulkan dua golongan/jenis reaksi masyarakat dengan pendapat masing-masing. Pertama, golongan yang melihat permasalahan ini dengan memberikan pembelaan terhadap pelaku. Pembelaan yang dimaksud bukanlah membela korban, melainkan pembelaan bahwa kasus ini dapat diselesaikan secara tertutup dan kekeluargaan sehingga nama baik pesantren sebagai institusi pendidikan agama tidak tercoreng, yang otomatis akan menjaga nama baik agama. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa pengasuh pesantren yang notabenenya seorang ahli agama tak patut dipermalukan di depan publik.
Kedua, golongan yang geram dan marah atas perbuatan dan tindakan yang telah terjadi. Bagaimana tidak? Pesantren yang harapannya sebagai kawah Candradimuka bagi para agamawan, pemikir, dan pemimpin bangsa masa depan ternyata menjadi tempat terjadinya tindakan yang melanggar nilai dan prinsip agama serta menafikan peran maqashid syariah sebagai benteng agama. Anehnya lagi, mereka mengatasnamakan nilai agama untuk menipu para korban.
Mengembalikan Citra Pesantren
Akibat dari tindakan pelecehan seksual yang marak terjadi, elektabilitas pesantren menurun dan berdampak pada kuantitas santri yang masuk ke pesantren karena menurunnya kepercayaan masyarakat untuk memasukkan dan memercayai pesantren untuk mendidik anak-anaknya.
Tindakan bejat yang mencoreng nama baik pesantren ini bak daging busuk di suatu tubuh yang harus segera diamputasi agar tidak menyebar pada anggota tubuh lainnya. Dengan demikian, untuk mengatasi pelecehan seksual di pesantren, perlu kiranya dilakukan beberapa hal berikut.
Tindakan bejat yang mencoreng nama baik pesantren ini bak daging busuk di suatu tubuh yang harus segera diamputasi agar tidak menyebar pada anggota tubuh lainnya. ~Muhammad Amin Azis Share on XPertama, evaluasi institusi. Hal ini dilakukan untuk melihat, membaca, dan melaporkan ketercapaian program maupun sistem pesantren. Evaluasi institusi ini dapat dilakukan secara berkala sebagai upaya controlling oleh yayasan, lembaga pemerintahan, ataupun organisasi yang menaungi pesantren tersebut.
Kedua, melakukan kualifikasi pengasuh pada saat rekrutmen. Kualifikasi ini dapat berupa: fasihnya pemahaman keagamaan dibarengi dengan kontekstualisasi nilai-nilai agama, bukan hanya sekadar pemahaman ajaran agama melalui teks. Setelah kualifikasi dilakukan, pesantren perlu memberlakukan kesepakatan integritas bagi para pengasuh untuk tetap menjaga nama baik pesantren dan tidak melakukan tindakan asusila. Ketika kesepakatan dilanggar, maka pihak pesantren harus memberikan hukuman dan tidak melindungi pelaku tindak asusila.
Ketiga, pesantren perlu membenahi dan memperbarui kurikulum dengan memasukkan pendidikan seks sebagai salah satu materi pembelajaran. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghilangkan ketabuan pembahasan seks di kalangan santri ataupun membendung salah tafsir ajaran agama perihal seks.
Keempat, patronasi dan penghormatan yang berlebihan kepada para pengasuh perlu direkonstruksi. Hal ini bukan sebagai bentuk tidak hormat terhadap yang lebih tua atau yang lebih berilmu dari kita. Namun perlu disepakati bersama bahwa patronasi akan membentuk ketimpangan relasi kuasa. Akibatnya, para santri tidak memiliki kekuatan untuk melawan dan mengevaluasi ketika terjadi tindakan asusila ataupun tindakan yang melanggar norma agama maupun norma masyarakat.
Pelecehan seksual yang terjadi di pesantren pada akhirnya membuka mata kita untuk bersama-sama menjaga dan mengusahakan ruang aman bagi para pelajar untuk menuntut ilmu agama dan, dengan begitu, tujuan pesantren dapat terwujud.
Muhammad Amin Azis, penikmat kebebebasan yang tertarik dengan pembahasan keagamaan, filsafat, ekonomi, pendidikan, dan sosial. Ia sedang mengenyam pendidikan pascasarjana Ekonomi Syariah UIN Sunan Kalijaga dan merupakan Kepala Madrasah Digital Yogya.
Dapat dihubungi melalui akun sosial media Instagram: @aminazis10_ dan Twitter: @aminazis11
Mau tulisanmu diterbitkan di blog Anotasi? Silahkan cek link ini